Kisah ini tentang perjuangan seorang anak laki-laki bernama Nandang Batuah yang bercita-cita menjadi seorang Abdi Negara. Hidup bersama adik perempuan dan ibunya yang seorang janda berpenghasilan minim. Simak perjalanan hidupnya ya.
Dunia nyata sudah cukup pelik dengan segala likaliku yang lumayan berat. Maka dalam karya ini author berharap dapat membawa pembaca ke dunia halu yang manis.
Di sini
No pelakor
No pebinor
Ada bawang secukupnya
Ada Kopi sedikit pahit
Ada gula pasir yang lumayan membuat hatimu berdesir.
Mari ramaikan
Semoga terhibur
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmeLBy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : KURSI RODA
Jarak rumah keluarga Nandang dan sekolah Andini sekarang tidak jauh, dengan sepeda kayuhnya Andini hanya memerlukan waktu 15 menit. Sehingga ia mengesampingkan rasa malunya saat sudah berseragam putih abu-abu masih saja menggenjot sepedanya untuk pergi ke sekolah.
Andini masih 16 tahun, tentu saja Puspa melarangnya menyendarai sepeda motor. Walau ia sudah bisa menggunakannya, sebab Nandang sudah mengajari adiknya itu. Dengan catatan harus berhati-hati.
Sebab Nandang kadang merasa repot jika harus menjemput pakaian laundry juga harus menjaga emak. Sehingga ia memberi kepercayaan untuk adiknya itu, mengantar dan menjemput pakaian ke tempat mami Onel.
Nandang sudah berada di sebuah toko yang menjual alat kesehatan mulai dari obat-obatan, hingga berbagai alat penunjang kesehatan lainnya, seperti, alat penyangga, sampai kursi roda.
Nandang masih menimbang-nimbang akan membeli yang mana terlebih dahulu. Apakah alat bantu berjalan berkaki empat seperti jemuran handuk, atau kursi roda terlebih dahulu.
Alat bantu berjalan tentu penting agar emak bisa segera berlatih. Tapi, kursi roda tak kalah penting untuk memudahkan mereka melakukan kontrol pada tiap bulannya untuk memastikan kemajuan kesembuhan sang emak.
Saat Nandang sedang sibuk berpikit, ia mendengar sebuah dialog orang yang sepertinya akan melakukan pembelian sepertinya. Nandang hanya merasa kecil saja, saat mendengar percakalan itu. Dalam hatinya pasti orang tersebut adalah orang kaya. Yang tidak memikirkan harga lagi, mau main bungkus, dan angkat saja.
"Mas... bisa siapkan sebuah kursi roda yang ada pispot, bisa selonjoran dan tempat makannya?" tanya seseorang itu bertanya. Membuat Nandang meragu saat memegang kursi roda yang sedang ia perhatikan.
Nandang bahkan baru tau ada kursi roda secanggih itu. Yang ia tau kursi roda, ya sebagai alat bantu duduk dan memudahkannya untuk mendorong. Kurang banyak juga refernsi Nandang dalam hal urusan itu.
Tapi mengingat lelahnya mereka mendapatkan uang, tentu saja memerlukan berkali-kali bagi Nandang untuk berpikir menggunakan uang mereka.
Biaya operasi juga perawatan kemarin memang di tanggung BPJS juga ada dana santunan. Tapi untuk keperluan selanjutnya seperti pembelian popok dan obat di luaran tetap menjadi tanggungan pribadi.
"Yang begini pak?" tanya pelayan toko itu membawakan kursi roda yang di maksudkan. Memang terlihat sangat keren. Nandang melirik kursi roda tersebut.
"Iya benar sekali. Berapa harganya?" tanya pria itu serasa tak asing di telinga Nandang.
"Tiga Juta Delapan Ratus Ribu Rupiah pak." Jawab pelayan itu ramah.
"Baiklah... tolong di bungkus." Perintah lelaki itu kemudian. Nandang masih tak berani menoleh ke arah transaksi yang berada di belakangnya. Dalam hati hanya merasa miris, dengan kemampuannya yang hanya berani membeli kursi roda seharga Satu Juta Sembilan Ratus Ribu Rupiah untuk orang yang katanya, sangat ia kasihi.
"Sabaaar... sesuai kemampuam saja. Jangan turuti kemauan." Bisik Nandang dalam hatinya sendiri.
"Ada lagi pa yang ingin di beli, biar sekalian?" tanya petugas itu menawarkan produk lainnya.
"Oh... alat bantu berlatih berjalan yang kaki empat sekalian ya." Ujar pria itu kemudian setelah melihat katalog yang di sodorkan padanya.
"Baik.... akan segera kami siapkan." Pelayan itu tersenyum simpul, jualannya laku keras hari ini.
"Adik... penyangga kaki empatnya jadi? Biar sekalian kami siapkan bersama dengan punya bapak ini." ujar suara yang sepertinya mengarah Nandang.
