NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16

Setelah piring terakhir mereka bersih, Rayyan berdiri dengan piring dan gelas kotor di tangannya. Pria yang terbiasa dengan kemandirian itu merasa tak enak hati membiarkan kekacauan di dapur mewah itu.

"Biar aku aja yang cuci piring," ujarnya, suaranya rendah namun tegas. Matanya menyapu dapur yang berantakan—wajan bekas carbonara, panci, talenan, dan berbagai peralatan masak yang berserakan. Jessy memang pandai memasak, tapi dapur itu seperti kapal yang baru saja dilanda badai.

"Itu urusan si Mbok," ujar Jessy santai, mengacu pada asisten rumah tangga yang biasanya membersihkan semuanya. Baginya, ini adalah hal yang wajar.

"Biar aku aja yang beresin," desak Rayyan lagi, rasa sungkan dan kebutuhan untuk berkontribusi mengalahkan keinginannya untuk segera pergi.

Dia mulai membereskan meja, membawa piring kotor ke wastafel besar. Jessy, yang tadinya hendak duduk, justru terdiam dan memperhatikannya. Di balik pancuran air hangat dan busa sabun cuci piring, pria itu terlihat berbeda. Bahu yang tegap, gerakan tangan yang efisien, dan konsentrasi yang ia berikan pada tugas sederhana itu. Pria ini tampan, pintar, dan ternyata juga rajin. Sebuah kombinasi yang semakin membuatnya tak bisa berpaling.

"Kamu tinggal di mana, Yan?" tanya Jessy akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. Dia mendekat, mengambil kain lap dan mulai mengeringkan piring yang sudah Rayyan cuci.

"Ngekos," jawab Rayyan singkat, fokusnya tidak teralihkan dari piring yang sedang dia gosok.

"Orang tuamu?" tanya Jessy lagi, penasaran.

"Bapak udah meninggal, ibu di rumah jualan roti," balas Rayyan, suaranya datar, namun ada getar kesedihan yang halus di balik kata-katanya.

Jessy terdiam sejenak, menelan informasi baru itu. "Kenapa kamu nggak tinggal sama ibumu? Kenapa malah ngekos?" tanyanya, mencoba memahami.

"Biar deket kampus," jawab Rayyan lagi, singkat dan menghindar. Alasan yang masuk akal, tapi Jessy bisa merasakan ada yang tidak diungkapkan.

Kemudian, dengan keberanian yang tiba-tiba, Jessy melontarkan pertanyaan yang selama ini menggelegak di hatinya. "Kamu belum punya pacar, kan?"

Rayyan mendadak membeku. Tangan yang sedang menggosok piring berhenti. Air dari keran terus mengalir, memecah kesunyian yang tiba-tara mencekam. Pikirannya berputar cepat. Jika dia menjawab sudah, apakah Jessy akan menjauh? Atau justru akan memperburuk keadaan dan membuatnya semakin nekat?

"Rayyan!" seru Jessy, tidak sabar menunggu jawabannya, jantungnya berdebar kencang. "Jadi udah punya pacar?!"

"Belum," akhirnya Rayyan menjawab, suaranya terdengar serak. Itu adalah kebenaran, tapi diucapkan dengan perasaan campur aduk.

"Aaaaa....!" Jessy melompat kegirangan, suaranya memenuhi dapur yang luas. "Kalau gitu kita bisa pacaran!" serunya, mata berbinar penuh harap.

"Aku nggak mau pacaran. Aku mau fokus kuliah," balas Rayyan, mencoba menegakkan benteng pertahanannya sekali lagi.

"Yaudah kalau nggak mau pacaran. HTS aja," goda Jessy, masih bersemangat, tidak mau menerima penolakan.

Rayyan hanya menggeleng, sebuah gerakan sederhana yang penuh penegasan.

Seketika itu, wajah Jessy berubah. "Kamu nolak aku?!" ujarnya, suaranya mengandung luka dan ketidakpercayaan.

