Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Runtuhnya Langit-Langit
Bara membasuh wajahnya di wastafel kecil di sudut kontainer. Air dingin itu tidak cukup untuk memadamkan api amarah dan penyesalan yang membakar dadanya, tapi setidaknya menyamarkan jejak air mata di matanya yang memerah.
Kaluna berdiri di dekat pintu, memeluk lengannya sendiri, menatap punggung tegap itu dengan kekhawatiran yang mendalam.
"Bara, kita pulang saja ya?" bujuk Kaluna lembut. "Kamu sedang tidak fokus. Bahaya kalau keliling proyek dengan pikiran kacau begini."
Bara menegakkan tubuh, menatap pantulan dirinya di cermin retak itu. Ia mengambil tisu, mengeringkan wajahnya kasar.
"Aku tidak bisa pulang ke apartemen, Lun. Di sana terlalu sepi. Pikiranku bakal ke mana-mana," jawab Bara serak. Ia berbalik, mencoba tersenyum menenangkan meski gagal total. "Lebih baik aku di sini. Melihat progres fisik bangunan bikin aku merasa... terkendali."
"Tapi—"
"Aku baik-baik saja," potong Bara, meraih helm proyek putihnya. Ia berjalan mendekat, memakaikan helm proyek kuning ke kepala Kaluna, lalu mengetuk pelan bagian atasnya. "Ayo. Tadi Pak Hadi lapor ada masalah struktur di Grand Ballroom pasca pembongkaran marmer yang rusak. Aku harus lihat sebelum memutuskan langkah selanjutnya."
Kaluna menghela napas pasrah. Ia tahu, saat Bara sedang terluka, pelariannya adalah pekerjaan.
"Oke. Tapi berjanjilah kamu hati-hati," pinta Kaluna.
Bara mengangguk, menggenggam tangan Kaluna sejenak sebelum melepaskannya saat mereka melangkah keluar dari kontainer menuju area konstruksi.
Grand Ballroom Hotel Menteng siang itu tampak seperti kerangka raksasa yang menyedihkan.
Debu putih beterbangan di udara, menciptakan kabut tipis yang disorot oleh sinar matahari dari jendela-jendela tinggi yang kacanya belum dipasang. Suara palu dan gergaji mesin menggema, memantul di dinding-dinding tinggi yang telanjang.
Bara dan Kaluna berjalan berdampingan menuju tengah ruangan, di mana scaffolding (perancah besi) setinggi sepuluh meter berdiri menjulang untuk perbaikan plafon.
"Hati-hati langkahmu, banyak paku," peringatkan Bara, matanya menyapu lantai yang penuh puing.
Pak Hadi sudah menunggu di sana bersama dua insinyur struktur.
"Siang, Pak Bara," sapa Pak Hadi, tampak sedikit gugup melihat mata merah bosnya, tapi tidak berani bertanya. "Ini masalahnya, Pak. Saat kami membongkar sisa ornamen emas norak permintaan Bu Siska kemarin, kami menemukan retakan rambut di balok utama penyangga chandelier (lampu gantung)."
Bara mendongak, menyipitkan mata menatap langit-langit yang tingginya belasan meter. Di sana, di pusat plafon yang berukir indah, terlihat garis retakan halus yang memanjang.
"Retakannya dalam?" tanya Bara serius. Mode kerjanya mulai mengambil alih emosinya.
"Kami belum bisa pastikan, Pak. Tapi getaran dari pembongkaran lantai marmer di gudang sebelah sepertinya memperparah kondisi bangunan tua ini," jelas Pak Hadi.
Kaluna ikut mendongak, menyalakan senter laser-nya untuk menunjuk titik retakan.
"Itu area krusial," gumam Kaluna. "Kalau balok itu geser satu sentimeter saja, seluruh struktur gipsum di sekitarnya bisa runtuh. Kita harus pasang penyangga tambahan H-Beam baja secepatnya."
"Setuju," Bara mengangguk. Ia melangkah maju, mendekati dasar scaffolding untuk melihat denah struktur yang ditempel di sana.
Kaluna mengikutinya. "Aku akan hitung beban bajanya nanti sore. Tapi sementara, area di bawah sini harus disterilkan. Jangan ada tukang yang lewat."
"Bara!" panggil Kaluna tiba-tiba, merasakan butiran debu kasar jatuh mengenai helmnya.
Bara menoleh. "Kenapa?"
