Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Ziva Sang Mata-Mata
#
Ada jenis sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—jenis sakit yang meresap ke tulang, menggerogoti dari dalam, membuat setiap napas terasa seperti siksaan. Larasati merasakan itu saat mengemudi ke Kafe Filosofi Kopi di Kemang, siang itu.
Tangannya mencengkeram setir lebih erat dari yang seharusnya, buku-buku jarinya memutih. Jakarta macet seperti biasa—klakson bersahutan, motor nyaris menabrak dari samping, panas terik menembus kaca mobil meski AC sudah maksimal. Tapi Larasati tidak merasakan apa-apa. Tubuhnya di sini, tapi pikirannya jauh—di Bali, membayangkan Gavin dan Kiran tertawa di pantai, tidur di villa mewah, hidup di dunia paralel di mana Larasati tidak ada.
Ponselnya berbunyi. Pesan masuk.
Jantungnya melompat—refleks berharap itu dari Gavin, meski dia tahu berharap pada orang yang mengkhianati adalah hal paling bodoh di dunia.
Tapi bukan dari Gavin. Dari Ziva.
_"Mbak Lara, saya ada di depan rumah. Mau bawain sesuatu? Saya lihat kulkas hampir kosong kemarin."_
Ziva Ayuningtyas. Asisten pribadi Larasati sejak tiga tahun lalu—gadis dua puluh enam tahun yang Larasati pekerjakan bukan karena butuh asisten, tapi karena kasihan. Ziva datang melamar dengan ijazah SMA lusuh dan mata penuh harap, cerita tentang keluarga di kampung yang butuh uang, tentang mimpi kuliah yang terpaksa ditunda.
"Saya bisa apa saja, Bu," katanya waktu itu. "Masak, bersih-bersih, antar jemput, apapun. Saya cuma butuh kesempatan."
Dan Larasati—yang waktu itu masih punya hati yang lembut, masih percaya membantu orang lain adalah hal mulia—menerimanya. Ziva jadi asisten yang setia. Tidak hanya bantu urusan rumah, tapi jadi teman ngobrol, jadi seseorang yang Larasati bisa ajak ketawa tentang hal-hal kecil saat Gavin sibuk dengan pekerjaannya.
Ziva yang satu-satunya orang di rumah ini—selain Abimanyu—yang masih membuat Larasati merasa dia bukan hantu yang melayang-layang tanpa tujuan.
Larasati ketik balasan:
_"Gak usah, Vi. Aku lagi di luar. Nanti sore kita ketemu ya. Aku ada yang mau omongin."_
Kirim. Tiga titik muncul—Ziva mengetik.
_"Okay, Mbak. Mbak Lara baik-baik ya? Saya khawatir lihat Mbak akhir-akhir ini. Mbak kelihatan capek."_
Air mata tiba-tiba menggenang di mata Larasati. Ada sesuatu tentang kepedulian yang tulus—kepedulian tanpa pamrih, tanpa agenda tersembunyi—yang membuat pertahanannya nyaris runtuh. Dia kedipkan mata cepat, memaksa air mata kembali.
_"Aku okay. Nanti kita ngobrol. Thanks, Vi."_
---
Kafe Filosofi Kopi terletak di pojok jalan Kemang yang agak tersembunyi—tempat yang masih sama seperti lima tahun lalu. Dinding bata ekspos, tanaman gantung di mana-mana, aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan jazz instrumental dari speaker. Tempat ini punya memori—memori lama yang sekarang terasa seperti milik orang lain.
Larasati masuk, mata langsung mencari-cari. Dan dia menemukannya—Reza duduk di meja pojok dekat jendela, sama seperti dulu mereka selalu duduk. Dia pakai kemeja biru muda, rambut sedikit lebih panjang dari terakhir kali Larasati lihat, tetap ganteng dengan cara yang tidak berlebihan—ganteng natural yang membuat perempuan menoleh tapi tidak terlalu threatening untuk laki-laki lain.
Reza mengangkat tangan, tersenyum. Tapi senyum itu pudar saat dia lihat wajah Larasati lebih dekat.
Larasati tahu dia terlihat buruk—tidak peduli berapa banyak concealer yang dia pakai untuk tutup lingkaran hitam, tidak peduli berapa lama dia coba rapikan rambut atau pilih outfit yang membuat dia terlihat "oke". Kehancuran tidak bisa disembunyikan. Itu terlihat di mata, di cara berjalan, di senyum yang tidak sampai ke mana-mana.
"Lara," kata Reza saat dia duduk di hadapannya. Suaranya lembut, khawatir. "Lo... lo kelihatan..."
"Buruk?" Larasati tersenyum pahit. "Aku tahu."
