Rafael Graziano Frederick, seorang dokter spesialis bedah, tak menyangka bahwa ia bisa kembali bertemu dengan seorang gadis yang dulu selalu menempel dan menginginkan perhatiannya.
Namun, pertemuannya kali ini sangatlah berbeda karena gadis manja itu telah berubah mandiri, bahkan tak membutuhkan perhatiannya lagi.
Mirelle Kyler, gadis manja yang sejak kecil selalu ingin berada di dekat Rafael, kini telah berubah menjadi gadis mandiri yang luar biasa. Ia tergabung dalam pasukan khusus dan menjadi seorang sniper.
Pertemuan keduanya dalam sebuah medan pertempuran guna misi perdamaian, membuat Rafael terus mencoba mendekati gadis yang bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Akankah Mirelle kembali meminta perhatian dari Rafael?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PimCherry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIRELLE KYLER!!
Mirelle mengerjapkan matanya. Pantulan cahaya putih yang mendominasi serta bau obat obatan yang begitu tercium di hidungnya, membuatnya membuka matanya semakin lebar.
“Elle!” Xena yang melihat pergerakan Mirelle pun langsung menghampirinya.
“Kak.”
“Syukurlah kamu sudah sadar. Aku sangat mengkhawatirkanmu,” kata Xena.
Snake dan Xena memang berhasil menemukan Mirelle. Namun kondisi Mirelle saat itu benar benar di luar bayangannya. Xena langsung menekan tombol untuk memanggil dokter.
“Di mana aku, Kak?” tanya Mirelle.
“Kita sudah kembali ke Munich dan kamu sedang mendapat perawatan di rumah sakit,” jawab Xena.
“Kita kembali saja,” ucap Mirelle. Kembali di sini maksud Mirelle adalah kembali ke markas di mana biasa mereka tinggal selama mereka menunggu misi.
“Tak bisa, Elle. Kamu akan tetap di sini sampai kondisimu benar benar pulih,” ucap Xena. Kondisi Mirelle saat ini, kaki dan tangan sebelah kiri mengalami patah tulang dan kepalanya pun mengalami gegar otak ringan.
Mirelle menghela nafasnya pelan. Ia tak suka berada di rumah sakit terlalu lama karena tubuhnya semakin terasa kaku saja.
“T-tapi Kak …”
“Dengarkan aku kali ini.”
Mirelle memegang kepalanya kali ini, tiba-tiba saja rasa pusing yang amat sangat menyerangnya dan membuatnya meringis.
“Kepalamu sakit, Elle?” tanya Xena.
Tak berselang lama, dokter masuk dengan dua orang perawat. Xena langsung menjauhi brankar sehingga dokter dan perawat tersebut bisa dengan leluasa memeriksa keadaan Mirelle.
“Bagaimana, Dok?” tanya Xena saat dokter telah selesai memeriksa.
“Saya akan membuat surat rujukan ke dokter spesialis bedah. Ia yang akan memastikan bagaimana kondisi di bagian kepala Nona Mirelle. Saya tak ingin berspekulasi.”
“Baiklah, lakukan semua yang terbaik, Dok,” ujar Xena.
Bagi Snake, Xena, dan bagi mereka semua, Mirelle adalah pahlawan. Karena dirinya lah pemberontakan ini bisa segera berakhir.
“Aku tidak apa apa, Kak. Aku hanya tak suka berada di sini karena membuatku pusing dan tak nyaman. Jika kita pulang, aku yakin kalau aku akan lebih cepat sembuh,” ucap Mirelle.
“Ini perintah komandan, Elle. Kamu tak ingin membantah apa yang sudah diperintahkan bukan?” ucapan Xena langsung membuat Mirelle menghela nafas panjang.
Ya, ia tak akan membantah perintah komandan mereka, kecuali saat penyerangan kemarin. Meskipun komandan merrka memintanya untuk menunggu, tapi ia tak bisa melakukan itu karena setiap detiknya tentu akan semakin berbahaya bagi Snake dan juga Xena.
*****
Tak ada kabar sama sekali yang didapatkan oleh Rafael. Ia bahkan kembali ke Munich tanpa Mirelle. Sudah tiga hari sejak kepulangannya dari camp, ia tak muncul di rumah sakit.
“Kamu tak bekerja, Raf?” tanya Queen.
“Tidak, Mom,” jawab Rafael.
“Apa kamu masi kelelahan?”
“Hmm,” jawab Rafael singkat.
“Yasa menghubungi Mommy tadi dan menanyakan kapan kamu akan datang ke rumah sakit. Banyak pasien yang menghubungi dan ingin membuat janji temu denganmu.”
“Aku tak tahu, Mom. Aku sedang malas,” ucap Rafael.
Queen menggelengkan kepalanya. Tumben sekali seorang Rafael malas pergi ke rumah sakit. Dulu, putra bungsunya itu malah menjadikan rumah sakit sebagai rumah utama baginya. Ya, ia jarang pulang dengan alasan pasien ini pasuen itu.
