Maritsa tidak pernah menyangka jika nasibnya akan berubah menjadi janda..
Setelah kehilangan suaminya, Maritsa menemui beberapa rintangan dalam kehidupannya.
Bagaimana jika keluarga dari pihak mantan suami yang terus mengusik kehidupannya?
bahkan dia di tuduh merebut calon suami dari kakak iparnnya.
Mampukah Maritsa melewati semua itu?
Siapakah yang akan tetap bertahan disampingnya?
Yuk ikuti kisah Janda kuat yg satu ini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zi_hafs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
***
Malam ini Maritsa tidak bisa tidur. Dia masih terngiang kata-kata kasar yang diucap Zetta. Dia juga sedih karena tabungan Zafran yang rencananya akan dipakai untuk kebutuhan sekolah Zyan, raib seketika. Sebisa mungkin dia akan menabung lebih banyak dari biasanya untuk persiapan pendidikan Zyan.
Beruntung saat ini dia masih punya sedikit tabungan, mungkin dia akan membeli motor dulu untuk bepergian.
*Tok tok tok
"Nduk, apa kamu sudah tidur?" tanya Hawa dibalik pintu.
"Belum Bu Lek."
"apa Bu Lek boleh masuk?"
"Masuk aja Bu Lek, lagian Maritsa gak bisa tidur. Atau bu Lek mau tidur disini saja temani Maritsa?"
Hawa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Dia merebahkan diri di samping Zyan sambil menatap ponakan kesayangannya itu.
"Bu Lek, aku mau beli motor, menurut Bu Lek gimana? Apa aku bepergian pakai ojek online?"
"Kalau menurut Bu Lek mending beli motor Nduk, lebih efisien dan fleksibel"
"Yaudah besok Maritsa pergi ya, mau cari motor."
"Biar Bu Lek aja yang pergi, kamu jaga Zyan di rumah, lagian kamu masih belum terlihat baik, lebih baik kamu istirahat aja Nduk."
"Yaudah besok aku transfer ya uangnya. Oh ya Bu lek, perasaanku kenapa gak enak ya. Entah aku merasa sedih. Seperti kehilangan sesuatu. Tapi aku gak tau apa."
"Nduk, kamu jangan mikir aneh-aneh ya, mungkin itu cuma persaanmu saja. Ayo merem. Kalau susah, baca alfatihah dan surat pendek. Nanti juga tidur dengan sendirinya."
Maritsa mula memejamkan matanya dan membaca surat pendek dalam hati. Sungguh obat tidur yang mujarab, dia langsung berada di alam mimpi.
"Zafran? Papa? Kalian mau kemana? Maritsa ikut..!"
Mereka berdua tidak menjawab pertanyaan Maritsa, Hanya senyuman yang mereka berikan, tubuh mereka seperti ringan. Mereka melayang-melayang, seakan menjauh, sangat jauh sampai tak terlihat.
"Zafran, Papa jangan tinggalin Maritsa sendiri."
Tiba tiba kedua lengan Maritsa ada yang menarik, Ternyata Bu Lek dan satu lelaki yang wajahnya terlihat samar-samar.
"Tidak, lepasin aku.. Zafran, papa tolong aku. Jangan tinggalin aku.. Aaaaa." Maritsa berteriak sambil memejamkan mata.
"Nduk, Nduk, bangun sayang.. Kamu mimpi buruk, istighfar Nduk istighfar." Hawa berusaha membangunkan Maritsa agar segera sadar.
"Nduk ayo bangun, kamu minum dulu ya, jangan bikin Bu Lek Khawatir."
Maritsa yang tersadar langsung menangis. Hatinya semakin tak karuan.
"Bu Lek mimpiku aneh banget. Aku jadi takut." Maritsa menceritakan apa yang dia mimpikan. Mungkin saja dia memang lagi rindu sama Zafran. Tapi kenapa papa juga hadir dalam mimpi nya.
"Bu Lek, Aku ingin ketemu papa. Bu Lek mau antar aku kan? kita naik taksi online saja."
"Tapi Nduk, Bu Lek takut kamu malah diusir sama Rianti dan Zetta. Bu Lek gak mau ambil resiko."
"Tapi perasaan Maritsa gak enak banget Bu Lek. Aku pengen ketemu papa."
"Kamu coba kirim pesan ke Papa. saran Bu Lek, kalian ketemu di luar saja."
"Baiklah, besok aku coba hubungi papa."
Maritsa kembali tidur kali ini dia sambil memegang tangan Zyan. baru saja dia terlelap, Zyan sudah menangis mencari gentongnya. Sungguh nikmat menjadi seorang ibu.
.
.
.
Keesokan paginya, Maritsa berkutat seperti biasa di dapur, menyiapkan sarapan untuk Bu Lek dan dirinya. Tak lupa bekal makan siang untuk Bosnya. Kali ini dia juga bikin puding. Nanti bisa diberikan ke Rendra, Pak Barry, maupun sahabatnya, Rayyan.