"Aku mau bilang tired. Tapi..." Reza menghela napas, memanggil pelayan. "Lo mau pesen apa? Coffee? Atau lo butuh yang lebih kuat?"
"Cappuccino aja. Decaf." Larasati sudah terlalu banyak kafein dalam tubuhnya—setiap hari dia minum kopi hanya untuk tetap berfungsi, tetap terjaga, tetap tidak kolaps.
Setelah pelayan pergi, Reza menatapnya dengan tatapan yang membuat Larasati tidak nyaman—tatapan yang melihat terlalu dalam, yang melihat hal-hal yang dia coba sembunyikan.
"Lara, what happened?" tanya Reza langsung, tanpa basa-basi. "Di chat lo bilang lo gak okay. Dan gue kenal lo cukup lama untuk tahu lo gak akan reach out kalo gak benar-benar urgent."
Larasati menatap tangannya yang terletak di meja—tangan yang gemetar sedikit meski dia coba stabilkan. Dari mana dia mulai? Bagaimana dia bilang pada sahabat suaminya bahwa suaminya—sahabatnya—sedang menghancurkan hidupnya?
"Gavin selingkuh," kata Larasati akhirnya. Kata-kata itu keluar begitu saja—blunt, tanpa pemanis, seperti meludah racun yang terlalu lama dia simpan.
Reza membeku. Cangkir yang baru dia angkat berhenti di tengah jalan ke bibirnya. "What?"
"Gavin punya selingkuhan. Namanya Kiran. Karyawannya. Ini udah jalan berbulan-bulan, mungkin lebih." Suara Larasati datar sekarang—sudah terlalu lelah untuk emosi, terlalu kosong untuk marah. "Dan sekarang, saat ini, mereka di Bali. Liburan romantis. Sementara gue di sini, berpura-pura percaya bohongnya kalau dia lagi meeting di Surabaya."
Reza meletakkan cangkirnya dengan keras—bunyi keramik bertabrakan dengan piring terdengar tajam di antara background music lembut. "Lara... lo... lo serius?"
"Aku punya bukti. Email. Foto. Rekaman transfer uang. Booking hotel. Instagram story mereka di pantai." Larasati akhirnya menatap Reza, dan dia lihat sesuatu di wajah laki-laki itu—shock, marah, dan sesuatu yang lain yang dia tidak bisa identifikasi. "Jadi ya, aku serius."
"Fuck," bisik Reza, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Fuck. Gue... gue gak percaya Gavin bisa... dia bajingan."
"Kamu tahu?" tanya Larasati tiba-tiba, sesuatu di dadanya menegang. "Kamu curiga?"
Reza diam cukup lama—terlalu lama. Dan Larasati tahu jawabannya sebelum dia bicara.
"Gue... gue lihat sesuatu. Beberapa bulan lalu, saat gue last visit Jakarta. Gue ajak Gavin makan malam, dan dia bawa seorang perempuan. Dia bilang itu karyawan barunya, mereka lagi diskusi project. Tapi..." Reza menggeleng. "Cara dia ngeliat perempuan itu... gue curiga. Tapi gue pikir gue overthinking. Maksud, itu Gavin. Lo married eight years. Gue gak mungkin nuduh dia tanpa bukti solid."
"Jadi kamu diam." Tidak ada akusasi di suara Larasati—hanya kelelahan.
"Gue salah," kata Reza, menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. "Gue seharusnya ngomong sama lo. Seharusnya gue—"
"Tidak akan mengubah apa-apa," potong Larasati. "Kalau kamu bilang, aku mungkin akan bela Gavin. Bilang kamu salah lihat. Sampai aku melihat sendiri... aku gak akan percaya."
Pelayan datang dengan cappuccino. Mereka diam sampai pelayan pergi.
"Lara," kata Reza pelan, tangannya bergerak di atas meja seolah ingin menggenggam tangan Larasati tapi ragu. "Lo butuh apa? Apa yang bisa gue lakuin?"
"Aku butuh informasi." Larasati meneguk kopinya—pahit meski sudah ada gula, atau mungkin itu cuma mulutnya yang sudah tidak bisa merasakan manis lagi. "Kamu kenal Gavin lebih lama dari aku. Kamu tahu bisnis dia, keuangan dia, koneksi dia. Aku mau cerai, Reza. Dan aku mau menang."
Reza terdiam, mencerna kata-katanya. "Lo serius mau cerai? Lo gak mau coba... couples therapy atau—"
"Untuk apa?" Larasati tersenyum—senyum tanpa humor, tanpa kehangatan. "Terapi untuk pernikahan yang salah satu pihaknya lagi liburan bareng selingkuhan? Terapi buat suami yang bilang 'aku cinta kamu, bukan dia' ke perempuan lain? No. Ini sudah berakhir. Aku cuma perlu pastikan kalau ini berakhir dengan syarat aku, bukan syarat Gavin."
