"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Menghabiskan Waktu Bersama
Aluna pulang ke rumahnya, setibanya di rumah dia mengadukan apa yang tadi dia lihat pada ibunya. Dia sangat yakin kedua bocah tadi adalah anak dari kakaknya. Karena wajahnya sangat mirip sekali dengan wajah kakaknya.
"Bu, kau harus tahu ini."
"Ada apa Aluna, kenapa kau berteriak begitu?" tanya Shena sembari memotong tangkai dan daun mawar untuk di tata di dalam vas."
"Mom, tadi aku melihat ada dua bocah mirip sekali dengan kakak."
"Hah, jangan mengada-ada kamu, Luna."
"Aku tidak mengada-ada, Bu. Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku ini."
"Lalu dimana mereka sekarang?" tanya Shena.
Ini gawat. Jika sampai mereka benar-benar putra dari Ben. Rencananya untuk menguasai harta dari mendiang suaminya mungkin akan gagal total. Jika benar Ben memiliki anak, dia harus segera menyingkirkan bocah-bocah itu.
"Aku tidak tahu, Bu. Mereka pergi dan aku tidak sempat mengikuti mereka."
"Kita tidak bisa diam saja, Luna. Kamu harus bisa membuat Ben bertekuk lutut padamu."
"Dengan cara apa lagi, Bu. Ibu tahu sendiri bagaimana kakak begitu mati-matian menolakku."
"Pakai akalmu sedikit. Usaha kita sudah sejauh ini. Apa kau mau semua berakhir sia-sia?"
"Tidak, Bu." Aluna terdiam dan berpikir. Mungkin dia akan meminta bantuan seseorang untuk bisa mendapatkan Benjamin.
***
Sementara itu, Benjamin saat ini sedang berada di perusahaannya. Tadi saat dirinya dan Ramos tiba di depan restoran, ponsel Ramos bergetar. Dia segera mengangkat panggilan dari orang kepercayaannya dengan menyalakan mode speaker.
"Halo, ada apa?"
(Tuan, sistem kita di retas dan si peretas mengunci semua akses kode cadangan.)
"Apa!" Suara Ramos langsung meninggi.
(Tim IT kita tidak bisa memulihkan data, Kami perlu bantuan.)
Ramos menoleh ke belakang. Ben tersenyum hingga menampakkan giginya. Ramos merasa bergidik ngeri.
"Tuan .... "
"Kita ke perusahaan dulu, sepertinya putraku berulah lagi."
"Apa anda yakin itu ulah putra anda?"
"Siapa lagi yang berani mengusikku selain mereka. Bahkan jika itu orang yang sangat hebat pun dia pasti mencuri sesuatu dari sistem yang dikacaukan olehnya, tapi ini justru seperti bocah yang sedang minta diperhatikan dengan mengganggu pekerjaan ayahnya."
Ben dan Ramos akhirnya tidak jadi menguntit Giani dan kedua putranya. Ben harus menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh putranya terlebih dahulu.
Giani beserta ayah dan kedua anaknya menikmati santap malam mereka dengan mendengarkan cerita dari si kembar. Mereka menceritakan kehebatan mereka yang berhasil menjadi juara di sekolah.
Gilbert terlihat sangat bahagia, meski dalam hatinya masih tidak henti-hentinya mempertanyakan tentang siapa ayah biologis dari kedua cucunya. Namun, entah mengapa nalurinya sebagai ayah, ia meyakini jika yang menghamili Giani adalah Ben, tapi apa motifnya? karena selama ini, kabar yang beredar mengatakan jika Benjamin sangat anti dengan perempuan.
Usai makan mereka berempat kembali pulang, Selama dalam perjalanan, Jarret terus memperhatikan tabletnya, sesekali dia tersenyum tipis. Namun, alisnya lebih sering bertaut dalam.
Gilbert yang duduk diantara kedua cucunya sesekali melirik apa yang dilakukan oleh jarret. Meski dia tak mengerti dengan kode-kode yang terpampang di layar tablet cucunya, tapi dengan melihat saja dia tahu kemampuan bocah itu.
Ya Tuhan, apakah benar jika mereka adalah putra dari Benjamin? tapi kenapa harus putriku yang jadi korbannya? batin Gilbert.
