Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rayuan
"Hei! Apa kau tidak peduli lagi pada suamimu sendiri?" tanya Radit sesekali meringis merasakan perih di sudut bibirnya.
Ia melangkah pelan menghampiri sang istri yang berdiam diri di kamar. Wanita yang tak pernah dianggapnya sebagai istri, hanya pelampiasan semata. Satu-satunya wanita yang dia cintai hanyalah Larisa meskipun saat ini sudah menikah dengan laki-laki lain.
Wanita hamil itu melengos memunggungi Radit yang muncul di ambang pintu. Tangannya diam-diam menyeka sudut mata, membersihkannya dari air yang jatuh. Bukan kondisi Radit yang dia tangisi, tapi kejadian saat di pesta tadi di mana laki-laki itu sama sekali tidak menganggapnya ada.
"Kenapa kau diam saja? Apa kau senang melihat suami sendiri terluka seperti ini?" Radit mendekat, hatinya merasa bersalah karena kejadian di pesta tadi. Belum lagi, dia yang pergi diam-diam menemui Larisa di kediamannya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap punggung istrinya dengan rasa bersalah yang semakin bertambah. Disentuhnya bahu itu, tapi ditepis dengan cepat oleh Karin. Lalu, berdiri dan hendak pergi meninggalkan kamar.
"Hei! Kau marah padaku?" tanya Radit mencekal lengan wanita hamil itu.
"Untuk apa aku marah? Kau bebas melakukan apapun yang kau suka. Aku akan pergi dari kamar ini," sahut Karin ketus sembari mencoba untuk melepaskan cekalan Radit.
Namun, laki-laki itu tak berniat melepaskan cekalannya, ia berdiri memeluk Karin dari belakang. Mengecup leher wanita itu, menumpahkan rasa bersalahnya.
"Maafkan aku. Tolong jangan marah padaku, apalagi pergi dari kamar ini. Aku membutuhkanmu di sisiku," bisik Radit terdengar manis di telinga Karin.
Karin meronta, tapi pelukan Radit terasa kuat di tubuhnya. Sesak perlahan datang, menghimpit rongga dada.
"Lepas, Radit! Kau memelukku terlalu erat," ucap Karin tersengal, perutnya terasa kram sedikit berdenyut nyeri.
Beruntung, telinga Radit tidak tuli. Dengan segera melepas pelukan dan membalik tubuh Karin. Rasa bersalah semakin dalam, menatap manik basah wanita itu dengan penuh sesal.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Radit lembut sembari memeluk Karin.
"Sudah. Berhenti memelukku, kau akan membunuhku tanpa sadar seperti tadi." Karin mendorong tubuh Radit agar melepas pelukan.
Sambil tersenyum Radit membelai pipi istrinya. Sementara Karin menundukkan kepala masih merasa kesal terhadap laki-laki itu.
"Sudah, jangan marah lagi. Suamimu sedang sakit," ucap Radit sembari menempelkan tangan Karin pada pipinya sendiri.
Uhuk-uhuk!
Berpura-pura terbatuk, meringis, dan mengaduh dengan tubuh membungkuk Radit berhasil menarik perhatian Karin.
"Ada apa? Bagian mana yang sakit?" Karin memapah tubuh Radit mendekati ranjang mereka, memeriksa suaminya yang tengah berjuang mendapatkan udara.
"Aku ambilkan air." Wanita itu panik, berdiri hendak mengambil air untuk Radit, tapi langkahnya terhenti kala lelaki itu menariknya kembali.
"Jangan pergi! Cukup di sini, temani aku." Radit menggelengkan kepala, pandangannya sayu menatap sang istri.
Perlahan, Karin mendaratkan bokong di tepi ranjang. Air matanya nyaris tumpah melihat penderitaan yang mendera suaminya. Lebam di wajah laki-laki itu benar-benar menjadikannya tidak dikenali. Ia mengusap wajah Radit, roboh sudah pertahanannya.
"Siapa yang melakukan ini padamu? Kenapa dia tega membuatmu seperti ini?" tanyanya bergetar.
"Denis. Dia yang melakukan ini padaku. Mungkin dia tidak terima dengan apa yang aku ucapkan di pesta kakek tadi. Padahal, semua itu benar," ucap Radit berbohong.
Karin tertegun, mengingat dengan rinci setiap kejadian yang terekam dalam memori. Sungguh yang dikatakan Radit adalah benar, tapi dia tak suka saat suaminya itu menyebut nama Larisa.
