Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 : Calonnya Mas Abdul
Kedekatan mas Abdul dengan Dewi dan anak-anaknya, menciptakan percikan kekhawatiran di dalam hati ibu Safangah. Tentunya, sebagai seorang ibu, ibu Safangah ingin putranya mendapatkan jodoh yang terbaik. Terlebih sejauh ini, mas Abdul dengan segala keistimewaannya, bukan tipikal yang neko-neko. Mas Abdul tipikal yang sangat tanggung jawab.
“Lihat ini ... bikin gini. Sini, sini ... Om ajarin!” ucap mas Abdul bersemangat. Di tengah kesibukannya bekerja di ruang tamu, ia yang sengaja mengajak Alif juga mengajarinya menulis.
Sebuah buku tulis dan pensil, sengaja mas Abdul sediakan secara khusus. Yang mana hadirnya Dewi untuk mengantar secangkir kopi, justru membuat ketiganya layaknya keluarga bahagia. Entah sejak kapan ketiganya begitu dekat. Karena sejauh ini yang ibu Safangah tahu, mas Abdul tipikal luruh yang hanya fokus dengan keluarga dan bekerja. Namun ibu Safangah masih ingat, bahwa saat SMA dulu, mas Abdul pernah punya kekasih. Masalahnya, bukan itu yang membuat ibu Safangah pusing. Karena yang ingin ibu Safangah batasi ialah interaksi sang putra dengan Dewi dan anak-anaknya.
“Sampai diajari nulis, padahal baru semingguan kenal. Yang namanya baik dan bu ruknya seseorang memang enggak butuh waktu buat menunjukan sifat aslinya,” batin Dewi yang segera pergi dari sana. Sebab ia tak sengaja memergoki ibu Safangan mengawasi dari sebelah pintu menuju ruang tamu.
Dewi membungkuk hormat kepada ibu Safangah selaku orang yang sangat ia takuti di sana. Sambil mendekap nampannya, Dewi tak berani menatap bahkan sekadar melirik ibu Safangah.
Kepergian Dewi yang hanya ia senyumi dengan gaya super dingin, menjadi alasan ibu Safangah mendekati sang putra. Ibu Safangah berdeham, tapi itu tak melunturkan senyum mas Abdul kepada Alif yang berhasil menulis hurus A mengikuti arahan mas Abdul. Mas Abdul sendiri baru kehilangan senyumnya lantaran tanggapan sang mama kepada Alif begitu dingin. Alif yang menang terbilang sensi.tif langsung kehilangan senyumnya dan lagi-lagi menjadi anak yang pendiam patuh.
“Kamu suka anak kecil, kenapa enggak nikah saja? Usiamu sudah cukup loh, Mas. Apalagi, Windri adikmu yang paling kecil saja sudah dapat lamaran,” ucap ibu Safangah sambil duduk di sofa sebelah sang putra duduk.
“Suka sama anak kecil bukan berarti harus buru-buru nikah lah Ma. Malahan aku maunya, memang adik-adik dulu yang nikah. Biar kita bisa sama-sama tenang. Andai Mama mau nikah lagi pun, aku enggak keberatan,” ucap mas Abdul santai. Kemudian, ia mengelus-elus kepala Alif. Rambut kurus tebal Alif jadi agak berantakan karenanya.
Sambil menatap sang mama, Mas Abdul berkata, “Jangan galak-galak ke Alif. Mamanya sudah sangat bekerja keras demi memanjakan kita.”
Disinggung seperti barusan oleh mas Abdul, ibu Safangah langsung mendengkus sebal. Namun kemudian, ia sengaja membahas perjodohan untuk mas Abdul. “Kamu maunya sama yang seperti apa?”
“Beneran belum kepikiran lah Ma,” yakin mas Abdul yang kemudian meraih secangkir kopi hitam buatan Dewi dan memang masih panas.
“Ya sudah, ... kalau gitu, nanti Mama sambil cari-cari calon buat kamu,” ucap ibu Safangah. Sang putra langsung menatapnya tanpa tanggapan berarti. Baik menyanggupi atau malah menolak, mas Abdul sungguh tidak melakukannya. Malah, mas Abdul cenderung fokus mengawal belajarnya Alif.
