NovelToon NovelToon
Bermimpi Di Waktu Senja

Bermimpi Di Waktu Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life
Popularitas:26
Nilai: 5
Nama Author: Mbak Ainun

Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: Kembali ke Rumah Kaca

Gedung pusat Grup Mahakarya menjulang seperti tombak perak yang mencoba menusuk langit. Di mata Aris, bangunan ini adalah monumen keserakahan sekaligus bukti kecerdasannya di masa lalu—karena dialah salah satu tim arsitek utama yang merancang struktur lengkung di bagian podiumnya. Namun hari ini, ia berdiri di depan pintu putar otomatis itu bukan sebagai pencipta, melainkan sebagai orang asing yang dianggap tidak relevan oleh waktu.

Aris merapikan kemeja flanelnya yang sudah tipis di bagian siku. Ia merasa sangat kontras dengan pria-pria muda yang keluar-masuk gedung dengan setelan jas seharga gaji setahun Aris saat ini. Dengan menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdebu, ia melangkah masuk.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" tanya seorang resepsionis dengan senyum yang dipoles sempurna.

"Saya ingin bertemu dengan Bapak Baskoro. Direktur Pengembangan Proyek," ucap Aris, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

Resepsionis itu mengerutkan kening, jemarinya menari di atas keyboard. "Apakah sudah ada janji, Bapak... maaf, dengan Bapak siapa?"

"Aris. Katakan saja padanya, Aris dari tim proyek Green Horizon tahun 2015."

Nama itu seperti mantra kuno. Resepsionis itu sempat tertegun sejenak sebelum membuat panggilan internal. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, ia mengangguk. "Silakan ke lantai 42, Pak Aris. Bapak Baskoro memiliki waktu sepuluh menit sebelum rapat dewan."

Di dalam lift yang bergerak secepat kilat, Aris merasakan telinganya berdenging. Angka-angka di layar digital merayap naik, sama seperti kecemasan yang merambat di dadanya. Saat pintu lift terbuka, ia disambut oleh aroma kemewahan—perpaduan antara pengharum ruangan mahal dan aroma kopi arabika.

Ia dipandu menuju sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang menyajikan pemandangan seluruh Jakarta. Di balik meja marmer hitam, duduk seorang pria dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya namun tetap terlihat bugar. Baskoro.

"Aris," suara Baskoro berat dan penuh wibawa. Ia tidak berdiri, hanya memberi isyarat agar Aris duduk. "Sepuluh tahun, dan kamu masih memakai jaket yang sama seperti saat aku memecatmu."

Aris duduk perlahan, meletakkan tas selempangnya di pangkuan seolah itu adalah perisai. "Jaket ini masih berfungsi dengan baik, Bas. Sama seperti prinsipku."

Baskoro tertawa pendek, suara yang terdengar seperti gesekan amplas. "Prinsip tidak membangun gedung, Aris. Uang dan beton yang melakukannya. Jadi, apa yang membawa seorang martir sepertimu kembali ke tempat yang ia benci?"

Aris tidak membuang waktu. Ia mengeluarkan surat pemberitahuan dari dinas tata kota dan meletakkannya di atas meja marmer itu. "Sektor 12-B. Lahan di bantaran sungai itu. Aku tahu Grup Mahakarya yang membelinya untuk dijadikan gudang logistik."

Baskoro melirik surat itu sekilas. "Ah, investasi yang cerdas. Lokasinya strategis untuk distribusi ke arah timur. Kenapa? Kamu ingin melamar jadi pengawas gudang?"

"Aku ingin kamu membatalkan rencana gudang itu," kata Aris tegas. "Lahan itu adalah satu-satunya paru-paru yang tersisa di lingkungan kumuh tersebut. Aku punya rancangan untuk membangun pusat rehabilitasi dan rumah singgah di sana. Sesuatu yang benar-benar dibutuhkan orang-orang di sana, bukan sekadar kotak beton untuk menyimpan barang impor."

