Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bullying II
Akasia menduduki bangkunya dan merasa ada yang aneh pada rok seragamnya. Ia berdiri dan menemukan roknya terpeper cairan merah kental mirip darah, cukup banyak dan mencolok.
“Iiihhh rembes banyak!” Beberapa murid di kelas mulai mengomentarinya
“Jorook!” Seru beberapa suara dari murid laki-laki di dekatnya.
“Dih sotoy, bukan darah ini!” Protes Akasia galak, “Siapa lagi sih yang kerjain kayak gini? Kayak bocah deh!” Ia menggerutu sambil berjalan ke arah UKS. Gadis itu berniat mengganti pakaian disana. Untungnya ia selalu membawa baju ganti untuk persiapan berangkat kerja sepulang sekolah nanti.
Saat Akasia baru saja akan keluar ruangan, Endry masuk dengan terburu-buru sehingga mereka bertabrakan, “Loh, Endry?”
“Kamu nggak apa-apa? Aku dengar dari Serena katanya kamu tembus banyak, roknya kotor.” Endry bercerita, “Kirain butuh baju buat tutupin.” Ia memegang jaketnya dengan canggung. Akasia tersenyum mengerti melihat gesturnya itu.
“Terima kasih niat baiknya, untungnya aku selalu prepare baju ganti. Remember?” Gadis di depannya mengangkat alisnya sambil tersenyum, “Dan ini bukan tembus ya, aku aja sedang nggak haid. Siapa lagi nih yang ngerjain kayak bocah begini, tsk!” Ia mendelik kesal.
Endry melirik Selena. Gadis yang merasa dicurigai itu kembali tidak terima, “Not again, gue nggak senganggur itu ya. Belakangan ini effort gue lagi fokus ke persiapan pensi, gue kan ekskul padus (red : paduan suara), harus ikut tampil di panggung. Gue aja sering bolos kelas jadinya karena latihan melulu.” Ia membela diri, “Ini aja gue lapor Endry karena khawatir lu perlu jaket buat tutupin rok lu, soalnya dia selalu pakai jaket karena bawa motor. Udah niat baik malah dituduh.”
“Anyway, kalau kejadiannya di kelas mustahil nggak ada saksi, kan?” Akasia memprediksi.
“Nggak ada orang lain yang masuk kelas deh kayaknya.” Teman-teman sekelasnya bersaksi saat Akasia menanyai mereka.
“Ada sih, tapi cuma kakak-kakak anggota OSIS tadi, kumpulin uang KAS buat pensi nanti.” Jawab murid lainnya.
“Ah masa kakak-kakak senior OSIS sih, mereka kan sibuk? Lagipula lu punya urusan apa sama mereka, motivasinya apa?” Selena meragukan kesaksian itu, membuat Endry dan Akasia berpikir keras.
“Aneh nih kasus.” Endry mengomentari bingung.
“Jangan ambil pusing deh, nanti juga ketahuan sendiri. Di sekolah ada CCTV, kan.” Akasia berkata sambil tersenyum.
...oOo...
“Non, Bibi khawatir sama adik Hanif, kayaknya dia dijahati temannya deh. Masa setiap hari pulang dengan luka melulu,” Akasia menoleh terkejut ketika Bi Esih mengadukan hal itu padanya.
“Hanif sering luka, Bi?” Ia khawatir.
“Iya, lututnya luka melulu kalau pulang sekolah, masa jatuh melulu? Dislengkat itu kayaknya, Non.” Bi Esih melaporkan lebih jauh.
Akasia masuk ke kamarnya dengan wajah khawatir.
“Kenapa, kok mukanya kusut amat?” Adrian menyambut gadis itu dengan komentarnya.
“Aku nggak tahu Hanif sampai luka ditindas teman-temannya. Aku kira dikerjain aja.” Jawabnya cemas.
“Lalu bagaimana rencana kamu?” Pria pirang itu mempertanyakan, seperti memprediksi akal cerdik gadis ini.
Akasia berinisiatif menghubungi ketua geng pentolan sekolah SD adiknya lewat chat, Rozi. Selanjutnya anak itu mengirimi Akasia beberapa video kejadian yang menimpa Hanif. Ternyata benar selama ini adiknya ditindas, dengan video ini ia memiliki bukti kuat pelakunya. Rozi juga membantu mengidentifikasi nama-nama anak yang terlibat dalam perundungan Hanif di video. Akasia hanya tinggal meneruskan video-video tersebut kepada Ibunya. Seperti janjinya, ia juga membelikan berbagai mainan yang diminta anak-anak yang membantunya itu kemarin.