"Aku cuma mau fokus kuliah," ulang Rayyan, berusaha tetap tenang.

"Kamu nggak boleh nolak aku!" seru Jessy, suaranya meninggi. Dia melemparkan kain lapnya ke meja dan berjalan cepat menghampiri Rayyan yang masih membelakangi wastafel.

"Kalau aku mau kamu jadi milik aku," desisnya, suara rendah dan penuh kepemilikan, "berarti kamu cuma milik aku."

Sebelum Rayyan bisa bereaksi, Jessy sudah merangkulkan tangannya yang masih basah ke leher Rayyan. Dia berjinjit, mendekatkan wajahnya. Aroma parfumnya yang mahal bercampur dengan harum sabun cuci piring.

"Jes..." gumam Rayyan, tubuhnya mematung. Tangannya yang masih memegang piring basah dan sarung tangan karet terangkat kaku di samping tubuhnya. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Jessy, detak jantungnya yang cepat.

Dan kemudian, dalam sebuah gerakan yang lambat namun penuh keyakinan, Jessy menutup matanya dan menempelkan bibirnya pada bibir Rayyan.

Ciuman itu hangat, lembut, dan penuh dengan segala emosi yang tak terucapkan—obsesi, rasa ingin memiliki, keinginan untuk ditaklukkan, dan mungkin, sebuah rasa yang lebih dalam yang belum bisa Jessy pahami. Sentuhan itu seperti kejutan listrik yang menyebar ke seluruh tubuh Rayyan. Bibir Jessy terasa lembut dan manis, bertolak belakang dengan sikapnya yang biasanya keras. Untuk sesaat yang terasa abadi, waktu berhenti. Suara air keran yang mengalir, desir hujan di luar, semuanya menghilang. Hanya ada kehangatan dan kelembutan yang tak terduga dari gadis di pelukannya. Tangannya yang kaku perlahan-lahan melunak, piring di tangannya nyaris terlupa. Ini bukan ciuman yang penuh gairah liar, tapi sebuah ciuman yang dalam, menembus lapisan-lapisan pertahanan, dan meninggalkan sebuah pertanyaan yang menggantung: apakah ini sebuah akhir, atau justru permulaan dari sesuatu yang tak terelakkan?

---

Detik-detik setelah ciuman itu terasa seperti rangkaian film yang diperlambat. Untuk sejenak yang singkat, Rayyan terbuai. Kehangatan bibir Jessy yang lembut, aroma parfumnya yang memabukkan, dan sensasi tubuhnya yang menempel padanya menciptakan sebuah realitas alternatif di mana tidak ada kesenjangan, tidak ada kebencian lama—hanya dua insan yang larut dalam momen. Tangannya yang awalnya kaku, tanpa disadari hampir saja merespons, hampir saja menarik Jessy lebih dekat.

Tapi kemudian, kesadaran menghantamnya bagai ember air dingin. Kenangan akan ibunya yang terhina, bayangan uang yang beterbangan di depan Kedai Roti Maryam, dan jurang pemisah yang tak terjembatani antara dunia mereka menyergap pikirannya.

Dengan gerakan kasar yang tak terduga, Rayyan mendorong bahu Jessy, memutuskan ciuman itu dan menjarakkan mereka.

"Jes, jangan begini," ucapnya, suaranya serak dan bergetar, penuh dengan konflik batin. Dia mengambil langkah mundur, menjauhi Jessy yang terpana.

Cara Rayyan melepaskan diri—begitu tiba-tiba dan penuh penolakan—terasa seperti tamparan keras di wajah Jessy. Rasa malu dan sakit hati yang membara menyelimutinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Cowok-cowok ngejar aku, Yan!" serunya, suaranya melengking oleh rasa kesal dan harga diri yang terluka. Dia merasa dipermalukan. "Dan kamu nolak aku?!"

Rayyan hanya bisa diam, berdiri di seberang wastafel seolah ada jurang di antara mereka. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena desire, tapi karena pergolakan emosi yang dahsyat. Dia benci dirinya sendiri karena sempat menikmati ciuman itu, karena kelemahan sesaat itu.

