Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama yang Nyata
Perusahaan ini sangat megah dan tampak berkelas sangat tinggi. Begitu pula dengan penampilan pekerjanya.
Rihana agak minder ketika melangkah memasuki loby. Beberapa menatapmya prihatin, walau banyak juga yang cuek.
Peraturan yang meminta mereka untuk mengenakan kemeja putih dan celana panjang atau rok hitam selama tiga bulan masa percobaan kerja membuat mereka ditandai sebagai pegawai baru.
Mbak mbak cantik di resepsionis memintanya pergi ke ruangan yang menjadi tempat kerjanya nanti.
Kembali Rihana merasa insecure melihat kebeningan kulit mereka, seperti artis sinetron di tivi. Kulit mereka sangat bersih. Dan wajah mereka pun sangat cantik cantik dan tampan tampan selain penampilan mereka yang sudah pastinya sangat keren keren.
Jika saja Rihana tidak harus mengirimkan uang gajinya untuk kebutuhan panti nanti, pasti dia akan bisa berpenampilan sekeren mereka nantinya.
Rihana tersenyum dengan pikiran isengnya yang muncul tiba tiba. Ngga mungkinlah Rihana akan melakukannya. Ibu panti sudah melakukan banyak hal yang baik dalam hidupnya. Saatnya dia membalas kebaikan dan kasih sayang beliau.
Selain itu Ibu panti juga sudah tua untuk mencari uang dan mengurus keadaan panti. Untungnya mbak Emi dan mbak Rohani masih mau ikut mereka. Mereka berdua akan membantu ibu panti dalam memgurus anak anak dan panti itu sendiri.
Rihana bersyukur ngga datang terlambat. Seperti kebiasaannya selama di panti, dia selau mandi sebelum azan shalat subuh. Hanya beberapa saja yang antri sesudahnya.
Rihana tersenyum saat melihat beberapa orang yang sudah datang dan menempati kubikel nya masing masing. Ada dua orang yang mengenakan seragam yang sama sepertinya. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala.
Rihana pun membalasnya sebelum berjalan ke arah kubikelnya.
Rasanya sangat menyenangkan melihat laptop yang masih baru dan berkas berkas di atas meja yang ada papan namanya. Dia pun meletakkan figura yang memuat foto berukuran 3R ketika dirinya berada dalam pelukan mamanya. Saat mereka akan berangkat ke ibu kota dulu. Foto itulah yang selalu dibawanya. Mengingatkan dirinya yang masih memiliki seorang ibu. Walau hanya sebentar.
Rihana pun membuka laptopnya. Layarnya menampilkan ikon perusahaannya.
PT Mega Kencana Teknik Grup.
Rihana tersenyum, kemudian membuka map map yang ada di atas dan mulai mempelajarinya satu persatu.
Keenceran otaknya menjadikannya mudah dalam mengerjakan tugas tugas yang ada di mejanya.
Dia berada dalam divisi perancangan teknik. Seorang manejer menaunginya yang Rihana baru saja melihatnya datang dengan langkah cepat.
Tugas tugasnya pun selesai dia kerjakan bertepatan dengan waktu yang menunjukkan jam makan siang.
Dia pun segera menshutdown laptopnya.
"Hai, namaku Winta."
Suara sapaan itu spontan membuat Rihana menoleh dan membalas uluran tangannya.
"Rihana."
"Aku Puspa," sapa yang satu lagi ikut memperkenalkan diri.
"Rihana." Rasanya saat senang disapa oleh pegawai yang sama sama baru di saat dia sama sekali ngga mengenal siapa pun.
"Kamu sudah selesai?" tanya Winta.
"Sudah, baru aja."
"Kalo begitu, ayo kita ke kantin," ujar Puspa ngga sabar. Perutnya rasanya sangat keroncongan setelah berpikir cukup keras tadi.
"Ayo," ajak Rihana sambil mengambil tasnya.