Tiba tiba saja ponsel Rafael berbunyi, tampak nama Dokter Reagan di sana. Mau tidak mau akhirnya Rafael menjawab panggilan ponselnya tersebut.
“Raf!”
“Ada apa, gan?” tanya Rafael.
“Aku perlu bantuanmu,” jawab Reagan.
“Katakanlah.”
“Aku punya seorang pasien wanita. Ia masuk beberapa hari yang lalu dan sempat tak sadarkan diri beberapa hari. Sebelah tangan dan kakinya memgalami patah tulang dan menurut diagnosaku ia mengalami gegar otak ringan,” terdengar suara Reagan mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan, sementara Rafael hanya tetap diam dan mendengarkan setiap kata demi kata yang diucapkan oleh Reagan.
“Sore ini ia sadar dan ia memegang kepalanya yang sepertinya terasa sakit dan pusing. Maukah kamu membantuku, ini menyangkut nyawa,” lanjut Reagan.
Seperti biasa, Rafael tak akan menolak, apalagi ketika Reagan memintanya secara pribadi.
“Aku …”
“Kamu sudah beberapa hari libur, Raf. Banyak pekerjaan di sini menunggumu. Pasien pasienmu juga tak ingin dialihkan ke dokter lain, hingga membuat jadwalmu benar benar penuh sepertinya.”
“Baiklah kalau begitu, aku akan segera ke sana.”
“Terima kasih, Raf,” ucap Reagan.
“Sama sama,” balas Rafael.
Rafael meletakkan ponselnya di atas meja kemudian kembali bersandar di sofa.
“Ada apa, sayang?” tanya Queen saat melihat raut wajah Rafael yang lebih ditekuk lagi daripada sebelumnyaz
“Aku harus ke rumah sakit, Mom.”
“Cutimu sudah selesai?” tanya Queen menggoda Rafael.
“Seharusnya belum, Mom. Tapi ada pasien yang membutuhkan penangananku,” jawab Rafael.
“Apa itu tadi Yasa yang menghubungimu?”
Rafael menggelengkan kepalanya, “bukan, Mom. Itu tadi Reagan.”
“Kalau begitu pergilah. Jika Reagan sampai menghubungimu begini, tentu pasien itu benar benar membutuhkan penangananmu segera,” ucap Queen.
“Aku mengerti, Mom. Kalau begitu aku akan bersiap siap terlebih dahulu.”
Tak perlu waktu lama, Rafael telah siap dan ia pun segwra berangkat. Hari ini jalanan seperti berpihak padanya karena jalanan terlihat begitu lengang.
Sesampainya Rafael di rumah sakit, ia langsung melangkah mencari Reagan. Banyak pasang mata yang memperhatikan Rafael, terutama para perawat yang masih saja bermimpi untuk mendapatkan kekasih ataupun suami seorang dokter, apalagi jika dokter itu adalah Rafael.
“Raf!” Rafael menoleh dan melihat seorang wanita yang tak ia harapkan sama sekali.
“Akhirnya kamu masuk juga, ke mana saja kamu?” tanya Alma.
“Ku rasa aku ke mana, dengan siapa, dan melakukan apa, itu bukan urusanmu.”
“Tapi Raf, kita akan segera bertunangan. Aku sudah mengatakan semua pada Daddy dan kamu tahu … Daddy setujuuu!!!” Alma tampak melompat kegirangan sementara Rafael justru merasa jengah saat melihatnya.
“Aku banyak pekerjaan, jangan menggangguku!” ucap Rafael dengan ketus.
“Aku tak akan mengganggumu, Raf. Tapi jangan lupa siapkan waktu khusus untukku karena aku akan mengundangmu serta keluargamu untuk makan malam bersama. Dad ingin membicarakan tentang pertunangan kita,” ucap Alma bersemangat.
“Pergi! Tapi sebelumnya tatap wajahku,” perintah Rafael.
Alma dengan senang hati menatap wajah Rafael. Ia bahkan memindai wajah itu dan mulai membayangkan bahwa wajah itu akan ia lihat setiap kali ia akan bangun tidur nantinya, betapa bahagiannya.
“Aku mencintaimu,” ucap Alma saat menatap wajah Rafael.
“Ingat, dengar, dan cam kan kata kataku ini. Aku, tak akan pernah menikah denganmu, Dokter Alma. Sekuat apapun kamu memaksakan pernikahan ini, maka itu tak akan pernah terjadi!”
Mata Alma membulat setelah mendengar ucapan Rafael. Ia terdiam di sana sambil menata kepergian Rafael. Kakinya terasa kaku dan tak bisa digerakkan.
Sementara itu Rafael langsung pergi menuju ruang istirahat milik bersama yang ia gunakan bersama Reagan dan Bobby.
“Gan!”
“Raf, kamu sudah tiba? Ini laporan kesehatannya. Segeralah pelajari karena ia membutuhkan penanganan segera.”
Rafael mengambil map berisi catatan kesehatan tersebut dan langsung membulatkan matanya saat melihat nama yang tertera di sana.
“Mirelle Kyler!” gumam Rafael.
🧡🧡🧡