“Jadi kamu iming-imingi mereka mainan?” Adrian terperangah dengan tingkah gadis itu. “Pantas kemarin beli banyak mainan, nggak tekor kamu?”
“Biar aja, pakai uang bokap ini.” Jawab Akasia enteng, “Kamu kan tahu aku anak kayak gimana.” Ia melirik sambil tersenyum tengil.
“Anak setan!” Adrian mengatainya sambil tertawa geli. Ia tidak habis pikir dengan strategi gadis itu.
...oOo...
“Apalagi sih ini?” Akasia mengeluarkan bangkai cicak dari tasnya, untungnya gadis itu tidak mudah jijik. Padahal ia merasa baru sebentar meninggalkan tas di kelasnya untuk jajan, “Tadi siapa yang kesini?”
“Nggak tahu ya, gue juga keluar kelas tadi pas istirahat.” Jawab Ditra, murid yang duduk di belakang bangkunya.
“Segini aja nih?” Akasia menenteng bangkai cicak sambil berseru menantang, lalu membuangnya di tempat sampah kelasnya dengan diperhatikan sorot mata dari teman-teman sekelasnya. Ia pun berdiri di depan kelas, meminta perhatian seisi kelasnya, “Teman-teman, gue pesan ya, kalau ada orang mencurigakan masuk ke kelas ini atau ada siapapun yang dekati bangku gue, tolong diawasi dan kasih tahu gue.” Ia mengumumkan dengan lantang, “Belakangan ini gue dapat teror payah begini, masa kalian nggak bantuin sih? Solider lah. Sekarang ini terjadi ke gue, besok bisa aja ke elu.” Murid-murid di kelasnya saling tatap dan berbisik-bisik. Mereka mulai menyadari kasus ini cukup serius.
...oOo...
“Endry, lihat deh.” Selena menunjukkan video yang diambilnya kemarin, “Waktu gue ke mall gue lihat Akasia jalan berdua cowok pirang, mereka kelihatan akrab gitu. Lu kenal nggak dia siapa? Kenalin dong, ganteng banget soalnya.” Ia berkata santai, menyembunyikan niat aslinya untuk mengompori sahabatnya agar kesal dengan Akasia.
“Oh itu Adrian, gue pernah ketemu.” Jawab Endry yang terlihat kesal, “Jangan deh, kayaknya dia lagi dekat sama Akasia.” Larangnya.
“Loh, lu nggak apa-apa?” Selena heran dengan responnya.
“Emang gue kenapa?” Endry balik bertanya, bingung.
“Lu kan juga lagi dekatin Akasia.” Jawaban lugas Selena membuat pemuda itu terkejut dan malu.
“Lu tahu darimana gue suka Akasia?” Sahabat prianya itu panik, wajahnya memerah, merasa isi hatinya terbongkar.
"Kelihatan banget kali," gadis cantik itu berterus terang, "Jujur aja sama gue."
“Lu kok santai banget, biasanya sensi?” Endry mengamati reaksinya mengenai Akasia.
“Nggak apa-apa lah,” Selena berkata bijak, 'Yang penting pada akhirnya lu sama gue.' Batinnya berkata, “Yang penting lu senang, gue juga ikut senang.” Kalimat yang dikeluarkan sedikit diubahnya.
“Terima kasih loh, Sel.” Pemuda itu terenyuh mendengarnya. Mereka sempat terdiam canggung.
“Mau pesan makanan apa nih? Lapar juga gue.” Selena memecah keheningan sambil menunjukkan pilihan makanan di aplikasi ponselnya.
oOo
“Endry sudah pulang?” Hayashi bertanya ketika Selena kembali ke kamarnya. Ia sudah berubah menjadi pemuda Jepang berhakama lagi.
“Udah,” Jawab gadis pemilik kamar sambil menjatuhkan badannya ke kasur.
“Bagaimana dengan rencanamu untuk Akasia?” Hayashi mengecek ide licik yang dimiliki gadis di depannya ini, “Aku sudah lama tidak mendengar perkembangannya.”