"Waktu kecil kamu imut sekali," puji Winta ketika melihat pigura yang ada di mejanya.
"Itu kenanganku bersama mama," jawab Rihana ringan.
Alis keduanya berkerut.
"Kenangan? Maksud kamu...?" tebak Puspa sungkan. Sementara Winta menatapnya ngga enak.
"Mamaku sudah meninggal."
"Oh, maaf," ucap keduanya merasa bersalah karena sudah membuka luka lama teman baru mereka.
"Ngga apa. Ayo, kita ke kantin sekarang."
Winta dan Puspa mengembangkan senyum mereka sambil mengangguk. Bertiga mereka mulai berjalan keluar dari ruangan. Rasanya mereka sudah pernah akrab sebelumnya sehingga sekaramg mereka terlihat begitu luwes satu sama yang lainnya.
Ketika sampai di lobi pandangan mereka tertuju pada seorang gadis yang sangat cantik dan berkulit putuh bening yang baru saja melewati mereka dengan paper bag di tangan.
Gadis itu melangkah ke arah lift khusus untuk petinggi perusahaan.
"Cantiknya.... Siapa ya?" kagum Puspa ngga berkedip menatapnya. Dan dia cepat cepat tersenym dengan sangat manis ketika gadis itu tersenyum tipis padanya.
"Anaknya pak Bos pemilik perusahaan ini," jelas Winta yang juga melihat sampai pintu lift gadis itu tertutup.
"Pantasan, cantik dan berkelas banget. Segalanya branded," kata Puspa penuh puja puji.
Rihana tersenyum. Wajarkah. Teman teman SMA dan kuliahnya dulu juga begitu, karena memiliki keluarga yang sangat kaya raya.
"Kita kalo udah terima gaji tiga bulan, baru bisa beli tas branded dan hidup mewah," kekeh Winta.
"Betul. Sekarang sabar dulu. Pake aja yang ka-we," ledek Puspa juga ikut tertawa.
Rihana lagi lagi hanya mengulas senyum tipis. Dia ngga mungkin bisa seperti itu. Lagi pula apa manfaatnya tas branded dibanding biaya makan, sandang dan sekolah adik adiknya di panti.
Mereka pun bertemu beberapa orang yang juga berpakaian seperti mereka. Ada laki laki dan perempuan. Mereka melambaikan tangan mengajak ketiganya ikut bergabung.
"Boleh juga," respon Puspa setuju. Semakin banyak teman semakin baik menurutnya.
Rihana dan Winta mengikuti saja langkah Puspa.
"Hai... Di sini kursinya banyak," sambut salah seorang laki laki diantara mereka.
"Agus," sambungnya memperkenalkan diri. Begitu juga yang lain. Ada Ratna, Seli, Rukma, Milfa, Dino, Bagas, Yadi, dan Ardi.
"Me Puspa, ini Winta dan Rihana."
Ketiganya kemudian bergabung pada tiga kursi yang kebetulan masih kosong.
Rihana ngga banyak bicara. Tapi dia menperhatikan obrolan mereka. Ada yang di bagian keuangan, pajak, HSE, dan staf lapangan.
"Keren keren yang kerja di sini, ya," kagum Seli sambil memperhatikan para pekerja yang sedang menikmati makannannya.
"Nanti setelah kita diangkat jadi pegawai tetap, gaji kita naek dua kali lipat. Baru bisa gaya gaya kayak gitu," kekeh Rukma yang dibalas tawa berderai yang lain.
"Tiga bulan lagi. Ngga lama," tambah Puspa.
"Sekarang kerja yang bener dulu. Jangan malah dipecat sebelum selesai masa kontrak," kekeh Yadi yang kembali dibalas gelak tawa.
"Malah apes jadi pengangguran," tambah Agus dalam tawanya
Ya, benar. Dia harus bekerja sungguh sungguh. Ngga boleh ada kesalahan, apalagi sampai dipecat, batin Rihana. Besar harapannya agar diangkat jadi pegawai tetap. Bisa memberikan kehidupan yang lebih layak buat ibu panti dan adik adiknya seperti dulu, sebelum usaha konveksi mereka mendapat musibah kebakaran.
