Cinta memang seperti teka-teki, tak ada yang tahu dengan siapa kita bersama pada akhirnya.
Seperti Rian, ia sudah berjuang sedemikian rupa demi Salsha. Namun, jika bukan jodoh bisa apa?
Penasaran dengan kisah cinta Rian? yuk baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhea Novita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Pertama dan Terakhir
Sore pun tiba, Rian sudah 2 jam berada di sekolah dan tidak memutuskan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu, ia masih sibuk menenangkan diri untuk siap menghadapi perpisahan yang akan sangat terasa menyakitkan ini. Beberapa pesan masuk ia abaikan, tak ingin ada satu orang pun yang mengganggunya saat ini.
Ketika sudah menghabiskan rokok terakhir di tempat persembunyiannya selama 2 jam ini, Rian pun mulai berdiri dan mengambil tas sekolahnya, ia keluar dari gudang sambil melihat kanan kiri terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada yang melihatnya keluar dari sini.
Sambil berjalan menyusuri lorong, Rian mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, ia melihat ada beberapa pesan masuk dari Salsha yang terus menanyakan keberadaan Rian sekarang. Jika dipikirkan lagi kapan Salsha pernah mencemaskannya seperti ini, tentu saja tidak pernah sama sekali, hal ini membuat Rian semakin yakin jika Salsha akan berpamitan kepadanya.
"Sal, aku ke rumah sekarang ya," ucap Rian membuat voice note lalu mengirimkannya kepada Salsha. Sudah cukup waktu yang dia gunakan untuk mengundur semuanya, namun tetap saja pada akhirnya ia harus melewati semua ini.
Rian berjalan menuju parkiran yang tampak sepi, hanya tersisa beberapa motor milik murid yang sedang ekskul. "Ian, Lo dari mana? kirain udah balik," ucap Jihan yang terlihat baru saja pulang dengan seragam latihan paskibranya.
"Abis betapa dulu," jawab Rian sambil mengangkat sebelah alisnya lengkap dengan senyuman kecil. "Gue duluan ya, udah di tungguin temen," lanjut Rian, ia mengenakan helm dan mulai menyalakan motor.
Selama di perjalanan Rian hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan, cukup bersabar dengan kemacetan di sore ini, memang salahnya juga tak memikirkan keadaan jalanan sebelum memilih untuk pulang sore. "Tau bakal macet gini gue mending nyebat di rumah Iqbal," gerutu Rian sambil berdecak karena suara klakson milik ibu-ibu yang tak sabaran membuat telinganya sakit jika tak mengenakan helm. Ingin menegur namun Rian takut menambah masalah dan lebih parahnya ia bisa Viral.
Setelah bersabar lebih dari setengah jam di perjalanan, akhirnya Rian sampai di kontrakan Salsha dan dengan berat hati ia turun dari motornya. Seberusaha mungkin Rian menyembunyikan kesedihannya, ia bersikap seolah tak ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.
"Assalamualaikum," teriak Rian dengan suara ceria saat mendekati pintu yang sudah terbuka sedari tadi.
"Waalaikumsalam," terdengar jawaban Salsha yang langsung menoleh ke arah pintu. "Masuk Ian," ucap Salsha kemudian.
Rian yang mendapatkan tawaran tersebut langsung melepaskan sepatu sekolah dan menghampiri Salsha yang sedang menutup sebuah dus berukuran besar. "Bima mana?" pertanyaan itu yang pertama kali Rian ucapkan, bukan bertanya mengenai barang-barang rumah yang sedang di kemas oleh Salsha.
"Bima ada di Yuri, aku titipin dulu. Sekolah kamu hari ini gimana? Lancar?" tanya Salsha dengan halus, bahkan tatapannya pun terlihat sangat lembut seperti yang diinginkan Rian sedari dulu.
"Lancar dong Sal, emang kenapa? tumben banget." Rian masih bersikap seolah semua ini baik-baik saja, sedangkan Salsha terlihat sangat gelisah tak seakan ragu mengucapkan apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu pun membuat Rian menjadi tak tega dan mungkin saja sedikit pancingan bisa membuat Salsha mengeluarkan kata-kata perpisahan yang manis, bukan kata-kata cuek yang biasa ia dapatkan selama ini. "Barang-barang mau di bawa kemana Sal? mau pindahan?" tanya Rian mulai memancing.
Sorotan mata Salsha pun tampak berbeda, ia seakan mengumpulkan keberaniannya terlebih dahulu. "Iya, sorry ya dadakan, aku—" ucap Salsha menggantung, tangannya tampak menggenggam erat jaket yang sedang ia kenakan.