Selena tersenyum penuh arti, “Benar ucapanmu, terima kasih, omongan kamu menginspirasi aku.”
“Omonganku yang mana ya?” Hayashi mengingat-ingat. Gadis itu teringat lagi beberapa hari yang lalu saat ia mencurahkan kekesalannya terhadap Akasia kepada pria Jepang itu.
“Kamu sebenarnya tidak perlu mengotori tanganmu sendiri untuk mengerjai Akasia.” Hayashi waktu itu beropini, “Kamu bisa saja memilih untuk bahagia sendiri, tanpa mempedulikan gadis itu. Banyak anugerah di hidupmu yang bisa kamu nikmati dan syukuri.” Nasihatnya bijak.
Berbekal penggalan ucapan bijaksana tersebut, tercetus ide untuk memanggil tiga siswi senior sekolahnya yang Selena kenal akrab ke kediamannya.
“Jadi rencananya gimana, Sel?” Silvia, salah satu seniornya di sekolah mempertanyakan.
“Kalian cuma harus usilin Akasia sekreatif kalian. Gue mau lihat dia kesusahan. Kalau kalian berhasil menjahilinya setidaknya seminggu kedepan, nanti gue kasih reward sesuai permintaan kalian.” Selena tersenyum culas, ‘Cuma perlu memakai tangan orang lain kan?’ Pikirnya.
“Reward-nya harus besar ya. Soalnya kita anggota OSIS, sibuk nih persiapin pensi.” Leni mengingatkan.
“Itu tergantung kepuasan gue dengan hasil kerja kalian. Ini gue bawakan DP-nya.” Ia memberikan amplop kepada masing-masing dari seniornya. “Ingat, kalaupun kalian ketahuan, jangan pernah sebut nama gue. Selama lu nggak sebut nama gue, kalian akan aman gue back-up.”
“Okay, gampang itu.” Fira menyanggupi, semangat melihat amplop yang dipegangnya.
...oOo...
Hayashi melirik wajah senyam-senyum Selena, gadis itu berkelana dalam pikirannya sendiri, “Kenapa aku merasa kamu menyalah artikan ucapanku ya?” Intuisinya menebak.
“Nggak kok, paham.” Gadis manis itu menenangkan pemuda Jepang di depannya.
“Jahilnya jangan berlebihan ya, ingat pesanku ini.” Hayashi memperingatkan gadis usil itu. Sejauh ini gadis itu masih terkesan lucu di matanya dengan otak jahilnya yang ada-ada saja, tapi ia khawatir gadis itu melewati batas.
“Haaaikk (iya) ! Wakatta (mengerti)!” Jawab Selena malas, ia mulai merasa terganggu dengan nasihat pria yang terlalu bijaksana dan kaku itu, “Kamu sok tua banget sih!”
“Tua? Benar juga, kalau diingat-ingat usia asliku sudah...seratus tahun lebih lah.” Hayashi mengingatkan jati dirinya.
“Iya juga ya. Puh sepuh,” ledek gadis di depannya.
“Tapi jangan membuatku merasa tua dong, jadi tersinggung nih.” Pemuda Jepang itu protes.
“Maaf sepuh.” Selena semakin tertawa melihat wajah kesal pemuda di depannya. “Lagipula kamu nggak gerah apa pakai hakama terus?”
“Pastilah gerah, tapi tidak ada pilihan lain.” Pemuda berwajah oriental itu mengangkat bahu.
“Sekarang ada, nih.” Gadis itu membuka lemari bajunya sebelah pojok kanan yang jarang dibuka. Tersibaklah koleksi pakaian pria tergantung berderet-deret, kondisinya masih sangat bagus, “Ini produk endorse Papaku yang nggak dia sukai. Tadinya mau aku kasih ke Endry, tapi dia kurang suka pakaian model fancy kayak gini.”
Hayashi mengamati pakaian-pakaian itu. Memang ukurannya tampak pas di tubuhnya, sayangnya modelnya jarang yang kasual. Lebih seperti set kostum syuting yang dipakai di drama Korea, “Aku juga sepertinya kurang suka.”
“Dasar nggak tahu berterima kasih. Coba dulu sana, nih yang ini!” Selena memilihkan satu setelan outfit yang dilemparkannya ke Hayashi, ia pun mendorong paksa pemuda itu ke arah kamar mandinya.
