Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Hening. Tak ada suara gemericik air mengalir lagi dari kamar mandi. Allea keluar dari dalam sana dengan langkah cepat. Tubuhnya masih dibalut handuk putih yang hanya mencapai pertengahan pahanya, buliran air dari sedikit rambutnya yang mencuat keluar dari handuk kecil yang dia pakai menetes ke bahu dan lehernya.
Matanya menangkap sosok pria yang duduk di sofa dengan santai, Deon menggigit apel sambil menatapnya penuh arti. Pria itu bahkan belum memakai bajunya, dia duduk disana hanya dengan handuk yang menutupi pahanya. Allea langsung mengerucutkan bibir.
“Dasar mesum! Apa yang kau lihat!?” tanyanya ketus.
Deon tidak menjawab, dia hanya menaikkan satu alis dan tersenyum miring. Matanya menelusuri lekuk wajah Allea sebelum turun ke kulit mulus yang masih terlihat lembap. Ia menelan ludah, namun tetap berusaha menjaga sikap santainya.
“Kenapa tidak sekalian saja keluar tanpa handuk?” balasnya ringan.
Dasar mesum! Allea mendelik, merasa geram. Ia melepas handuk kecil yang membungkus kepalanya dan langsung melemparkannya ke wajah pria itu. Namun Deon hanya tertawa, ia menangkap handuk tersebut dengan satu tangan sebelum melemparkannya ke samping.
“Serius, Lea. Kau ini terlalu mudah terprovokasi.”
“Dan kau terlalu mesum dengan pikiran kotor mu itu!” Allea mendekat, mengambil bantalan sofa dan tanpa ragu memukulkannya ke kepala dan bahu Deon beberapa kali.
“Oi! Hei! Itu sakit!” Deon mencoba untuk menghindar sambil setengah tertawa, tapi tawa di wajahnya justru membuat Allea semakin geram.
Tanpa pikir panjang, ia melompat ke atas tubuh pria itu, menindihnya di sofa, lalu kembali menghujaninya dengan pukulan bantal. Deon tertawa keras, tangannya mencoba menahan serangan Allea, tetapi wanita itu tidak peduli.
Dan, tawa mereka langsung terhenti saat suara berat menggema di dalam ruangan.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
Allea membeku di tempat, napasnya tercekat. Ia perlahan menoleh ke arah pintu masuk. Sosok Davendra berdiri di sana, ekspresinya begitu dingin, matanya menatap tajam ke arah mereka yang masih dalam posisi yang agak—intens. Mereka bahkan tak mendengar pintunya dibuka.
Ditambah lagi, tak lama. Di belakang Davendra, dua wanita berdiri dengan ekspresi tak kalah terkejut. Monica dan Gea.
Mata Monica membulat, sementara Gea menutup mulutnya dengan tangan. Allea langsung melompat turun dari tubuh Deon dan berdiri tegak, wajahnya memanas. Ia baru menyadari betapa salahnya posisi mereka di mata orang lain—dirinya yang hanya mengenakan handuk, menindih Deon yang bertelanjang dada.
Tak hanya Allea, Deon juga dengan segera duduk, dengan cepat menegakkan tubuhnya. Tatapannya langsung tertuju pada Monica. “Bibi, bukankah kau bilang akan kesini siang nanti?” tanyanya mencoba untuk meredakan ketegangan.
"Aku tidak boleh datang lebih awal?" Monica memicingkan matanya tak senang. Ia merasa kehadiran nya sudah menganggu sesuatu, dan mungkin hal yang baru saja dia lihat beberapa saat lalu.
Suasana kembali menjadi hening. Davendra masih berdiri diam, tidak mengatakan apapun, tetapi sorot matanya begitu tajam, seakan hendak menembus ke dalam jiwa mereka berdua.
**
Beberapa menit kemudian, Allea sudah mengenakan pakaian lengkap dan duduk di sofa, tepat di sebelah Deon yang juga sudah memakai bajunya. Di depan mereka, Monica dan Gea duduk sambil menatap dengan penuh tuntutan jawaban.
Sementara itu, Davendra berdiri agak jauh, bersandar di jendela dengan tangan di saku celananya. Tatapannya masih tajam, namun sepertinya kali ini ada ketenangan yang lebih menyeramkan dari sebelumnya.
“Jadi,” Monica membuka suara, “bisakah seseorang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?”
Deon dan Allea saling pandang sejenak sebelum akhirnya Deon bicara lebih dulu. “Air di kamar mandi Allea rusak. Dia hanya menumpang mandi di apartemenku.”
Setelahnya, Allea buru-buru menambahkan, “Dan yang tadi di sofa, aku hanya ingin membalas Deon yang mengusili ku. Tidak ada maksud lain. Sungguh.”
Monica menatap mereka bergantian, tampak tidak sepenuhnya percaya. Namun sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Gea tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Tunggu.” Mata Gea menyipit, menatap keduanya penuh kecurigaan. “Apa—kalian berdua pacaran?” tanyanya tiba-tiba.
Keduanya menjawab cepat, serentak, namun dengan jawaban yang berbeda. Deon menjawab, “Iya.” sedangkan Allea berkata, “tidak.”
Ha?
Monica dan Gea menatap mereka dengan ekspresi tertarik berbeda dengan reaksi Davendra. Pria itu langsung menoleh begitu mendengar jawaban Deon dan Allea, ia menatap Deon dengan sorot mata yang semakin tajam.
Tapi tatapan itu tak membuat Deon tertunduk atau gentar, dia malah membalasnya dengan ekspresi menantang. Ada ketegangan di antara mereka, seakan dua pria itu sedang bertarung dalam diam lewat udara kosong yang memisahkan keduanya.
Kedua wanita yang penasaran tadi, kini justru menyunggingkan senyum kecil. “Oke,” Monica akhirnya berkata, “sepertinya, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan?”
Allea menghela napas lega mendengarnya. Dia tak berani menatap ke arah Davendra, dia terlalu takut untuk bertatapan dengan pria itu sekarang.
Gea mengangguk setuju dengan ucapan Monica. “Apa kalian tidak ke kampus?” lanjutnya.
“Oh, iya…” Allea buru-buru melirik jam tangannya. Dia benar-benar tidak punya cukup waktu lagi untuk mengejar kelasnya sekarang. Tapi yang lebih buruk—
Matanya tak sengaja melihat ke arah Davendra, pria itu sedang menatapnya. Ia menelan ludah dalam dan dengan cepat mengalihkan pandangannya. Ia bergegas pergi, tetapi sebelum Allea benar-benar keluar, suara Davendra terdengar.
“Lea.”
Langkahnya terhenti. Allea menoleh perlahan, menatap pria itu dengan hati-hati.
“Om akan mengantarmu ke kampus," lanjut pria itu mulai berjalan mendekat padanya. Gadis itu tidak menolak, tapi dia juga tidak mengiyakan.
"Aku ikut, aku baru ingat juga ada kelas pagi ini," ucap Deon cepat saat melewati Allea, tanpa melirik Davendra yang tampak sedang dalam mood yang tidak baik.
"Huh? Bukankah dia tak ada kelas hari ini?" batin Allea heran.
"Baiklah, hati-hati di jalan, ya," kata Monica, bangkit dari duduknya. "Aku dan Gea akan tetap disini. Kalian bisa masuk kelas dengan tenang, dan juga aku akan memasak makan siang. Jadi pulang lah tepat waktu."
Davendra masih memperhatikan mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu sempat menatap Allea lama, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya, dia memilih untuk pergi tanpa sepatah kata pun.
Mobil Davendra melaju meninggalkan apartemen, bersama Allea dan Deon didalamnya. Di sepanjang perjalanan, Davendra tidak banyak bicara.
Hanya sekali dia bertanya pada Deon, "Jadi kau benar-benar berpacaran dengan Lea?"
Pertanyaan yang di ajukan Davendra membuat Deon hanya tersenyum santai. "Kenapa tanya padaku? Tanyakan saja langsung ke Allea."
Davendra mengepal setirnya lebih erat. Napasnya menjadi sedikit lebih berat, tapi dia menahannya.
...----------------...