NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Dan Suamiki Dalam Keretakan Kami Sendiri

   Beberapa hari setelah Ayah datang dan suasana rumah sedikit mereda, aku justru mulai merasakan sesuatu yang lain dalam hidupku. Sesuatu yang tidak meledak seperti pertengkaran besar, tapi merayap perlahan seperti retak halus di dinding rumah tidak langsung runtuh, tapi mengganggu jika terlalu lama dibiarkan.

   Itu terjadi diam-diam di antara aku dan Ardi.

   Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Menyiapkan sarapan seperti rutinitas yang selalu kujalani sejak menikah. Nasi goreng sederhana, telur ceplok, dan teh hangat. Saat aku memanggil Ardi dari kamar, ia menjawab singkat.

   “Iya, sebentar.”

   Namun hingga makanan di meja mulai dingin, Ardi belum keluar. Aku berjalan ke kamar dan mendapati ia masih sibuk dengan ponselnya.

   “Mas, sarapannya nanti keburu dingin,” kataku pelan.

   “Iya, nanti aja, masih ada kerjaan dikit,” jawabnya tanpa menatapku.

   Aku mengangguk, tapi ada perasaan asing yang menyelinap ke dadaku. Dulu, Ardi selalu keluar kamar justru sebelum aku memanggil. Sekarang, aku mulai sering menunggu.

   Hal kecil, mungkin. Tapi aku merasakannya.

   Beberapa hari terakhir, Ardi pulang lebih malam. Alasannya selalu sama: pekerjaan. Aku tidak pernah membantah. Aku tahu bagaimana beratnya mencari nafkah. Aku juga tidak ingin menjadi istrinya yang cerewet.

   Tapi aku juga manusia.

   Suatu malam, aku tertidur lebih awal karena lelah. Aku terbangun sekitar pukul dua dini hari dan mendapati Ardi belum pulang. Ponselku kosong dari pesan. Tidak ada kabar. Dadaku langsung sesak oleh rasa cemas yang tidak tahu harus ke mana.

   Aku mencoba meneleponnya.

   Sekali... Tidak diangkat... Dua kali... Masih tidak diangkat.

   Baru pada panggilan ketiga, suaranya terdengar di seberang sana, sedikit terengah.

   “Iya, kenapa?”

   “Kamu di mana, Mas?” tanyaku menahan gemetar.

   “Masih di luar. Sama teman. Kenapa belum tidur?”

   Aku terdiam sesaat. “Aku kepikiran. Kamu belum pulang.”

   “Sebentar lagi juga pulang,” katanya singkat.

   Telepon mati sebelum aku sempat menjawab lebih panjang.

   Malam itu, aku terjaga sampai Ardi pulang hampir pukul tiga. Ia masuk kamar dengan langkah pelan, mencoba tidak membangunkanku. Tapi aku sudah terbangun.

   “Kamu tadi sama siapa?” tanyaku pelan dari balik selimut.

   “Teman kerja,” jawabnya sambil berbaring.

   Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada cerita seperti biasanya.

   Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiranku sendiri. Mungkin aku hanya terlalu sensitif. Tapi rasa yang mengganjal itu tidak mau pergi.

   Keesokan harinya, tanpa sengaja aku mendengar Ibu berbicara di telepon dengan seseorang di dapur. Suaranya pelan, tapi aku masih bisa menangkap beberapa kalimat.

   “Iya… Alya sama suaminya kelihatannya baik-baik aja… semoga aja bukan cuma kelihatan…”

   Langkahku terhenti. Hatiku terasa ditusuk sesuatu yang tak terlihat. Malam itu, aku memberanikan diri berbicara.

   “Mas,” kataku pelan saat kami duduk di ruang tamu. “Akhir-akhir ini kamu sering pulang malam.”

   Ardi menoleh sekilas. “Kerjaan lagi banyak.”

   “Kamu jarang cerita seperti dulu.”

   Ia terdiam sesaat, lalu menghela napas pendek. “Alya… jangan buat masalah dari hal kecil.”

   Kalimat itu seperti menamparku pelan. Aku tidak membalas lagi. Aku hanya mengangguk.

   Sejak kapan perasaanku dibilang masalah?

   Sejak kapan aku harus menyimpan semua kegelisahanku sendirian?

   Malam itu aku menangis pelan di kamar mandi. Tidak terisak, hanya diam dan sesak.

   Aku teringat Ibu.