Reza menatapnya dengan tatapan yang membuat Larasati hampir tidak nyaman—tatapan yang terlalu intens, terlalu... apa? Kagum? Khawatir?
"Lo berubah," katanya akhirnya.
"Aku harus berubah. Atau aku mati." Simpel. Faktual.
"Okay," kata Reza, mengangguk pelan. "Gue akan bantu lo. Apapun yang lo butuhkan. Financial records, business dealings, apapun yang bisa kasih lo leverage. Gue punya akses ke beberapa info karena kita ada joint ventures. Dan gue..." Dia berhenti, menatap cangkirnya. "Gue selalu bilang ke Gavin untuk jaga lo baik-baik. Dia janji. Dan sekarang dia... dia gak deserve lo, Lara."
Ada sesuatu di nada suaranya yang membuat Larasati menatap lebih dekat. Tapi sebelum dia bisa analisa, Reza sudah ganti topik.
"Lo udah contact lawyer?"
"Belum. Tapi sahabatku recommend seseorang. Diana Kusuma."
Reza bersiul pelan. "Diana? Damn. Lo main serius. Dia salah satu yang terbaik di Jakarta. Expensive, tapi worth it."
"Aku tidak peduli berapa mahal. Aku akan habiskan semua tabunganku kalau perlu."
"Don't," kata Reza cepat. "Simpan duit lo. Gue akan cover lawyer fee-nya."
Larasati terdiam. "Reza, aku gak bisa—"
"Lo bisa dan lo akan." Suaranya final. "Anggap itu... compensation karena gue gak ngomong ke lo soal kecurigaan gue dulu. Dan karena gue sahabat yang apparently shitty karena gak realize sahabat gue sendiri jadi asshole."
"Dia sahabatmu. Kenapa kamu mau bantu aku, bukan dia?"
Reza diam sejenak, tatapannya tidak lepas dari wajah Larasati. "Karena lo gak deserve ini. Karena gue kenal lo sejak dulu dan gue tahu lo orang baik yang udah korbanin banyak hal untuk Gavin. Dan karena..." Dia berhenti, menggeleng. "Doesn't matter why. Yang penting, gue di pihak lo."
---
Mereka ngobrol hampir dua jam. Reza kasih informasi tentang aset Gavin—perusahaan, investasi, properties. Dia juga mention beberapa transaksi yang "questionable" yang mungkin bisa Larasati pakai sebagai leverage.
"Gavin pinter," kata Reza. "Tapi dia juga kadang impulsive. Ada beberapa investment decisions yang dia buat tanpa proper approval dari board. Kalau lo bisa prove dia menggunakan company funds untuk affair-nya dengan Kiran... that's powerful ammunition."
Larasati mencatat semuanya di ponselnya, otaknya bekerja seperti mesin—analisa, strategi, planning. Ini seperti project design dulu saat dia masih kerja—hanya kali ini yang dia design adalah kehancuran pernikahannya sendiri.
Saat mereka akhirnya keluar dari kafe, matahari sudah condong ke barat. Reza berjalan bersamanya ke parkiran.
"Lara," katanya saat mereka sampai di mobil Larasati. "Lo... lo gak sendirian, oke? Gue tahu lo probably merasa sendirian right now. Tapi lo punya people yang care about you. Termasuk gue."
Larasati menatapnya, melihat ketulusan di mata laki-laki yang dulu sempat—sangat brief—interested padanya sebelum Gavin datang. Dia bertanya-tanya apakah Reza masih... tapi dia tidak mau pikirkan itu sekarang. Terlalu complicated. Terlalu much.
"Thanks, Reza," katanya, suaranya lebih lembut dari sejak tadi. "Untuk semuanya."
Reza tersenyum—senyum yang hangat, yang membuat sesuatu di dada Larasati mencair sedikit. "Anytime. Seriously. Call me, text me, apapun. Gue akan respons."
Mereka berpisah dengan janji untuk meeting lagi minggu depan, setelah Larasati ketemu Diana.
Di perjalanan pulang, Larasati merasa sedikit lebih ringan—bukan bahagia, tapi less alone. Ada orang di pihaknya sekarang. Ada yang mau bantu tanpa judge, tanpa pertanyaan yang menghakimi.
Tapi keringanan itu tidak bertahan lama. Saat sampai rumah, dia lihat Ziva sudah menunggu di teras, wajahnya serius.
"Mbak Lara, kita harus ngomong," kata Ziva begitu Larasati turun dari mobil.
---