KREK...
Suara itu terdengar. Bukan suara palu, bukan suara mesin. Tapi suara mengerikan dari sesuatu yang patah di bawah tekanan berat. Suara "jeritan" beton tua dan kayu lapuk yang menyerah.
Kaluna dan Bara mendongak serentak.
Di atas sana, tepat di atas kepala mereka, balok kayu raksasa penyangga ornamen tengah plafon itu bergeser. Retakan rambut tadi melebar secepat kilat menjadi celah menganga.
Sepotong besar plafon gipsum berukuran mobil—lengkap dengan rangka kayunya—terlepas dari induknya.
Waktu seolah melambat.
Kaluna terpaku. Otaknya memerintahkan lari, tapi kakinya membeku. Ia hanya bisa menatap kematian yang jatuh meluncur ke arahnya.
"KALUNA!"
Teriakan Bara memecah kelumpuhan itu.
Bara tidak lari menjauh. Sebaliknya, ia menerjang ke arah Kaluna.
Tubuh besar Bara menabrak Kaluna dengan keras, mendorong wanita itu terlempar ke samping, menjauh dari zona jatuhnya reruntuhan.
Bara sendiri tidak sempat menghindar.
BRAAAK!!!
Suara hantaman itu memekakkan telinga. Debu putih tebal seketika meledak memenuhi ruangan, membutakan pandangan. Suara teriakan para tukang terdengar panik di kejauhan.
"Pak Bara!!!"
Kaluna terbatuk-batuk, merangkak di lantai yang penuh debu. Ia tadi terlempar cukup jauh hingga helmnya terlepas dan sikunya lecet, tapi ia selamat.
"Bara?" panggil Kaluna, suaranya bergetar hebat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga menyakitkan.
Debu perlahan mulai menipis.
Pemandangan di depannya membuat darah Kaluna membeku.
Di tengah ruangan, di antara tumpukan puing gipsum dan kayu balok yang hancur, Bara tergeletak tak bergerak.
Sebagian tubuh bawahnya tertimbun reruntuhan plafon. Tapi yang lebih mengerikan, sebuah balok kayu besar menimpa lengan kirinya dengan posisi yang tidak wajar.
Ada darah.
Darah segar mengalir dari pelipis Bara, mewarnai debu putih di wajahnya menjadi merah cerah.
"TIDAK! BARA!"
Kaluna menjerit histeris, merangkak secepat kilat menghampiri tubuh Bara. Ia tidak peduli tangannya tergores pecahan gipsum.
"Bara! Bangun! Bar, tolong buka matamu!"
Kaluna menepuk pipi Bara dengan tangan gemetar. Wajah pria itu pucat pasi, matanya terpejam rapat.
"Pak Hadi! Panggil ambulans! Cepat!!!" teriak Kaluna pada orang-orang yang mulai berlarian mendekat.
"Ya Allah, Pak Bara..." Pak Hadi pucat pasi, segera berteriak di walkie-talkie. "Medis! Medis! Darurat di Ballroom! Bos terluka! Bawa tandu sekarang!"
Kaluna mencoba mengangkat balok kayu yang menimpa lengan Bara, tapi balok itu terlalu berat.
"Bantu saya! Angkat ini!" perintah Kaluna pada dua tukang yang baru sampai.
Mereka bertiga mengangkat balok itu dan menyingkirkannya. Lengan kiri Bara terkulai lemas, tulangnya jelas patah. Kaluna menggigit bibir menahan tangis, merobek ujung kemejanya sendiri untuk menekan luka di pelipis Bara yang terus mengeluarkan darah.
"Jangan mati... kumohon jangan mati..." isak Kaluna, air matanya menetes ke wajah Bara. "Kita baru saja baikan... kamu nggak boleh pergi lagi..."
Rasa takut yang dirasakannya lima tahun lalu saat Bara sakit demam biasa tidak ada apa-apanya dibandingkan ini. Ini ketakutan murni. Ketakutan kehilangan belahan jiwa.
Tiba-tiba, terdengar erangan lirih.
"Eghhh..."
Mata Bara bergerak-gerak di balik kelopak, lalu terbuka perlahan. Tatapannya kabur, tidak fokus.
"Bara?" Kaluna mendekatkan wajahnya. "Kamu dengar aku?"
Bara mengerjap, mencoba memproses rasa sakit yang meledak di kepala dan lengannya. Matanya perlahan fokus pada wajah Kaluna yang menangis di atasnya.