"Alhamdulillah rampung. Oh ya hampir lupa aku mau hubungi papa dulu, nanti siang aku mau ketemu."
Ketika melihat ponsel, dadanya berdetak kencang. Kenapa tidak? Dia melihat WS papa, mama serta iparnya itu. Foto dimana sang papa terbaring ditutup dengan kain serba putih.
Dia langsung berlari menuju Bu Lek nya.
"Bu Lek, Bu Lek, apa yang aku khawatirkan semalam ternyata adalah sebuah pertanda. Aku kehilangan papa Bu Lek... Hiks hiikks." Maritsa menangis sejadi-jadinya. Dipeluknya Hawa dengan erat. Dia merasa kehilangan seseorang yang sangat baik dan sabar.
"Nduk, yang sabar ya, Semua sudah digariskan oleh Allah. Kamu yang ikhlas. Papa sudah bahagia dengan Zafran di surga."
"Ayo kita berangkat kerumah papa sekarang Bu Lek, aku ingin lihat papa.. Hiks hiks.."
"Nduk, tenangkan dulu pikiranmu. Jangan sedih, nanti pengaruh sama asi mu. Mending kamu siap-siap dulu, sebentar lagi Pak Barry datang."
Maritsa berlari ke kamar. Dia sudah mandi saat subuh, jadi dia hanya mengganti pakaian dan hijabnya.
*Tin Tin ...
Pak Barri datang seperti biasa. Dia turun dari mobil untuk menyapa Hawa dan Zyan yang sedang di jemur.
Maritsa yang mendengar klakson mobil Barri, segera keluar dengan menenteng beberapa kotak makanan.
"Pagi Pak, Oh ya ini bekal untuk Pak Rendra, dan ini puding untuk pak barri, dan satu lagi saya nitip buat Pak Rayyan."
"Loh saya juga dapat jatah Bu?" Tanya barri tidak percaya.
"Iya, itu bonus buat bapak." Maritsa tersenyum tipis meskipun wajahnya terlihat sembab akibat menangis.
"Terimakasih Bu Maritsa, Bu Hawa. saya pamit dulu, assalamaualaikum."
"Waalaikum salam, hati hati di jalan." jawab mereka serentak.
***
Di mobil..
"Bu maritsa kenapa terlihat seperti habis menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi? Saya harus lapor sama Pak Rendra."
Di sepanjang perjalanan Barri tersenyum, dia seneng sekali mendapat jatah bekal meskipun hanya sekotak puding.
Setelah sampai di kantor, Dia langsung menemui Bosnya dan memberikan bekal seperti biasa.
"Ini Bekal pak Rendra, Oh ya pak, saya tadi....."
Belum sempat memberikan laporan keaadan Maritsa, Rendra langsung memotong omonganya. Rendra yang merasa aneh kenapa Barri masih membawa 2 kotak bekal lagi.
"Pak Barri tunggu, kotak bekal siapa yang anda bawa?"
"Oh ini, ini puding dari Bu Maritsa untuk saya dan Pak Rayyan." Jawab Barri sambil menundukkan kepala.
"Apa? Kalian dapat jatah? Kenapa Maritsa repot repot memberi kalian bekal?"
"Saya juga tidak tau pak, namanya rejeki ya saya tidak menolaknya. Kalau begitu saya permisi pak."
"Pak Barri tunggu sebentar. Kenapa Rayyan juga dapat jatah?"
"Maaf Pak Rendra, untuk masalah itu, bapak bisa menanyakan langsung ke Bu Martisa."
"Ehm, Ok, anda bisa keluar sekarang." Ucap Rendra yang sebetulnya belum ikhlas karena masih belum mendapat jawaban dari pertanyaannya.
Barry pun jadi lupa untuk menjelaskan keeadaan Maritsa ke Bosnya. Setelah Barri keluar dari ruangan, Rendra mulai berfikir.
"Ada hubungan apa sebenarnya Maritsa dengan Rayyan. Apa mereka sudah jadian? Kenapa Maritsa perhatian sama Rayyan? Aku harus cari tau."
Dia meraih benda pipih di atas meja kerja nya dan mulai menekan tombol. Lama panggilan itu tak diangkat. Sampai 4 kali panggilannya diabaikan oleh Maritsa.
"Apa Maritsa memang sengaja gak angkat telpon? Atau memang dia sengaja menghindariku? Apa dia membatasi komunikasi denganku hanya karena menjaga perasaan Rayyan? Ahh.. sh*t ! Lama-lama aku bisa gila."
Entahlah, biasanya dia semangat membuka bekal makan siang yang disiapkan Maritsa, tapi kali ini mood nya mendadak hilang.
Apakah dia cemburu? Dia pun sendiri tak tau.
yang tau hanya Author ^_^
Mampir di karyaku jg ya