Setibanya di rumah, Mereka tidak langsung tidur. Entah mengapa meskipun dalam hati masih ada yang mengganjal, tapi Gilbert tetap ingin bersama cucunya lebih lama. Mereka duduk di dekat perapian, sedangkan Giani naik ke atas untuk mandi.
"Kakek, apa besok kami boleh ikut ke tempat kerja kakek?" tanya Jackson sembari duduk di pangkuan kakeknya.
"Ikut ketempat kerja, ya?"
"Hmm, ya. Kami ingin tahu apa yang kakek perbuat di sana. Siapa tahu aku atau kakak akan meneruskan karir kakek nanti?"
"Kau sangat manis sekali dalam hal membujuk, Siapa yang mengajarimu?"
"Uncle Albern, Kek," sahut Jackson. "Kakek belum menjawab pertanyaanku tadi," imbuhnya.
"Baiklah, tapi hanya sebentar saja. Karena kakek takut dimarahi atasan kakek."
"Baiklah, Kek."
"Apa yang mommy kalian kerjakan di sana?"
"Mommy sering membantu nenek Martha dan kakek Thomas di toko roti, tapi kalau pagi setelah mengantar kami, Mommy kerja di sebuah perusahaan asing," jawab Jackson. Jarret sejak tadi seakan terlalu larut dengan kesibukannya memberi pelajaran pada ayah kandungnya.
"Kalian pasti jarang menghabiskan waktu dengan mommy kalian?"
"Yah, begitulah. Mommy selalu berkata kami harus bersabar sebentar. Nanti kalau uang mommy terkumpul, Mommy mau menetap dan tinggal di sini dan membuka usaha. Mommy bilang mommy mau menemani kakek."
Pandangan mata Gilbert tiba-tiba mengabur. Pelupuk matanya terasa penuh dengan genangan air mata yang siap turun. Dia tahu putrinya sangat kuat dan teguh pendiriannya, dia tahu Giani akan berjuang apapun demi bisa membuatnya merasa tenang dan bahagia. Meski terkadang harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
"Apa mommy kalian pernah menyinggung soal ayah kalian?" tanya Gilbert. Pertanyaan yang tak seharusnya dia lontarkan pada anak-anak seusia mereka.
"Mommy bilang daddy kami pergi entah kemana. Mommy sudah berusaha mencarinya tapi tidak ketemu." Kini giliran jarret yang menjawab, tapi matanya masih tetap fokus pada tabletnya.
"Kakak benar. Kata mommy, daddy pergi."
"Anak-anak sudah waktunya tidur. Ayo cepat naik dan gosok gigi kalian. Setelah itu kalian ganti baju dan tidur."
"Baik, Mom."
Setelah memastikan kedua putranya naik ke atas, Giani menegur papanya.
"Pah, kenapa menyinggung tentang keberadaan orang itu?"
"Maafkan papa, papa hanya spontan menanyakannya."
"Giani, apa kau tidak mencurigai seseorang? Kau tidak merasa suamimu mirip seseorang?"
"Siapa yang papa maksud? Aku tidak bisa menuduh orang sembarangan, apalagi tuduhan itu tanpa bukti yang jelas."
"Buktinya sudah terpampang jelas di depan wajahmu. Kau tinggal mencari laki-laki yang wajahnya mirip dengan mereka."
"Aku tidak mau, Pah. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini dan aku menikmatinya."
"Tapi mereka laki-laki, mereka butuh figur seorang ayah."
"Aku bisa menjadi ibu sekaligus ayah untuk mereka. Papa tenang saja."
"Terserah padamu. Papa hanya mau kamu memiliki pasangan yang bisa menjagamu, agar kelak papa bisa tenang meninggalkanmu dengan pria yang tepat."
"Aku benci pembicaraan ini. Papa selalu bilang begini dan hanya ingin menyakitiku saja, kan?"
"Giani, yang bernyawa pasti suatu saat akan mati juga. Papa ingin menemui mamamu dengan tenang dan damai."
"Sebaiknya aku lihat Jarret dan Jackson dulu. Papa juga lekaslah tidur." Giani meninggalkan papanya seorang diri. Pria tua itu hanya bisa menghela napas panjang.
"Apa aku perlu mendatangi tuan Ben langsung dan menanyakannya?" gumam Gilbert.
...****************...