Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Penyucian yang Gagal
Wei Ran berdiri di lorong belakang, melangkah keluar dari kegelapan. Di tangannya, sebuah jimat pemanggil tetua telah menyala merah.
"Aku sudah curiga sejak kalian bertemu di Paviliun Dalam. Dan rupanya aku tidak salah."
Han Ye langsung bergerak, mencoba menahan Wei Ran sebelum ia sempat mengaktifkan jimat itu sepenuhnya.
Namun terlambat.
Kilatan cahaya merah meledak dari jimat di tangan Wei Ran, membumbung ke langit malam dan membentuk simbol segel Sekte Tianhan. Itu adalah sinyal darurat, panggilan ke seluruh tetua utama sekte.
Lu Ming mendesis marah. "Wei Ran, apa yang kau lakukan?!"
"Aku melakukan tugasku," jawab Wei Ran, suaranya tenang. "Senior tahu, jika ada kekuatan asing dalam tubuh seseorang, itu bisa membahayakan seluruh sekte. Aku hanya melindungi rumah kita."
"Dengan menjebak saudaramu sendiri?" bentak Han Ye.
Wei Ran menatap mereka dengan sorot mata yang datar. "Aku mempercayai aturan sekte. Kebenaran hanya bisa dibuktikan lewat sidang, bukan lewat pelarian diam-diam."
Sebelum ada yang sempat membalas, suara langkah kaki menggema dari segala arah. Tetua Fan muncul lebih dulu bersama dua tetua lain dan beberapa murid senior yang membawa senjata dan jimat penyegel.
Malam itu, di bawah bulan pucat, Yanzhi kembali ditangkap, dipapah oleh murid-murid sekte dan dibawa ke aula altar.
Di balik gemuruh langkah kaki yang menjauh, Yanzhi menatap langit malam di balik tirai rambutnya.
"Aku tidak ingin mati di altar itu," bisiknya.
Roh di dalamnya tertawa rendah, samar seperti bara yang menyala kembali.
"Siapa pun yang mencoba menyentuhmu… akan kubakar sampai tak bersisa. Mereka pikir bisa mengorbankan wadahku begitu saja? Hmph. Aku akan tunjukkan arti sebenarnya dari kehancuran."
......................
Langit pagi masih berkabut tipis, menyelubungi puncak-puncak Sekte Tianhan dalam selimut kelabu. Embun belum benar-benar menguap saat halaman utama mulai dipenuhi langkah kaki.
Murid-murid berbaris rapi, wajah-wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu, tegang, dan sebagian takut. Di tengah mereka, altar batu giok, tempat yang jarang digunakan kecuali untuk upacara penghakiman besar, bersinar redup dalam dingin pagi.
Yanzhi berdiri di sana. Tangannya terikat oleh jimat penyegel yang melilit seperti ular menyala. Tubuhnya terlihat lemah, wajahnya pucat, tapi matanya masih menyala, sebuah nyala yang lebih berbahaya dari murka.
Di tepi altar, Tetua Fan berdiri memegang gulungan naskah hukum sekte. Di sisi lainnya, Lu Ming, guru Yanzhi menatap tajam ke arah para tetua, wajahnya menahan sesuatu yang mendidih. Di belakangnya, Han Ye berdiri kaku. Beberapa murid lain berdiri berderet, mereka yang ikut misi ke lembah dan melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi pada Yanzhi.
"Dalam pelanggaran berat terhadap perintah sekte, termasuk menyembunyikan pecahan spiritual dan membahayakan nyawa rekan-rekan sekelompoknya," suara Tetua Fan menggema, "Yanzhi, murid dalam bimbingan Lu Ming, akan dijatuhi hukuman penyucian jiwa."
Murid-murid bergumam. Beberapa melirik ke arah Lu Ming yang masih diam.
Yanzhi tertawa pelan.
"Lucu. Kalian takut pada sesuatu yang bahkan tidak kalian pahami."
"Cukup!" salah satu tetua lain membentak.
"Kita sudah memberi waktu cukup lama. Mulai persiapan!"
Formasi di bawah altar menyala. Simbol-simbol kuno yang terukir sejak zaman pendiri sekte mulai berpendar, menyerap energi dari langit dan tanah. Udara mulai bergetar.
Han Ye melangkah maju, "Tunggu... tunggu sebentar! Aku yang ikut misi, dan aku... aku yakin ada sesuatu yang salah! Yanzhi tidak sepenuhnya…"
"Han Ye," Lu Ming menyela, suaranya tenang tapi menekan.
Han Ye menggigit bibirnya, tapi mundur.
Kilatan pertama dari formasi altar menyambar ke tubuh Yanzhi. Tubuhnya terhentak. Jemarinya mencengkeram erat rantai besi di sisinya. Seketika hawa panas menjalar dari dalam tubuhnya, bukan dari luar, tapi dari dalam dada, tempat roh itu bersemayam.
Roh itu mulai bangkit.
"Sudah cukup permainan ini," suara itu menggema dalam benaknya, lebih dalam, lebih nyata dari sebelumnya. Suara itu bukan lagi sekadar bisikan samar, melainkan gema yang berdentam dalam batok kepalanya.
"Kau ingin mati bersama mereka? Atau kubakar semuanya sekarang juga?"