    Tentang bagaimana semua juga dimulai dari hal kecil. Diam yang tidak dibicarakan. Luka yang dianggap sepele. Hingga akhirnya menjadi jurang yang tidak bisa dijembatani.

   “Jangan sampai seperti itu…” bisikku pada bayanganku sendiri di cermin.

   Namun ketakutanku justru semakin tumbuh.

   Aku tidak tahu, bahwa retak kecil ini hanyalah awal dari badai yang jauh lebih besar.

   Sejak percakapan malam itu, suasana di antara aku dan Ardi berubah menjadi asing. Kami masih tinggal di rumah yang sama, makan di meja yang sama, tidur di ranjang yang sama, tapi rasanya seperti ada jarak yang tak terlihat di antara kami.

   Hari-hari berlalu dengan keheningan yang terlalu rapi.

   Aku tetap bangun pagi, memasak, mencuci, membersihkan rumah. Ardi tetap bekerja, pulang malam, kadang langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Kami tidak bertengkar, tapi juga tidak lagi benar-benar berbincang.

   Aku mulai sering termenung sendirian.

   Suatu sore, saat aku sedang melipat pakaian di kamar, ponsel Ardi bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk. Aku tidak berniat membuka, sungguh. Tapi layar ponsel itu menyala terang, menampilkan nama yang tidak kukenal.

   “Makasih ya tadi, Mas.”

   Tanganku gemetar.

   Aku menatap layar itu lama, terlalu lama, sampai ponsel kembali gelap. Dadaku terasa sesak, seperti ada tangan yang mencengkeram pelan tapi kuat.

   Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin memang rekan kerja. Mungkin aku hanya terlalu curiga.

   Tapi malam itu, saat Ardi pulang, aku tidak bisa menahan diri.

   “Tadi ada yang chat kamu,” kataku pelan.

   Ardi menoleh cepat. “Siapa?”

   “Aku nggak buka. Cuma muncul di layar.”

   Raut wajahnya berubah. Tidak marah, tapi ada sesuatu yang tertutup rapat di sana.

   “Oh, itu teman kantor,” katanya singkat.

   “Perempuan?” tanyaku sekali lagi, jujur.

   Ardi terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Iya.”

   Jawaban itu seperti menghantam dadaku. Aku tidak berkata-kata lagi. Aku hanya mengangguk pelan.

   “Alya,” Ardi menatapku. “Kamu nggak percaya sama aku?”

   Aku ingin menjawab: Aku ingin percaya, Mas, tapi kenapa rasanya aku tidak ditempatkan di hidupmu seperti dulu?

   Tapi yang keluar dari bibirku hanya, “Aku percaya.”

   Padahal hatiku justru dipenuhi ketakutan.

   Malam itu kami tidur saling membelakangi. Tidak ada sentuhan, tidak ada obrolan sebelum tidur, hanya sunyi yang menyesakkan.

   Beberapa hari kemudian, pertengkaran kecil itu akhirnya terjadi.

   Saat aku meminta Ardi menemaniku ke dokter karena tubuhku merasa tidak enak, ia menolak.

   “Aku capek, Al... Bisa nggak besok aja?”

   “Tapi aku takut,” jawabku lirih.

   “Kenapa sih kamu jadi manja begini?”

   Kata itu menusukku lebih dalam dari yang ia kira. Manja.... Padahal aku hanya merasa sendirian.

   “Itu bukan manja, Mas,” suaraku bergetar. “Aku cuma ingin ditemani.”

   Ardi menghela napas keras. “Kamu tahu kan aku kerja buat kamu juga?”

   Air mataku jatuh. “Aku nggak pernah minta kamu berhenti kerja…”

   Ia terdiam. Tapi diamnya bukan menenangkan justru menyakitkan.

   Aku membalikkan badan dan masuk ke kamar. Saat pintu tertutup, tangisku pecah tanpa suara.

   Aku teringat Ibu lagi.

   Tentang malam-malam ketika Ayah pulang tanpa bicara. Tentang Ibu yang hanya bisa menangis diam-diam di dapur. Tentang pernikahan yang retak bukan karena satu kejadian besar, tapi karena ribuan luka kecil yang dibiarkan.

   “Apa aku juga sedang menuju ke sana?” tanyaku pada diriku sendiri.

   Aku takut... Takut jika rumah tangga yang baru seumur jagung ini perlahan akan retak seperti rumah orang tuaku. Takut jika aku akan mengulang kisah yang paling ingin kuhindari.

   Dan yang paling menakutkan… aku mulai merasa kehilangan suamiku, meski ia masih ada di hadapanku.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!