"Aku sudah memperingatkan dirimu untuk melupakan perempuan itu, tapi kau masih saja mengingatnya. Apa kau masih sangat mencintai dia?" selidik Karin memicingkan mata menatap Radit.
Dia gugup, tebakan Karin memang benar. Dia masih sangat mencintai Larisa, sedangkan Karin hanyalah pelampiasan sementara ketika dia berselisih dengan Larisa. Sungguh tak menduga, wanita itu akan mengandung anaknya.
Radit menggenggam tangan Karin, membawanya ke dada. Membiarkan wanita itu merasakan degup jantungnya.
"Mungkin di hatiku memang masih tersisa rasa cinta untuk Larisa, tapi kau sudah berada di sini sebagai ratu. Tolong percaya padaku, hanya kau yang ada di hatiku. Selanjutnya, anak kita," ungkap Radit menurunkan tangannya mengusap perut Karin yang sudah membesar.
Wanita hamil itu tercenung, membeku beberapa saat. Kemudian, menatap tangan yang tengah mengusap perutnya. Ia mendongak, bertatapan dengan Radit yang sedang tersenyum menatapnya.
"Sungguh? Apakah yang kau katakan itu benar?" tanya Karin tak percaya.
Dia tahu seperti apa Radit, tapi rasa cintanya lebih besar dari apapun jua. Juga benih yang sedang berjuang tumbuh di dalam rahimnya membutuhkan sang ayah. Karin menepis semua rasa gelisah, dan memilih untuk percaya kepada Radit.
Radit menganggukkan kepala pasti dan menjawab, "Tentu saja. Apa aku terlihat berbohong?"
Karin tak mampu membaca riak di wajah laki-laki itu karena tertutup lebam. Akan tetapi, dia menggelengkan kepala dan mempercayai Radit sepenuhnya. Ia melabuhkan diri di pelukan sang suami, tersenyum penuh kebahagiaan.
Namun, tidak dengan Radit, dia justru tersenyum sinis. Melirik tajam pada Karin. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Hanya dia yang tahu.
****
Beberapa hari setelah kejadian itu, Larisa belum diizinkan untuk pergi keluar rumah oleh Denis. Kejadian malam itu, benar-benar membuat Denis memberikan penjagaan yang ketat terhadap Larisa. Ia khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi lagi padanya.
"Denis! Kapan aku boleh bekerja? Aku bosan di rumah terus," keluh Larisa sesaat setelah Denis keluar kamar hendak pergi ke kantor.
Larisa menghadang langkah laki-laki itu, menggenggam tangannya dengan erat. Memohon agar diizinkan keluar rumah untuk sekedar mencari pekerjaan.
Helaan napas Denis berhembus panjang dan dalam, tatapan matanya menghujam manis Larisa. Hatinya tak tenang bila membayangkan Larisa berada di luar rumah sendirian.
"Tunggu beberapa hari lagi. Setidaknya sampai hatiku tenang melepasmu keluar rumah. Entah mengapa membayangkan kau berada di luar rumah sendirian, hatiku tidak merasa tenang," ucap Denis sembari menggelengkan kepala pelan.
Membeku tubuh wanita itu mendengar isi hati sang suami. Antara percaya dan tidak, telinganya mendengar dengan jelas bahwa Denis begitu mengkhawatirkan dirinya. Bunga-bunga mulai bermunculan, mengisi kebun hati. Kupu-kupu ikut berterbangan menggelitik kulit perut. Ingin dia berjingkrak, melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen.
Tanpa terasa perasaan itu menjalar hingga membuat kedua pipinya merah merona. Denis tersenyum, melambaikan tangan menyadarkan wanita itu dari lamunan.
"Eh?" Ia bingung sendiri. Lalu, menunduk menyembunyikan rona merah di pipi.
"Aku berangkat. Tuan Agata ada rapat pagi ini mungkin akan lama. Ingat, hanya boleh mengirim pesan." Denis mengangkat jari telunjuk memperingatkan Larisa agar tidak menelponnya.
Gadis itu mengangguk malu-malu, sikap Denis benar-benar manis akhir-akhir ini. Itu membuatnya bahagia. Ah, apakah dia jatuh cinta?
Larisa berjingkrak setelah melepas kepergian Denis, bernyanyi riang gembira. Bahkan, pekerjaan rumah selesai tak terduga. Sampai dering ponsel berbunyi nyaring, barulah Larisa berhenti dan melihat si Penelpon.
"Ayah? Mau apa mereka?" Ragu, ia mengangkat panggilan dari ayahnya.
"Hallo!"
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......