Belum genap setengah hari dari ucapannya untuk mencarikan calon jodoh sang putra, sore menjelang petang ibu Safangah membuktikannya. Seorang wanita cantik berambut bergelombang hitam panjang, datang bersama sepasang paruh baya. Tak tanggung-tanggung, ibu Safangah turut turun langsung membukakan pintu di belakang Dewi.
Ibu Safangah begitu akrab dengan ketiganya. Selain itu, ibu Safangah juga langsung sibuk memuji-muji si wanita cantik bernama Mega tersebut. Tentunya, ibu Safangah sengaja melakukannya agar menyurutkan mental Dewi. Agar Dewi tahu diri dan tidak berani dekat-dekat dengan mas Abdul. Akan tetapi, Dewi yang tidak ada rasa kepada mas Abdul, sama sekali tidak terusik. Dewi hanya kagum kepada mbak Mega yang selain sangat cantik, juga dari keluarga kaya raya layaknya cerita yang tengah ibu Safangah bisikan kepadanya.
“Calonnya mas Abdul. Cantik, kan? Orang tuanya kaya raya. Sementara mbak Mega kerjanya di pertamina. Jadi manager dia!” bisik ibu Safangah masih sengaja membuat Dewi tahu diri agar tidak dekat-dekat mas Abdul. Sebab meski dirinya bisa menyingkirkan Dewi dengan mudah, dirinya tidak tega jika harus melakukannya. Ibu Safangah kasihan kepada Dewi yang harus banting tulang untuk kedua anaknya yang masih kecil-kecil.
“Nih anak enggak ada cemburu-cemburunya? Atau memang ... si Dewi memang bebal mirip si Retno?” pikir ibu Safangah jadi bingung sendiri dengan tanggapan Dewi yang terlalu netral.
“Bawa ini ke dapur, taruh di meja makan saja,” sergah ibu Safangah sambil memberikan satu jinjingan buah layaknya parsel.
Tanpa sedikit pun curiga, Dewi membopong jinjingan tersebut menggunakan kedua tangan. Dewi berpapasan dengan mas Abdul di dapur.
“Mbak, dari mana? Ada yang datang, apa bagaimana?” tanya mas Abdul sambil melongok-longok apa yang Dewi bawa dan memang langsung ia ambil alih. Seperti yang ia duga, itu berat.
“Dari calon istri Mas, Mas! Tadi mamanya Mas bilang begitu!” ucap Dewi bersemangat. Ia bahkan langsung tersenyum ceria, tapi yang ia senyumi malah kebingungan.
“Hah? Calon istri?” ucap mas Abdul masih tidak yakin dengan kabar yang Dewi sampaikan.
Demi mengangguk-angguk. “Iya, Mas. Yang namanya Mbak Mega, beliau anaknya orang kaya raya, kerjanya di pertamina, jadi manager!”
“Heh! Kamu tahu dari mana?” penasaran mas Abdul. Karena yang ia tahu, Dewi tipikal kalem yang tak mungkin kepo apalagi banyak tanya.
Namun dengan polosnya, Dewi yang memang tipikal jujur berkata, “Kan mama Mas yang cerita. Ya sudah Mas, saya mau lanjut bikin pisang goreng sama tahu berontak buat sajian mbak Mega dan orang tuanya!”
“Hah? Ngapain Mama sampai cerita-cerita ke Dewi? Apa maksud Mama sampai begitu?” pikir mas Abdul jadi curiga pada cara mamanya. Bagi mas Abdul, sang mama sengaja membuat Dewi membatasi hubungannya dengannya.
❤️❤️❤️
BTW aku mau tanya. Mengenai perceraian di tahun 1980, konon kata sumber yang aku dapat, di Jawa Barat, itu dulu cukup laporan bahwa mereka—pasangan ingin cerai, langsung dikasih akta cerai. Jadi, bagi si wanita tinggal nunggu masa Idah, baru boleh menikah lagi. Kalau laki-laki mah enak kan, masih punya istri saja, nikah Terrroooossss.
Nah, berhubung kisah ini tahun 1980’n, aku minta masukan buat proses perceraiannya dong. Apa iya, cukup yang kayak cerita dari nara sumberku?
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......