Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cicilan motor?!
Lisna sudah kembali ke kantor dengan mengendarai motor barunya.
"Terimaksih El. Aku tahu ini motor baru. Aku akan mencicilnya mulai bulan depan."
Tadinya Lisna ingin motor lamanya di kembalikan, tapi dia malas untuk terus terusan terlibat dengan Elang. Namun, kenyataannya dengan menerima motor baru ini, membuatnya juga akan terlibat terus dengan Elang setidaknya sebulan sekali.
Kini Lisna sudah kembali ke meja kerjanya dengan wajah tampak lesu. Aida pun langsung menghampirinya.
"Kenapa Lis? Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak kok, Da. Hanya saja aku kecapek-an." Kilahnya.
"Benaran?"
Lisna mengangguk yakin.
"Lisna! Mana Lisna…"
Itu suara pak Tio. Dia menanyakan keberadaan Lisna yang membuat Lisna berdiri dan melambaikan tangannya kearah Tio.
"Kamu sudah kembali?"
"Sudah, pak."
"Apa hubungan kamu sama mas Elang?" Tanya Tio to the point membuat Lisna bingung harus memberi jawaban apa.
"Atau jangan jangan kamu…"
Lisna menelan ludahnya kasar. Sedangkan Aida, Gunawan dan rekan rekan lainnya menunggu kelanjutan kalimat dari mulut pak Tio.
"Kamu sepupu mas Elang, ya?" Lanjut pak Tio.
"Bukan, pak. Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan beliau." Jawab Lisna tegas, cepat dan jelas.
Jawaban Lisna membuat semua orang merasa lega. Itu karena artinya Lisna karyawan biasa sama seperti mereka.
"Lalu, mengapa mas Elang meminta izin untuk membawa kamu pagi tadi?" Selidik Tio penasaran.
Lagi lagi semua orang diam fokus menunggu jawaban dari Lisna.
"Sebenarnya, kemarin saya tidak sengaja menabrak bagian belakang mobil beliau, pak." Jawab Lisna jujur.
"Menabrak mobil mas Elang?" Ulang Tio kaget.
"Maafkan saya pak. Tapi tadi saya dibawa untuk membayar tagihan perbaikan mobil beliau."
Lisna mulai melantur membolak balikkan fakta demi menyembunyikan tentang keterkaitannya dengan Elang.
"Ya ampun, Lisna. Jadi, kamu kecelakaan. Terus kamu baik baik saja?"
"Saya baik baik saja, pak. Hanya sedikit luka di tangan dan dahi saja."
"Syukurlah. Lalu apa uang kamu cukup membayar tagihan kerusakan mobil mas Elang?"
"Cukup pak, alhamdulillah cukup." Jawab Lisna cepat.
"Baguslah. Tapi, kalau kamu butuh pinjaman uang, langsung hubungi saya."
"Baik pak. Terimakasih banyak, pak."
Tio mengangguk, lalu dia berlalu menuju ruangannya kembali meninggalkan Lisna yang hanya bisa menghela napas lega.
"Memang berapa biaya kerusakan mobil mas Elang, Lis?" Tanya Aida yang semakin penasaran.
"Sekitar delapan belas jutaanlah." Jawab Lisna santai. Dia sudah kembali duduk di depan laptopnya.
"Kamu sudah bayar lunas semuanya? Sebanyak itu?" Selidik Aida merasa tidak percaya.
"Ya belumlah, Da. Aku bayarnya sistem cicil per bulan selama sembilan bulan."
"Wah, lama juga ya Lis. Semangat ya.."
"Terimkasih Aida."
Aida tersenyum sebelum akhirnya dia kembali ke meja kerjanya.
Pembicaraan tadi ternyata didengar jelas oleh Gunawan. Dia pun merasa iba pada Lisna dan ingin menawarkan bantuan tentu saja.
"Lis." Gunawan berdiri di depan meja kerja Lisna.
"Pak Gunawan? Ada yang bisa saya bantu, pak"? Sambut Lisna ramah.
"Tidak. Harusnya saya yang menawarkan bantuan sama kamu."
"Bantuan apa maksud bapak?" Lisna bingung.
"Aku bisa pinjamkan kamu uang untuk melunasi perbaikan mobil mas Elang." Bisiknya dengan suara pelan, meski masih saja terdengar oleh orang disekitarnya.
"Oh soal itu, tidak usah pak. Alhamdulillah saya sudah berhasil melunasi semua tagihannya." Jawab Lisna sopan mencoba meyakinkan Gunawan.
"Jangan sungkan untuk meminta bantuan dari saya, Lisna."