Sehingga Nandang pun menoleh hendak menjawab pertanyaan pelayan ramah tadi.
"Nandang..." Benar juga kecurigaan Nandang sejak tadi, jika pemilik suara tadi adalah pak Bagus, ayah Naila.
"Bapak." Nandang segera menyalimi ayah Naila dengan hormat seperti kebiasaannya selama ini.
"Kamu membeli apa, Nan?" tanya Bagus pada Nandang.
"Ini, alat bantu untuk emak latihan berjalan." Jawab Nandang menunjuk alat yang di pegangnya tidak jauh dari kursi roda yang hendak di pinangnya tadi.
"Sudah di beli?" tanya Bagus.
"Sedang di pilih." Ujar Nandang sopan.
"Mas, bungkus yang di pilih anak ini ya. Nanti jadikan satu dengan belanjaan saya yang tadi." Perintah ayah Naila.
"Siap baik pa." Jawab pelayan tadi.
"Kursi rodanya jadi ambil dek?" tanya pelayan pada Nandang. Membuatnya agak malu untuk menjawab. Karena ia hanya mampu membeli yang klasik dan murah.
"Oh... tidak mas. Kursi roda yang saya beli tadi adalah untuk orang yang sama dengan anak ini." Spontan Bagus menjawab. Membuat dada Nandang bergemuruh tak menentu. Apakah dia salah dengar?
"Maksud bapak?" tanya Nandang memastikan.
"Iya Nan, kursi roda ini nanti memang akan bapak antar ke rumahmu, untuk emak mu. Bapak menyesal tidak bisa banyak membantu saat kalian tertimpa musibah kemarin." Terang Bagus pada Nandang.
"Tapi itu mahal sekali pak. Boleh di tukar, dengan yang biasa ini saja?" Tawar Nandang yang sangat mendengar dengan jelas harga kursi roda impiannya tadi.
"Jangan. Yang ada pispot akan memudahkan kalian membersihkan kotoran emak. Jika yang biasa, akan memerlukan banyak tenaga. Dalam hal mengangkat dan mengeser beliau. Nanti malah tulangnya banyak geser, resikonya besar lagi." Terang Bagus masuk akal.
Dalam hati Nandang membenarkan hal yang di ungkapkan oleh ayah Naila itu. Namun, tetap tak berani berucap.
"Sudahlah jangan di tolak. Ini pemberian, kami ikhlas kok Nan." Bujuk Bagus pada Nandang yang sesungguhnya senang namun sungkan.
"Jadi berapa totalnya mas?" tanya Bagus kembali pada pelayan toko.
"Tongkat 4 kakinya Delapan Ratus Ribu Rupiah pak. Jadi total Empat Juta Enam Ratus Ribu Rupiah, silahkan bayar di kasir ya pak. Barangnya kami siapkan." Pelayan ituenunjuk tempat melakukan pembayaran.
"Baik." Bagus segera berpindah ke arah yang di silahkan padanya.
"Selamat sore bapak. Total belanja adalah empat juta enam ratus ribu rupiah. Di bayar tunai atau dengan kartu?" sapa wanita cantik yang bertugas sebagai kasir tersebut.
"Dengan ini saja." Bagus menyodorkan sebuah karty ATMnya pada kasir tersebut.
Senyum manis selalu terbingkai di wajah cantik itu, yang kemudian segera memproses pembayaran belanjaan Bagus tadi. Nandang kini hanya bertindak sebagai penonton saja, tak bisa berkata-kata. Selain berulang-ulang mengucapkan Alhamdulilah dalam hatinya. Bahwa dalam kesesakan dan derita mereka, selalu Allah selipkan hikmah di baliknya, ada orang yang Allah utus untuk menolong sebagai perpanjangan tangan Allah yang maha pengasih itu.
"Ijin, silahkan PINnya bapak.". Linta kasir itu dengan hormat.
Bagus segera menekan beberapa digit rahasianya. Lalu menekan tombol hijau agar terproses.
"Baik bapak, pembayaran sukses. Untuk belanjaan bapak, mohon maaf tidak ada diskon juga cashback. Namun, bapak berhak mendapat 3 washlap, satu box sarung tangan karet, juga dua box masker kesehatan, sebagai kenang-kenangan dari toko kami. Semoga pasien lekas sembuh, dan selamat berbelanja kembali." Santun kasir tersebut menyerahkan kotak bingkisan yang sudah terikat dengan rapi.
Bersambung...
Akhirnya karya ini lulus kontrak.
Jujur sempat down saat nulis ini.
Ada saran apakah di sini reader merasa jenuh?
Jangan lupa tetap tinggalkan jejak like di sini.
Walau tak ada greget di sini
sepanas Neraka
juga semanis OB.
Hanya ingin berusaha bercerita dengan cara pandang sisi lain kehidupan.
Yang tidak melulu soal cinta dan jual kekayaan.
Terima kasih untuk dukungam sejauh ini ya...
Salam sayang buat semua.
💪