"Pak Dewan katanya baru pulang dari Paris. Orang kaya enaknya bisa jalan jalan luar negeri terus," cetus Ratna setelah tawa mereka usai.
"Jalan jalan sambil memperluas ekspansi," sahut Bagas membenarkan.
"Iya. Senang, ya. Jalan jalan tapi malah dapat cuan," timpal Winta.
"Ngga kayak kita. Jalan jalan malah buang cuan," senyum Milfa.
"Trus ngutang," gelak Seli disambut tawa yang lain.
"Tadi kayaknya putrinya. Cantik banget," timbrung Puspa setelah tawa mereka mereda.
"Yang bawa paper bag, ya. Tadi kita juga ketemu di lobi waktu mau ke sini," sambung Rukma antusias.
"Anak yang baik. Kayaknya ngantar makan buat papanya," lanjut Seli juga antusias.
"Istrinya pak Dewan juga cantik banget loh," kata Ratna melanjutkan.
"Keluarga yang sangat bahagia," sambung Winta ngga mau kalah.
Para laki laki hanya tersenyum saja kali ini ngga berkomentar apa apa mendengar gibahan para perempuan.
Mendengar nama Dewan yang disebutkan berkali kali memunculkan perasaan yang lain di hati Rihana. Tapi dia bingung, kenapa. Dia merasa pernah mendengar nama itu. Tapi ngga ingat, kapan dan dimana.
"Katanya itu putri satu satunya, kan. Pasti jadi princes banget. Cantik, kaya raya, juga terkenal baik," kata Winta penuh kagum
"Iya. Ayo yang jomblo, naksir nggak?" pancing Selli pada teman teman laki lakinya.
Mereka tersenyum agak meringis. Ya, ngga mungkinlah, pegawai kontrak bersaing untuk mendapatkan princes.
"Udah jiper ya, mas," goda Ratna ngikik diikuti Puspa dan Ratna. Yang lainnya tersenyum lebar
"Jodoh ngga ada yang tau," sahut Agus santai.
"Betul, bro," lanjut Dino juga santai
"Iya ya," balas Seli kemudian tertawa lagi. Kali ini para lelaki itu pun mulai tersenyum lebar.
'Aurora Gauri Iskandardinata. Namanya aja udah keren abis," komentar Winta ngga henti hentinya terkagum kagum.
DEG DEG
Otak encer Rihana mulai bereaksi.
"Nama pemilik perusahaan ini siapa, sih?" tanyanya ragu dan mendadak berbagai rasa luar biasa berkecamuk dalam hatinya. Jantungnya seperti ngga lelah berpacu sangat kencang, ngga tenang menunggu jawaban.
'Kamu ngga baca profil perusahaan kita?" Winta balik bertanya heran apalagi melihat Rihana menggelengkan kepala.
'Aku udah telanjur senang aja keterima di sini. Ngga lihat apa pun lagi," katanya jujur dengan gemuruh dada yang semakin sukar diredam.
"Ooohhh.....," kekeh yang lainnya maklum. Siapa yang ngga merasa euforia saat diterima bekerja di perusahaan yang sudah melang lang buana sampai ke luar negeri.
Cepatlah, aku butuh informasi ini, batinnya ngga sabar.
"Dewan Iskandardinata," akhirnya Bagas yang menjawab.
DEG DEG DEG DEG
Hampir saja Rihana menjatuhkan sendoknya. Tanpa teman temannya sadari tangannya bergetar, punggungnya mulai dibasahi keringat dingin.
Jadi nama itu benar nyata? batinnya mendadak pedih. Baru dia sadar kenapa saat itu mamanya menangis kala melihat laki laki yang menggendong anak perempuan yang lebih kecil darinya dulu. Sampai jatuh sakit. Dan akhirnya meninggal dunia.