"Siap pak. Saya akan menghubungi bapak segera jika butuh bantuan."
Gunawan mengehela napas, lalu dia kembali ke meja kerjanya lagi untuk melanjutkan pekerjaanya.
*
*
*
Lisna tiba di dirumah lebih dulu dari Wulan dan Fauzi. Tapi, saat dia hendak masuk ke dalam rumah, handphone-nya berdering. Panggilan dari Wulan.
"Halo, Wulan. Ada apa?"
Kakinya berhenti sejenak di depan pintu utama.
"Iya, aku jemput sekarang."
Lisna tidak jadi masuk. Dia kembali mengendarai motornya untuk menjemput Queen di playground. Dia bermain disana bersama teman temannya setelah pulang sekolah tadi.
Wulan dan Fauzi ada tugas yang harus mereka selesaikan katanya. Padahal nyatanya mereka pergi berliburan untuk bulan madu mengenang masa masa saat mereka masih pacaran dulu.
Motor Lisna melaju cepat, menuju taman bermain anak anak tempat Queen menunggu kedatangannya. Karena jalanan sore macet, Lisna pun tergepung ditengah tengah kemacetan.
"Ya Allah, kuatkan aku. Sabar… sabar… gadis kecil itu tidak tahu apa apa, Lis. Dia hanya gadis kecil yang meunggu dijemput oleh keluarganya. Dia menunggu sendirian saat ini." Gumam Lisna bicara pada dirinya sendiri.
Dan memang benar, Queen sedang duduk di depan gedung itu menunggu kedatangan Lisna. Dia sudah diberitahu oleh mamanya, yang menjemputnya sore ini adalah Lisna.
"Ibu kenapa lama? Teman temanku sudah pulang semua.." Gumamnya menatap kepergian satu persatu temannya yang dijemput orangtua mereka.
Tin…
Tin…
Itu suara klakson motor Lisna saat melihat sosok Queen duduk menunggu jemputan.
"Ibu!" Queen berlari mengejar kedatangan Lisna.
"Maaf ibu terlambat, cantik. Kamu tidak bersedih, kan?"
"Tidak. Aku senang tadi belmain bersama banyak teman. menyenangkan." Ungkapnya.
"Ya sudah, kalau begitu kita pulang sekarang tuan putri."
"Siapppp ibu."
Lisna membantu Queen naik ke motornya. Lalu setelah dia dan Queen siap duduk diatas motor, Lisna langsung tancap gas menuju masjid setempat karena waktu sholat telah tiba.
"Queen temani ibu mampir dimasjid sebentar ya, cantik." Ucap Lisna tanpa meoleh kebelakang karena dia fokus mengendalikan motor.
"Iya ibu."
Lisna tersenyum senang mengetahui putri kecil Wulan tidak memiliki sifat kasar dan suka menindas seperti mamanya.
Setelah menemukan masjid, motor Lisna pun diparkirnya di depan masjid, lalu mereka masuk ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib.
Saat Lisna melaksanakan sholat magrib, Queen duduk di sampingnya sambil memperhatikan setia gerak gerik Lisna dalam sholatnya. Mata indah itu bahkan begitu fokus seakan dia merekam apa yang dilakukan Lisna.
Dan setelah empat menit berlalu, Lisna sudah selesai sholat. Mereka pun segera melanjutkan perjalanan untuk segera pulang ke rumah.
Sementara, di tempat lain. Fauzi dan Wulan sedang menikmati makan malam romantis mereka di restoran hotel tempat mereka memesan kamar untuk melanjutkan bulan madu mereka.
"Mas, terimakasih untuk semuanya. Aku benar benar bahagia saat ini."
"Aku juga bahagia, sayang." Jawab Fauzi yang sudah menyelesaikan makan malamnya.
Setelah itu mereka kembali ke kamar mereka di hotel itu. Mereka kembali melanjutkan ritual malam mereka dengan penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Bahkan Fauzi tampak begitu candu dengan rasa yang didapatnya dari Wulan.
"Kamu luar biasa sayang. Tidak seperti Lisna, dia sangat lemah dan tidak menyenangkan setiap kami melakukannya." Ucap Fauzi mengungkit kelemahan Lisna pada istri keduanya.
Tanpa Fauzi sadari, Wulan tersenyum bahagia mendengar itu. Dia mendapatkan ide untuk bisa menyingkirkan Lisna secepatnya dari posisinya sebagai istri pertama.
Aku harus segera bergerak. Aku yang harusnya menjadi satu satunya istri mas Fauzi. Kamu harus menyerah dan melepaskan mas Fauzi untuk aku, mbak Lisna yang malang.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu