NovelToon NovelToon
PICCOLA PERDUTA

PICCOLA PERDUTA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dark Romance
Popularitas:32.8k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️

Series #3

Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.

Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.

Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.

Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 : Demam

...•••Selamat Membaca•••...

Langit belum benar-benar terang, dan awan pekat yang menggantung rendah masih menurunkan hujan gerimis tipis. Laporan terbaru dari pilot membawa kabar buruk, angin di ketinggian terlalu liar, tekanan udara berubah cepat, dan petir terdeteksi di radius lima puluh kilometer.

Rayden berdiri di depan monitor cuaca digital di ruang kendali jet. Tampilan radar menunjukkan merah di hampir seluruh jalur udara yang harus mereka tempuh. Rayden mendesah berat, menggenggam gagang kursi, lalu mengarahkan pandangannya ke kabin utama di belakang.

Maula menggeliat dalam tidurnya. Wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Tetesan keringat muncul di pelipis dan lehernya meski suhu ruangan diatur tetap hangat. Tubuhnya mulai menggigil.

Rayden langsung bergegas, duduk di sisi ranjang. “Piccola… Sayang?” bisiknya pelan.

Maula membuka mata perlahan. Pandangannya buram dan nafasnya mulai berat.

“Panas… Aku dingin… tapi kepalaku panas banget,” gumamnya.

Rayden meraih termometer digital, menempelkannya pada Maula. Dalam hitungan detik, angka menyala: 39.5°C.

“Piccola, dengar aku. Kamu demam tinggi. Aku panggil dokter, ya?” Rayden menekan tombol interkom jet, memanggil tim medis darurat yang ditempatkan di helikopter lain.

Maula memegangi perutnya yang mulai terasa perih, keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

“Rayden, badanku sakit semua… dadaku sesak…”

Rayden menekan tangan Maula erat. “Kamu akan baik-baik saja, sayang. Bertahan, ya?”

Ia cepat menyiapkan kompres dingin, menyelimutkan tubuh Maula yang menggigil, lalu menutup tirai jendela agar cahaya tidak mengganggu matanya. Tak lama, pintu kabin terbuka. Dokter Lyria masuk bersama perawat pria membawa kotak medis.

“Saturasi?” tanya Rayden tegas.

Lyria segera memeriksa. “92. Masih dalam ambang aman, tapi kalau turun di bawah 90, kita harus beri oksigen.”

“Berikan sekarang saja,” perintah Rayden.

Lyria tak membantah. Ia segera menempelkan masker oksigen ke wajah Maula. Sementara itu, suhu tubuh Maula terus meningkat. Sel-sel tubuhnya tampak memberontak, terlalu lama menahan rasa sakit dan kelelahan ekstrem selama beberapa hari ini.

“Apa mungkin infeksi dari luka-lukanya?” tanya Rayden dengan nada cemas.

Lyria mengangguk. “Kemungkinan besar. Kita butuh antibiotik injeksi sekarang juga.”

Rayden mendekap tubuh Maula, mencoba memberi kehangatan.

“Ray…” bisik Maula lemah. “Kepala aku… sakit banget… Dunia rasanya muter…”

“Kamu akan baik-baik saja, Piccola. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana.” Suara Rayden bergetar, tapi tetap tenang. Ia tahu, dalam kondisi seperti ini, Maula tidak boleh melihatnya panik.

Lyria menyuntikkan antibiotik dan antipiretik melalui infus yang sudah terpasang. Ia juga menyiapkan larutan elektrolit untuk mencegah dehidrasi.

Jet berguncang ringan akibat hembusan angin. Di luar, ranting pohon menari liar tertiup badai yang masih berkecamuk. Pilot kembali melapor lewat interkom, “Tuan Rayden, tidak mungkin terbang hari ini. Bahkan helikopter medis tidak akan mampu bertahan di udara.”

Rayden menggertakkan gigi, menatap langit-langit kabin dengan marah tertahan. Dia tidak bisa bersikap tenang saat melihat istrinya sakit begitu, rasa trauma dengan kondisi Maula dulu membuat dia menjadi was-was.

“Kami tidak bisa tunggu lama di sini. Kalau suhu tubuhnya terus naik, dia bisa kejang,” kata Lyria cepat.

Rayden bangkit. Ia membuka tas darurat medis milik militer yang disimpannya sendiri, mengeluarkan larutan pendingin dan kompres salju sintetis, lalu memberikannya ke dokter.

“Lakukan apapun yang bisa menstabilkan dia. Aku akan pastikan jet ini siap terbang detik cuaca mengizinkan.”

Lyria mengangguk dan mulai bekerja. Suhu tubuh Maula perlahan turun ke 38.7 setelah tiga puluh menit penanganan intensif, tapi tubuhnya masih sangat lemah.

Maula membuka mata kembali. Pandangannya masih buram, dia melihat Rayden duduk di sebelahnya, menggenggam tangan tanpa lepas sedetik pun.

“Kamu... belum tidur, ya?” tanya Maula pelan, karena dia tahu kalau suaminya semalam memang tidak terlalu lelap.

Rayden menggeleng pelan. “Tidurku nanti saja. Sekarang aku jagain kamu dulu.”

Maula tersenyum tipis meski bibirnya gemetar. “Kalau bukan kamu... aku nggak tahu bisa tahan sejauh ini atau tidak…”

Rayden mengusap air mata dari sudut mata Maula. “Kamu kuat, Piccola. Sangat kuat.”

Tiba-tiba tubuh Maula kembali menggigil. Lyria segera memeriksa ulang suhu, naik kembali ke 39.1. Wajah Rayden langsung tegang.

“Dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Ini sudah bukan infeksi ringan,” kata Lyria.

Rayden berdiri, menatap jendela jet yang kini kembali diguyur hujan deras. “Kalau langit ini tidak reda dalam satu jam, aku akan bawa dia sendiri lewat jalur darat, apa pun risikonya.”

Lyria memandang Rayden dengan tatapan prihatin. “Perjalanan darat butuh waktu sembilan jam ke pangkalan kota terdekat dari sini.”

Rayden menatap Maula yang kini setengah sadar. “Istriku tidak akan bisa tunggu selama itu.”

Hujan di luar menampar kaca jet tanpa ampun, seakan menantang keputusan yang harus segera dibuat.

Di dalam jet mewah yang kini berubah menjadi ruang krisis darurat, hanya satu hal yang menggantung di udara: waktu. Dan bagi Rayden, setiap menit keterlambatan bisa menjadi penyesalan seumur hidup.

“Hei, kamu tetap sadar sayang, kamu pasti sembuh.” Maula mengangguk pelan.

...***...

Subuh sudah lewat. Hujan reda, tapi kabut masih menyelimuti lapangan darurat tempat jet Rayden berhenti semalaman. Angin belum cukup tenang untuk penerbangan, tapi suhu di dalam kabin jet terasa lebih bersahabat berkat sistem pemanas darurat dan upaya tiada henti Rayden menjaga kondisi sang istri.

Maula tertidur lagi setelah suhu tubuhnya turun ke angka lebih stabil. Selimut wol lembut menyelimuti tubuhnya, dan kompres dingin di dahi perlahan diganti Rayden setiap lima belas menit. Wajah Maula terlihat lebih tenang meski warnanya belum sepenuhnya kembali.

Rayden duduk di tepi ranjang, matanya menatap layar tablet berisi hasil pemantauan medis internal. Ia sudah menelepon langsung ke dokter kandungan pribadi mereka yang berada di Madrid. Koneksi video dilakukan dengan sangat hati-hati, hanya lewat jaringan satelit tertutup.

Suara lembut dokter terdengar, “Janinnya baik-baik saja, Tuan Rayden. Detak jantung janin stabil, tidak menunjukkan tanda-tanda stres. Demam tinggi memang bisa berisiko, tapi penanganan Anda cepat. Sangat baik.”

Rayden menutup mata, mengembuskan napas panjang—seolah beban besar terangkat dari dadanya. “Terima kasih, Dokter. Saya akan jaga dia sampai kami bisa pulang.”

Begitu panggilan ditutup, Rayden menyandarkan kepala di dahi Maula yang masih sedikit hangat. Ia mengecupnya pelan, nyaris seperti permintaan maaf.

Satu jam berlalu. Maula mulai membuka mata. Napasnya sudah lebih teratur, dan suhu tubuhnya turun drastis sejak subuh tadi. Pandangannya pertama kali menangkap wajah Rayden yang duduk di sampingnya, tengah menyendok bubur hangat dari mangkuk kecil.

“Sayang…?” gumam Maula lemah.

Rayden segera menoleh. “Hei… Kamu bangun.” Senyumnya mengembang, penuh kelegaan.

Maula mencoba duduk, tapi tubuhnya masih lemas. Rayden sigap menopangnya dengan satu tangan. “Pelan-pelan. Kamu baru saja melewati malam yang berat.”

Maula menyentuh perutnya pelan. “Bayinya…?” tanyanya nyaris tak bersuara.

Rayden menempelkan telapak tangannya di atas tangan Maula, lalu mengangguk pelan. “Baik-baik saja. Dokter bilang semuanya stabil. Detak jantung janin normal.” Ucapannya tenang, namun matanya tampak berair.

Maula menutup matanya sejenak. “Syukurlah... Puji Tuhan.”

Rayden meraih sendok dan menyodorkan suapan pertama ke bibir Maula. “Mau makan sedikit dulu?”