"Kamu sukanya cewek yang kayak apa? Kayak Era? Yang jelek, berkacamata tebal?!" ledak Jessy, mencoba melukai balik dengan menyakiti harga diri Rayyan. Matanya yang indah kini memerah oleh amarah dan kekecewaan.

"Aku nggak punya apa-apa buat kamu yang hidupnya glamor," balas Rayyan akhirnya, suaranya rendah namun jelas. Ini adalah tameng terkuatnya—kenyataan pahit tentang perbedaan mereka.

Kalimat itu membuat Jessy terdiam sejenak, dihantam oleh realitas yang selama ini dia abaikan.

"Bahkan mungkin uang jajanku sebulan itu sama kayak uang jajan kamu sehari," lanjut Rayyan, menatapnya langsung. Matanya yang gelap penuh dengan keteguhan dan sedikit kepahitan. "Atau kamu cuma mau main-main aja sama aku?" tanyanya, melemparkan pertanyaan yang selama ini menjadi alasan Jessy pada dirinya sendiri.

Itu adalah pukulan yang tepat sasaran. Jessy terhenyak. Itu memang yang selalu dia katakan pada Nita dan Della, bahkan pada dirinya sendiri—bahwa Rayyan hanyalah mainan, sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Tapi dihadapan oleh penolakan Rayyan yang tulus dan ucapannya yang jujur tentang ketidaksetaraan mereka, pembelaan dirinya itu runtuh. Dia tidak bisa lagi berbohong.

Dunia mereka memang berbeda. Jessy yang terbiasa dengan kemewahan, mungkin tidak akan pernah benar-benar memahami perjuangan Rayyan.

Tapi kemudian, sebuah pemikiran muncul dalam benak Jessy. Sebuah pertanyaan yang menusuk langsung ke inti harga diri Rayyan sebagai seorang pria dan seorang jenius.

"Apa kamu bakal hidup miskin selamanya?" tanyanya, suaranya tiba-tara lebih tenang, namun penuh tantangan. "Apa otak kamu yang jenius nggak bisa angkat derajat dan ekonomi kamu? Apa kamu bakal stuck di kemiskinan?"

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Itu bukan lagi tentang cinta atau ketertarikan, tapi tentang masa depan, tentang potensi, dan tentang kebanggaan.

Rayyan terdiam. Ucapan Jessy seperti pisau bedah yang membedah pikiran terdalamnya. Iya, dia sadar. Harkat dan martabat seorang pria, dalam pandangan dunia, seringkali diukur dari kemampuannya secara finansial. Dia tidak ingin hidup pas-pasan selamanya. Ibu nya telah berkorban begitu banyak. Tuhan memberinya otak yang jenius, pasti ada maksudnya—untuk mengubah nasibnya dan keluarganya. Apakah dia akan membiarkan dirinya terperangkap dalam kebanggaan akan kemiskinannya?

"Kenapa diam?" tanya Jessy, memecah kesunyian yang mencekam.

Rayyan menatapnya. Di balik mata Jessy yang masih berkaca-kaca, dia melihat sesuatu yang baru—bukan hanya posesifitas atau keinginan untuk menang, tapi mungkin, sebuah kepercayaan bahwa dia bisa menjadi lebih.

"Kalau hujan berhenti, aku pulang," ujar Rayyan akhirnya, memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Dia tidak siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat itu. Tidak di sini, tidak sekarang, dan tidak pada Jessy.

Jessy memandanginya sejenak. Dia memahami. Mungkin Rayyan tidak ingin membahas masa depannya—atau mungkin, dia tidak ingin membahasnya bersamanya. Dengan perasaan campur aduk antara kesal, sedih, dan sedikit harapan, dia hanya mengangguk pelan.

Hujan di luar masih deras, tetapi badai di dalam hati mereka berdua mungkin lebih sulit untuk diredakan.

