Kisah cinta mama dan papa cukup membuatku percaya bahwa luka terkadang membawa hal manis, bagaimana mama pergi agar papa baik-baik saja, tanpa mama tahu, papa jauh lebih terluka sepeninggalnya.
Begitu juga dengan Tante Tania dan Appa Joon, tidak ada perpisahan yang baik-baik saja, tidak ada perpisahan yang benar-benar ikhlas. Bedanya mereka berakhir bersama, tidak seperti mama dan papaku yang harus berpisah oleh maut.
kukira kisah mereka sudah cukup untuk aku jadikan pelajaran, tapi tetap saja, aku penerus mereka dan semua ketololannya.
Aku, Davina David.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Aku Juga Suka Dia?
Gempa susulan terjadi lagi di Selatan Pandora Town yang luas itu. Bahkan tempat indah itu agak berubah, setengah gunungnya sudah roboh, korban jiwa terus bertambah. Davina di larang Ricky ke daerah bencana, ia diminta untuk menunggu di pos nya dan bersiaga di sana.
Tidak lama kemudian terdengar suara riuh dari luar, bukan hal yang luar biasa suara gaduh sering terdengar, apalagi jika sudah terjadi gempa susulan, pasti pasien darurat sudah tiba dan harus segera diberi pertolongan. Tapi kali ini datangnya dari depan rumah sakit. Karena sedikit penasaran Davina pun muncul di kerumunan.
Ia lebih tenang karena sudah melihat dokter lain sudah masuk lebih dulu ke kerumunan itu. Ternyata ada kecelakaan kerja, seorang teknisi jatuh dari tangga ketika sedang bekerja. Ia meraung kesakitan, lalu kemudian raungannya tidak terdengar lagi, sepertinya sudah pingsan.
Deg
Deg
Deg
"K-kenapa.. ? Kenapa lagi ini?", bisik Davina dalam hati.
"Orang yang mati-matian aku hindari bertahun-tahun kenapa malah ada disini? Di tempat se jauh ini? Dia ada di sini? NGAPAIN ANJIR...?!!".
Sungguh batin Davina benar-benar tidak siap dengan situasi ini. Sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya, ia akan bertemu lagi dengan manusia yang paling ia hindari ini.
Davina mundur beberapa langkah, berusaha menetralkan detak jantungnya yang tidak normal. Ia sedang berusaha memahami apa yang terjadi dan apa yang ia lihat barusan apakah nyata?
Jelas nyata. Kini orang itu sudah berada di atas brankar dorong, wajahnya pucat dan didorong melintas tepat melewati Davina.
Dia, Hansel Anderson.
Pria tampan yang ditinggalkan Davina.
.
.
Pov Davina :
Hansel? Kenapa manusia itu bisa tiba disini? Pacar pertama ku di usia belia, tidak jauh juga dari sekarang, masih tiga tahun lalu. Pria tampan pertama yang ku sayangi, selain papa dan Appa ku. Tidak perlu ku jelaskan kenapa aku membencinya, yang jelas seluruh keluarga Anderson aku benci. Oh iya, lengannya patah dan ada dislokasi kaki juga, kenapa lehernya tidak patah sekalian. Ah nanggung banget. Oopps... Maaf, aku dokter, lupa.
Sejak hari itu aku berusaha agar tidak berpapasan dengan Hansel, sebisa mungkin ah tidak, harus. Aku harus selalu menjauhinya, aku tidak ingin ia sadar aku ada disini. Masalahnya sekarang adalah, pos nya Ricky bersebelahan dengan post teknisi, apa aku belum bilang kalau Hansel adalah relawan teknisi?
Aohhh... Tiba-tiba saja aku ingin kembali ke postnya Kai. Setidaknya postnya jauh dari pos teknisi. Kadang diam-diam aku juga ingat Kai, meski ngomongnya tidak disaring tapi dia cukup perhatian dari balik layar, kadang aku ketiduran di meja ku di pos kami, aku tipe yang sensitif dengan sedikit saja gerakan atau suara ketika tidur, aku sadar di selimuti perlahan oleh Kai, tapi aku memilih diam.
Dia tahu aku coffee addict, dia bilang kopi itu tidak baik, keesokan harinya ia ganti minumanku dengan matcha, begitu seterusnya hingga aku benar-benar suka minum matcha, pernah juga ketika aku mengambilkan penaku yang terjatuh dibawah meja, dengan sigap ia menempelkan tangannya di tepi meja agar ketika tertabrak kepalaku aku tidak kesakitan, kadang aku bingung hangat dan dinginnya pria itu.
Kadang aku juga merindukannya, dibalik sikapnya yang dingin dan prengat-prengut 24/7 ada sifat penyayang yang diam-diam aku nikmati. Apalagi sejak aku pindah ke pos nya dokter Ricky, ia sering membuntutiku, diam-diam juga aku tahu ia sering memasukkan coklat di lokerku. Sampai saat ini, aku masih diam, tidak menunjukkan reaksi apapun. Masih beku, sama seperti terakhir kami bersitegang ketika aku memasuki pos nya terakhir kali untuk mengambil barang-barangku.
Apa Kai suka aku? Atau hanya merasa bersalah? Ahh... Vina, lu mikir apaan?
Oh sh! T.....
Sumpah Demi apapun aku ingin membakar pos nya Ricky sekarang. Aku melihat Hansel, si brengs*yek itu dimasukkan ke dalam sana. Ia didorong masuk ke dalam sana. Seketika walkie talkie ku mendesis.
📞 "Mama Vina... Mama Vina, kamu dimana? Papa Koala need your help."
Mama Vina adalah nick name ku di sini, dan Papa Koala adalah nick name nya Ricky. Aohhh... Aku ingin menghilang.
📞 "I'm on my way, Papa Koala." Ucapku malas membalas panggilan itu.
Tidak terlalu rumit merawat luka pasien itu, yang susah itu melihat wajahnya. Arghh aku ingin teriak dan meninju wajahnya sebanyak yang aku bisa. Sekuat tenaga aku mencoba menghindari melihat wajah pucat Hansel yang tidak sadarkan diri itu, tapi entah kenapa mataku yang kurang ajar ini terus saja mengarah kesana secara mandiri.
Astaga... Dia makin cakep, aohhh.. Fokus Vina!
Segera setelah pekerjaan kami selesai dan merapikan yang berantakan aku berencana langsung keluar dari pos.
"Ett.. Mau kemana calon mamahnya anak-anakku?", goda Ricky sambil menarik lengan jas dokter ku.
"Dih... Pede amat. Aku mau ke kantin, laper dok. Kamu nyusul ya."
"Okay, cantik."
Ricky memang kelihatan flirty tapi itu hanya berlaku untukku, aku sering digodanya, dia membuat nick namenya menjadi Papa Koala, karena aku lebih dulu membuat diriku Mama, Mana Vina, hanya karena itu saja, ia menjadi Papa Koala.
Ahhh Ricky, andai aja hatiku bergetar nya buat kamu, kayaknya hidup ini kayak taman bunga beneran, tapi kadang aku rindu si anak setan itu, bahkan muka prengat-prengutnya sekarang kalau diingat cukup menggemaskan.
Apa aku juga suka dia?
.
.
.
TBC... 🍁