Baskoro menyandarkan tubuhnya, menatap Aris dengan tatapan merendahkan. "Kamu masih bermimpi di siang bolong, Ris. Dunia sudah bergerak jauh. Kita butuh efisiensi, bukan kegiatan amal. Proyek itu bernilai miliaran rupiah. Kamu pikir aku akan membuangnya hanya karena coretan di buku sketsamu?"

"Ini bukan soal amal, Bas. Ini soal tanggung jawab," Aris membuka buku sketsanya, memperlihatkan denah Rumah Senja yang detail. "Lihat ini. Jika kamu membangun ini, Grup Mahakarya akan mendapatkan citra yang luar biasa. Kalian bisa menyebutnya sebagai kontribusi sosial. Aku tidak butuh nama, aku tidak butuh uang. Aku hanya ingin gedung ini berdiri."

Baskoro berdiri, berjalan menuju jendela kaca besar. Ia menunjuk ke bawah, ke arah kemacetan dan kepulan polusi. "Lihat ke bawah sana, Aris. Semua orang di sana sedang berjuang untuk hidup. Mereka tidak peduli pada arsitektur yang puitis. Mereka butuh pekerjaan, mereka butuh barang murah. Gudangku memberikan itu. Mimpimu? Mimpimu hanya akan menjadi tempat bagi para pemalas untuk bersembunyi dari kenyataan."

Aris ikut berdiri. Rasa panas mulai menjalar di lehernya. "Kamu menyebut anak-anak yang tidak punya tempat tinggal sebagai pemalas? Kamu menyebut lansia yang dibuang keluarganya sebagai kenyataan yang harus dihindari? Kamu sudah terlalu lama berada di atas sini, Bas, sampai kamu lupa bagaimana rasanya menginjak tanah."

"Waktumu habis," ucap Baskoro tanpa menoleh. "Satpam akan mengantarmu keluar. Dan saran dariku... simpan buku sketsa itu baik-baik. Mungkin kamu bisa membakarnya untuk menghangatkan diri saat musim hujan nanti."

Aris melangkah keluar dengan kepala tegak, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Di lorong menuju lift, ia berpapasan dengan seorang wanita muda yang tampak terburu-buru membawa tumpukan berkas. Mereka bertabrakan kecil, membuat beberapa kertas terjatuh.

"Maaf, Pak! Saya tidak melihat," ucap wanita itu sambil berjongkok memungut kertasnya.

Aris membantunya. Saat ia menyerahkan selembar kertas, matanya menangkap logo proyek di kertas tersebut: Masterplan Sektor 12-B.

Wanita itu melihat buku sketsa di tangan Aris yang terbuka pada halaman Rumah Senja. Ia tertegun sejenak, matanya membelalak melihat detail konstruksi yang unik dan artistik pada gambar Aris.

"Ini... ini rancangan Bapak?" tanya wanita itu dengan nada kagum yang tertahan.

Aris hanya mengangguk singkat, masih dikuasai kemarahan pada Baskoro.

"Saya Maya, asisten junior di bagian perencanaan," bisik wanita itu sambil melirik ke arah pintu kantor Baskoro yang tertutup. "Jangan menyerah sekarang, Pak. Rencana gudang itu sebenarnya sedang diprotes oleh warga lokal, tapi perusahaan menutup-nutupinya."

Aris menatap Maya, menemukan secercah cahaya di tengah kegelapan.

"Ambil ini," Maya dengan cepat menyelipkan sebuah kartu nama kecil ke tangan Aris. "Ada pertemuan warga malam besok di dekat lahan itu. Jika Bapak datang membawa rancangan ini... mungkin, hanya mungkin, ada jalan lain."

Lift berdenting terbuka. Aris masuk ke dalam, menggenggam kartu nama itu seerat ia menggenggam harapannya. Pintu lift tertutup, memisahkan Aris dari dunia kaca yang dingin.

Di luar, senja kembali datang. Langit merah tua itu seolah memberikan restu pada langkah Aris yang kini tidak lagi ragu. Pertarungan ini belum berakhir. Jika Baskoro adalah tembok beton yang keras, maka Aris adalah air yang perlahan-lahan akan mencari celah untuk meruntuhkannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!