***

Laboratorium Riset Elektro Universitas Baratha berdenyut dengan energi yang berbeda. Bukan hanya riuh rendah mahasiswa biasa, tapi gemuruh rendah dari tiga pikiran terbaik yang sedang bersinerji. Rayyan dari Universitas Baratha, Dion dari Universitas Global, dan Rena dari Universitas Aksara—tiga finalis terpilih untuk Kompetisi Sains Internasional di bidang Elektro di China—sedang memanfaatkan fasilitas lengkap kampus Baratha sebagai markas persiapan akhir.

"Wah, kampus lo keren juga ya," ujar Dion sambil memasang sebuah sensor canggih pada prototipe mereka, matanya berbinar melihat peralatan mutakhir di sekelilingnya.

"Keren sih kampusnya, makanya dipilih buat penelitian. Soalnya fasilitasnya lengkap begini," sahut Rena tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya, jari-jemarinya menari cepat di atas keyboard, menjalankan simulasi algoritma. "Bandingin sama lab di kampus aku, kayak jaman batu."

Rayyan yang sedang menyolder sebuah komponen mikro di meja kerjanya hanya tersenyum kecil, senang tapi tidak ingin terlihat terlalu bangga. "Kita beruntung bisa akses fasilitas ini," gumannya rendah, lebih kepada dirinya sendiri. Di sini, di antara deretan osiloskop, generator sinyal, dan workstation canggih, dia merasa berada di habitatnya yang sesungguhnya.

Mereka tengah menyempurnakan sebuah sistem smart grid miniatur yang akan menjadi karya kompetisi mereka. Suasana penuh konsentrasi. Dion dengan latar belakang hardware yang kuat fokus pada integrasi sensor, Rena yang jago pemrograman mengutak-atik kode kontrol, sementara Rayyan, sebagai penghubung sempurna antara hardware dan software, memastikan keduanya berkomunikasi dengan mulus. Suara desolder, ketikan keyboard, dan diskusi teknis rendah memenuhi ruangan.

Setelah beberapa jam, Rena meregangkan badan. "Guys, istirahat dulu yuk. Aku laper."

Rayyan mengangguk, meletakkan solder dengan hati-hati. "Iya, bentar lagi juga otak udah mau overheating."

"Lo berdua aja deh," sahut Dion, masih asyik menyelaraskan koneksi kabel. "Tanggung, nih, dikit lagi selesai. Gue nitip aja beliin makanan."

"Oke, bro," jawab Rayyan sambil berdiri.

"Beliin gue nasi goreng seafood ya, Yan!" pinta Dion.

Rena dan Rayyan kemudian berjalan meninggalkan lab. Di koridor, mereka langsung terlibat obrolan yang cair dan penuh semangat.

"Simulasi tadi error di bagian mana, sih? Aku sempat lihat grafiknya naik-turun nggak wajar," tanya Rayyan sambil menekan tombol lift.

"Itu tadi karena delay response dari sensormu, Yan. Aku udah adjust threshold-nya, coba nanti kita test lagi," jelas Rena dengan semangat.

"Wah, makasih. Aku tadi fokus ke koneksi fisiknya, jadi kelewat," ujar Rayyan sambil mengusap dagu, menunjukkan ekspresi serius yang khas.

Rena mendorong bahunya dengan lembut. "Santai aja, kita kan satu tim. Kamu jago hardware, aku jago software, Dion jago integrasi. Dream team!"

Rayyan akhirnya tersenyum, senyum yang jarang terlihat namun tulus. "Iya, bener juga."

Mereka terus bercakap-cakap dengan akrab sambil berjalan menuju kantin, bahu nyaris bersentuhan, tertawa kecil sesekali. Bagi mereka, ini adalah dinamika tim yang normal, persahabatan yang terjalin di atas dasar kecintaan pada sains.

---

Dari kejauhan, di balik sebuah pilar megah di loby fakultas, sepasang mata tajam menyaksikan pemandangan itu dengan api cemburu yang membara. Jessy Sadewo.