Tubuh Yanzhi mulai bergetar. Altar bersinar lebih terang, formasi penyucian mencoba menarik roh itu keluar, tapi justru memancing reaksi sebaliknya. Rantai giok di lengan Yanzhi retak. Retakan kecil pertama menyebar seperti jaring laba-laba.
Tetua Fan menyipitkan mata. "Formasinya tidak bisa menahan, tingkatkan energi!"
"Jangan!" teriak Lu Ming.
Tapi sudah terlambat.
Ledakan cahaya merah gelap meledak dari dada Yanzhi. Aura yang membumbung ke langit seperti asap darah menggulung ke udara. Formasi altar pecah sebagian, batu-batunya terangkat, beberapa murid tersungkur oleh tekanan spiritual yang menghantam.
Yanzhi terdorong ke belakang, tapi dia masih berdiri. Tubuhnya hangus sebagian, kulitnya memerah seperti terbakar dari dalam, tapi matanya tetap menatap ke depan.
"Sudah kubilang…" bisiknya pelan.
Dalam pikirannya, suara roh itu masih terdengar berat, tapi kali ini berbeda.
"Kau… menahanku. Hah. Kau bodoh… atau keras kepala."
Para tetua bergerak panik. Segel kuno dilempar, mantra-mantra dilantunkan. Tapi sebelum mereka bisa menghentikan, roh itu menghentak altar dengan kekuatan yang membuat tanah retak dalam radius puluhan langkah.
"JANGAN BIARKAN DIA LEPAS KENDALI!" seru Tetua Fan, suara ketakutan kini tak bisa disembunyikan.
Beberapa tetua mulai membentuk formasi penyegel langit. Tapi terlalu lambat. Cahaya merah kini berubah menjadi amukan liar yang menggulung seperti badai.
Han Ye menatap dari kejauhan, kedua tangannya terkepal. "Yanzhi, kendalikan dia… kalau tidak, tak ada yang akan selamat."
Dan di saat itu…
Dari tengah pusaran energi, Yanzhi bergerak. Ia meraih jiwanya sendiri yang mulai terkoyak, mencengkeram kesadarannya yang nyaris hilang. Darah keluar dari matanya, tapi ia menggertakkan gigi.
"Aku... tidak... akan... membiarkanmu… menghancurkan… tempat ini…"
Tangan rohnya terhenti.
Sorot mata mengerikannya perlahan surut. Seolah kekuatan itu… terbatasi.
Yanzhi berhasil mengambil alih kembali.
Energi meledak satu kali terakhir, lalu meredup mendadak. Seolah ada badai besar yang tiba-tiba dihentikan oleh kehendak seseorang.
Altar hancur sebagian.
Yanzhi tumbang.
Tapi ia masih hidup.
Murid-murid terpaku, tak bisa bicara. Sebagian jatuh berlutut karena tekanan aura sebelumnya. Para tetua… hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
"Tak masuk akal… kekuatan macam apa itu…"
Lu Ming melangkah maju, tapi Han Ye menahan lengannya. "Tunggu. Kalau dia masih hidup setelah itu… berarti dia bukan manusia biasa."
Sementara di dalam tubuh Yanzhi, suara itu bicara lagi, kali ini pelan… nyaris seperti bisikan pribadi.
"…Kau. Ternyata kau memang bukan wadah kosong seperti yang kuanggap."
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak berkata dengan nada dingin, tapi dengan rasa hormat samar.
Keheningan mendadak menyelimuti altar. Hanya sisa asap tipis yang mengepul di antara batu-batu retak.
Tetua Fan melangkah maju dengan napas memburu. "Apa ini… kekuatan iblis?!"
Lu Ming bergerak cepat, berdiri di depan Yanzhi.
"Dia masih muridku. Dan kalian baru saja membuktikan bahwa kekuatan ini tidak bisa kalian kendalikan dengan cara kekerasan."
Han Ye berlari mendekat. "Yanzhi...
Dia menahannya, meski tubuhnya terbakar!"
Para murid saling bertukar pandang. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Yanzhi menahan sesuatu yang bahkan para tetua tak bisa pahami.
Tetua Fan menggertakkan gigi.
"Dia harus tetap dikurung. Sampai kita tahu apa sebenarnya yang tersembunyi dalam dirinya."
"Coba saja kalau berani," suara rendah bergema samar dari dalam dada Yanzhi, suara roh yang belum sepenuhnya kembali tidur.
"Satu lagi upaya bodoh, dan aku pastikan tak ada yang tersisa dari altar ini."
Lu Ming menatap para tetua satu per satu. "Atau kalian bisa menyerah pada ketakutan. Tapi jika kau masih ingin memahami apa sebenarnya ini… beri dia waktu."
Tak ada jawaban. Hanya tatapan berat, dan atmosfer tegang yang perlahan mulai turun.
......................
Di kejauhan, dari pegunungan luar sekte, beberapa burung pembawa berita terbang rendah. Di salah satu puncak, dua sosok berjubah gelap berdiri memandangi gelombang energi yang barusan muncul.
"Kau merasakannya?" tanya salah satu dari mereka. "Itu bukan pecahan biasa…"
"Bukan," jawab yang lain. "Itu roh lama. Sesuatu yang seharusnya telah terkubur ribuan tahun lalu."
Keduanya saling pandang. Lalu, dalam hening pagi yang belum reda, mereka bergerak turun. Keheningan hari itu bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih besar.
...****************...