Maula tersenyum lemah. “Kalau kamu yang suapin, aku pasti bisa makan.”

Suapan demi suapan diberikan Rayden dengan sabar. Ia menahan setiap jeda ketika Maula batuk kecil atau sekadar menyandarkan kepala ke bahunya. Mangkuk nyaris kosong saat Maula berkata, “Terima kasih ya, Rayden…”

Rayden menyeka sudut bibir Maula dengan tisu hangat. “Untuk kamu, aku akan lakukan apapun.”

Siang mulai menjelang. Langit di luar mulai menampakkan gradasi biru muda. Cuaca masih belum stabil untuk lepas landas, tapi suasana di dalam jet terasa jauh lebih damai.

Maula sudah cukup kuat untuk bersandar di pelukan Rayden. Ia duduk di sofa panjang kabin VIP, selimut masih membungkus kakinya. Kepala Maula bersandar di bahu Rayden, dan tangan mereka saling menggenggam di atas perutnya yang masih rata.

“Dua bulan, ya…” gumam Maula.

Rayden mengangguk. “Aku masih terbayang wajahmu waktu tahu kamu hamil. Di tengah semua kekacauan itu… kamu tetap terlihat paling cantik.”

Maula tertawa kecil. Rayden mengusap pipinya pelan.

Maula menatap wajah suaminya dalam. “Maaf ya, aku kayaknya bikin kamu stres terus.”

Rayden menggeleng. “Kamu nggak pernah bikin aku stres. Kamu bikin aku hidup. Tanpa kamu, aku hanya mesin yang bergerak tanpa arah.”

Maula menunduk, menahan air mata yang mulai mendesak.

“Aku nggak mau kehilangan kamu,” ucap Rayden lirih.

“Kamu tidak akan kehilangan kami,” jawab Maula. Ia mengangkat wajah Rayden dan mengecup bibirnya singkat, lembut, penuh syukur.

Rayden memeluknya erat, mengelus rambut istrinya yang sedikit kusut. “Tidurlah lagi. Aku jaga di sini.”

Maula memejamkan mata, masih bersandar di dada Rayden. Detak jantung pria itu kini menjadi nyanyian pengantar tidurnya yang sangat stabil, kuat, dan hangat. Di luar, langit masih belum bersahabat. Tapi di dalam jet itu, dua jiwa sedang saling menyembuhkan dengan cinta, dengan sabar, dan dengan keyakinan bahwa badai pasti akan berlalu.

...•••Bersambung•••...

1
Latoya
hebat
Frizzy Danuella
Wow amazing thor
Frizzy Danuella
Angkat aku jadi cucumu juga nena
Blade Haruna
Akhirnya hukuman mereka ditetapkan juga, ini nih yg gue suka. Satu masalah selesai baru datang masalah baru, bukan malah belibet yg bikin pala gue makin pusing
Zenia Kamari
Confess sekarang apa gue cepuin lo
Zenia Kamari
gue nonis, tpi gue suka banget sama karya religi kakak ini
Zayana Qyu Calista
sungkem gue ama lo kak
Zayana Qyu Calista
Gue kebagian cucu angkat juga gpp deh, asal neneknya kayak eliza ini
Rihana👒
Saya support kalau memang sofia sama advait
Rihana👒
Begini kalau dapat cinta yang setara, mereka saling jaga
Rihana👒
Thor, bikin novel religi versi kamu lagi dong, saya mau baca dan jangan lupa untuk ilmu pengetahuannya. Ditunggu ya thor (sangat berharap)
Pesillia Lilian
asik tuh klau advait sama Sofia, bakalan besty selamanya Maula
Pesillia Lilian
Author terniat
Miyoji Sweetes
Ngomong jgn dlam hati Advait, ngomong langsung elaahh
Miyoji Sweetes
Seniat itu ya thor🔥🔥🔥
Cherry Berry
Advait kalo gak gercep ya alamat bakalan patah hati
Pedri Alfonso
ini keren banget
Putri vanesa
Kk berapa lama smpe bisa bikin cerita ini sereal mungkin, entah ini memang real life or imagination aku pribadi bukan kyak ngebaca dosng tpi kyak udah nnton ceritanya langsung dalam byang2an fikiran aku, karena emang sedetail itu ceritanyaaa, ini mah kudu di jdiin film sih rame bnget soalnya
Sadohil: setuju banget
Zenia Kamari: Terbaik ini karya
total 5 replies
🐱Pushi Cat🐱
Keren, gak pernah gagal kakak ini masalah detail, baik kedokteran, agama maupun hukum. Pantesan penulis pada bilang kalau menulis bukan hanya tentang merangkai kata
Putri vanesa
SemangatAdvait kita dukung dirinu dan Sofia menuju jannah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!