Dia memperhatikan bagaimana Rayyan dan gadis tak dikenalnya itu berjalan begitu dekat, begitu nyaman, berbeda dengan sikap dingin yang selalu Rayyan tunjukkan padanya. Hatinya langsung tercabik. Baru beberapa hari lalu Rayyan menolak ciumannya, kini dia terlihat begitu akrab dengan wanita lain.

"Oh... Senengnya yang modelan begitu. Cupu!" geram Jessy dalam hati, menatap Rena yang berkacamata dan berpenampilan sederhana namun percaya diri.

Della dan Nita yang berdiri di sampingnya saling melirik, mengetahui betul apa yang sedang terjadi.

"Emang lo nggak tau? Itu anak dari kampus lain. Rayyan kan mau ikut kompetisi sains internasional. Itu cewek satu tim sama dia," jelas Della yang selalu update dengan segala informasi kampus.

"Oh, mungkin Rayyan sukanya yang modelan jenius juga kayak dia," goda Nita, sengaja memancing reaksi Jessy. Matanya berbinar licik.

Jessy langsung tersulut. "Maksud lo apa, Nit? Gue bego?" suaranya meninggi.

"Nggak lah! Lo kaya dan cantik. Kata lo Rayyan cuma mainan. Ngapain marah kalo dia nggak sepenting itu," balas Nita, mencoba membuat sahabatnya jujur pada perasaannya.

"Gue nggak suka mainan gue dimainin orang lain!" Jessy membalas dengan posesif, masih menolak mengakui perasaan sebenarnya.

"Dia cuma nyari yang sefrekuensi kali," tambah Della terkekeh, semakin memanas-manasi.

"Lo berdua sengaja ya manas-manasin gue!" Jessy semakin kesal. Wajahnya memerah, campur malu dan marah. Tanpa berkata lain, dia berbalik dan meninggalkan kedua sahabatnya dengan langkah gemas.

Nita menghela napas dramatis, melihat punggung Jessy yang menjauh. "Susah banget sih dia, timbang ngaku kalo lagi bucin."

Sementara itu, di kantin, Rayyan dan Rena masih asyik mengobrol tentang proyek mereka, sama sekali tidak menyadari bahwa sebuah badai cemburu kecil telah pecah di sudut lain kampus. Dan di dalam hati Rayyan yang dingin, tanpa disadari, bayangan Jessy yang cantik, ceroboh, dan posesif itu mulai meninggalkan jejak yang semakin dalam, menciptakan konflik batin baru yang tak kalah rumit dari sirkuit mana pun yang pernah dia rancang.

1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kak..disini usia Rayyan brp THN ?Jessy nya brp THN ??aku udah follow IG nya siapa tau ada spill visual RayyannJessy🤭🤭😄
Nona Lebah: Rayyan itu saat ini udah 23 tahun dan jessy 20 tahun.
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabarr Rayyann....
Nona Lebah: Jangn lupa mampir di novelku lainnya ya kak. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
bagussss ayo dibaca...
IndahMulya
lanjut thor.. ceritamu ini emg bikin candu banget 😍
A Qu: ter rayyan rayyan pokoknya thor... ayo kejar cinta jessy
total 1 replies
IndahMulya
makanya rayyan jgn cuma tinggal diam aja, kalau msh syg tuh ayo kejar lagi jessynya, ga usah mikir yg lain, ingat kebahagiaanmu aja kedepan...
Nona Lebah: Hay kak. Bantu aku beri ulasan berbintang ⭐⭐⭐⭐⭐ yaa untuk novel ini. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
ayo rayyan.. semangattt
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: semangat Rayyan
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
langsung kesini kak
Nona Lebah: Terimakasih kak. Bantu aku dengan beri ulasan berbintang ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ya kak untuk novel ini.
total 1 replies
IndahMulya
lanjut thor.. aku dari paijo pindah ke sini cuma buat nyari rayyan sama jessy
Nona Lebah: Makasih kak. Kamu the best 💪
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
akhirnya ketemu juga sama cerita ini...keren dan recommend
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!