"Lun..." bisik Bara, suaranya parau dan sangat lemah.
"Aku di sini. Jangan bergerak. Ambulans sedang jalan," kata Kaluna cepat, mengusap pipi Bara.
"Kamu..." Bara meringis kesakitan saat mencoba menggerakkan badannya, napasnya tersendat. "...kamu terluka nggak?"
Kaluna terisak keras mendengar pertanyaan itu. Dalam kondisi setengah sadar dan berdarah-darah, hal pertama yang ditanyakan Bara adalah keselamatan Kaluna.
"Aku nggak apa-apa, Bodoh! Aku nggak apa-apa!" tangis Kaluna pecah. "Lihat dirimu sendiri!"
Bara mencoba tersenyum, tapi malah meringis lagi. "Syukurlah... tugasku selesai."
"Jangan bicara begitu! Jangan tutup matamu!" bentak Kaluna panik saat mata Bara mulai terpejam lagi. "Bara, tetap sama aku! Lihat aku!"
Tim medis proyek datang membawa tandu.
"Minggir, Bu! Biar kami tangani!"
Kaluna mundur selangkah dengan enggan, membiarkan petugas memakaikan penyangga leher (neck collar) pada Bara dan membalut luka kepalanya dengan cepat. Mereka mengangkat tubuh besar itu ke tandu dengan hati-hati. Bara mengerang keras saat lengannya tersentuh, membuat hati Kaluna teriris.
"Bawa ke mobil! Ambulans RS Bunda sudah tunggu di depan!"
Mereka berlari membawa tandu keluar. Kaluna berlari di samping tandu, menggenggam tangan kanan Bara yang tidak terluka erat-erat.
Di dalam ambulans yang melaju kencang membelah kemacetan Menteng, sirene meraung-raung memekakkan telinga.
Kaluna duduk di samping brankar, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. Bajunya kotor oleh debu dan darah Bara.
Paramedis sedang memasang infus dan memonitor detak jantung Bara.
"Tekanan darahnya turun, Bu. Kemungkinan syok akibat nyeri hebat dan perdarahan," lapor paramedis.
Bara masih sadar, tapi kesadarannya timbul tenggelam. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Bara..." bisik Kaluna, mencium punggung tangan Bara berkali-kali. "Bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi sampai."
Bara menoleh sedikit, menatap Kaluna dengan mata sayu.
"Jangan nangis..." gumam Bara lemah, ibu jarinya bergerak pelan mengusap tangan Kaluna. "Jelek kalau nangis..."
Kaluna tertawa di sela tangisnya. "Kamu nyebelin banget. Masih sempat-sempatnya ngejek."
"Lun..."
"Ya?"
"Kalau aku kenapa-napa..." napas Bara berat, "...tolong jaga Mama. Meski dia nyebelin... dia tetap ibuku."
"Hush! Diam!" Kaluna membekap mulutnya sendiri. "Kamu nggak bakal kenapa-napa! Kamu cuma patah tangan, bukan mau perang! Jangan ngomong kayak orang mau pamit!"
Bara tersenyum tipis, lalu matanya terpejam lagi. Kali ini dia tidak merespons panggilan Kaluna. Monitor jantung berbunyi stabil tapi cepat.
"Pak! Dia pingsan!" teriak Kaluna pada paramedis.
"Tenang, Bu. Itu reaksi wajar karena nyeri. Kita sudah sampai di UGD."
Pintu ambulans dibuka dari luar. Tim dokter UGD langsung menyambut mereka.
Bara didorong masuk ke ruang tindakan. Pintu kaca otomatis tertutup di depan hidung Kaluna, memisahkannya dari pria yang baru saja mempertaruhkan nyawa untuknya.
Kaluna berdiri di lorong rumah sakit yang dingin, tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap tangannya yang berlumuran darah Bara yang mulai mengering.
"Tuhan..." doa Kaluna, merosot duduk di lantai lorong. "Ambil semua yang aku punya. Ambil karirku, ambil uangku. Tapi tolong, jangan ambil dia. Jangan Bara."
Saat itu, Kaluna sadar sepenuhnya.
Cinta bukan tentang siapa yang paling kaya atau siapa yang paling sukses.
Cinta adalah tentang siapa yang rela hancur agar dirimu tetap utuh.
Dan Bara baru saja membuktikannya dengan cara yang paling brutal.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️