Begitu pemuda itu keluar dari kamar mandi, pupil mata Selena membesar, ia menahan napas. Pemuda Jepang itu terlihat seperti Lee Min Hoo yang berjalan slow motion di scene epic film The King, lengkap dengan turtle neck putih, overcoat warna khaki dan celana formal hitam. Gadis pemilik kamar tersebut sempat terpukau saking kerennya tampilan Hayashi sekarang, ia berkilauan mirip superstar.
“Apa ini? Kamu mau aku pakai ini di iklim tropis begini, dan kamu sempat-sempatnya khawatirkan aku soal kegerahan tadi?” Sindir pemuda berwajah oriental itu, keberatan.
“Tapi kamu jadi keren banget, kayak idol.” Selena masih terkesima mengagumi penampilannya.
Hayashi yang menyadari respon terkesima Selena diam-diam merasa tersanjung, “Ehm, tapi yah...secara keseluruhan bagus juga.” Komentarnya gengsi. Ia sendiri mengagumi bayangannya di cermin yang terlihat tampan dan berkelas, tidak seperti biasanya.
...oOo...
Akasia membaca buku di bangku makan di samping dapur, duduk di sebelah Hanif yang sedang mengerjakan PR dari sekolahnya. Biasanya memang Hanif lebih memilih belajar di meja makan ditemani Bi Asih yang sibuk mondar-mandir di dapur, sepertinya ia merasa kesepian. Oleh karena itu Akasia di sini, sengaja menghabiskan waktu di dekat Hanif untuk mengetahui perkembangan situasi di sekolah anak itu.
“Hanif, gimana di sekolah, seru?” Gadis itu memulai penyelidikan dengan kasual.
“Seru.” Jawab Hanif, lalu terdiam seperti berpikir, “Sebenarnya aku sempat dikerjain terus sama teman-teman, tapi sekarang sudah nggak lagi. Mereka jadi baik ke aku, aku jadi senang.”
Akasia tersenyum, misinya berhasil. Sekarang tinggal menunggu Ibu memproses laporan ke sekolah Hanif.
“Jadi kamu nyaman kan di sekolah?” Kakaknya itu mengecek lagi.
“Iya.” Hanif mengangguk polos. Akasia mengucek kepala adiknya itu.
“Belajar deh yang rajin, supaya bisa hidup enak nantinya.” Gadis itu memberi wejangan, “Nanti kalau ada yang jahat sama kamu, pastikan mereka menerima akibat yang setimpal, ya. Kalau nggak begitu mereka nggak akan belajar dari kesalahan mereka.”
Hanif sempat kebingungan maksud omongan Kakaknya itu, tapi kemudian ia hanya mengangguk.
...oOo...
Selena sedang berada di mobil menuju ke arah rumahnya sepulang sekolah, ketika Silvia menelpon, “Halo, jadi gimana kerjaanlu?” Sapanya langsung ke inti.
“Sel, lu tunggu aja finishing touch-nya. Sebentar lagi bakal seru,” Silvia berkata sambil terkekeh.
“Emang lu apain tu anak?” Sang pemberi komando penasaran.
“Gue potong kabel rem motornya.” Jawab Silvia menahan tawa.
“Wah gila lu! Itu kan kriminal!” Selena membentaknya, “Kapan itu?”
“Barusan. Kan elu yang suruh kerjain sekreatif mungkin, lu nggak kasih tahu batasannya.” Silvia membela diri.
“Elu harusnya tahu batasan, kalau itu anak kecelakaan gimana? Bisa mati!” Selena menutup teleponnya kesal. Ia ketar-ketir dan menggigiti kuku dengan cemas. Ia ingin mengecek keadaan Akasia, tetapi ia sendiri terjebak macet. Ingin rasanya menggagalkan aksi Silvia meski awalnya ia yang memulai.
...oOo...
Adrian terus memandang ke arah luar jendela kamar, desir hatinya menandakan ada firasat buruk. Sekarang waktunya Akasia pulang sekolah, sedari tadi ia pegangi ponselnya seperti menunggu kabar. Ia melihat sesuatu dan seakan langsung tahu apa yang dia harus lakukan. Ia berlari keluar kamar.
semangat /Good/