Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - ANAK YANG KUAT
Langit di luar hujan deras. Guntur menyambar. Di dalam markas, suara langkah kaki dan suara ketikan keyboard jadi latar.
Emma menatap layar besar yang penuh dengan data denah pabrik tua, pola patroli, daftar senjata, dan simulasi digital pertarungan.
Riko berdiri di depan papan strategi, rambutnya dikuncir ke belakang. “Robert nggak cuma punya robot. Dia punya pasukan bayangan, drone, dan sistem keamanan otomatis.”
Revan duduk di meja logam, napasnya dalam-dalam, tangannya gemetar sedikit bukan karena takut, tapi karena sadar... ini bukan sekadar ‘misi’. Ini perang.
“Waktu kita tinggal tiga hari,” ucap Emma. “Kalau kita nunggu lebih lama, pusat kendali Robert bakal pindah dan semua yang udah kita susun bakal sia-sia.”
Revan menatap mereka. “Gue siap. Apapun yang terjadi.”
Riko jalan ke lemari baja di pojok ruangan, membuka kunci, lalu mengeluarkan kotak panjang.
“Ini... senjata cadangan peninggalan Darius,” katanya pelan. “Dia nitipin ini buat ‘kondisi darurat’. Dan menurut gue... ini momen itu.”
Emma membuka kotaknya—di dalamnya ada sarung tangan logam kecil dengan semacam chip biru menyala di tengah.
“Ini bukan buat nyerang,” ucap Emma. “Ini buat nahan serangan sistem... khususnya dari Robert.”
Revan berdiri, mengambilnya, dan memakainya perlahan. Begitu terpasang, ada sedikit aliran listrik yang menyambar ke jari-jarinya, tapi anehnya—rasa itu justru bikin dia tenang.
“Kayak... gue nyambung ke sesuatu yang lebih besar,” gumamnya.
Emma mengangguk. “Karena alat itu... nyambung ke sistem utama Robert. Z-07 bukan cuma kode, Rev. Itu posisi... dan fungsi.”
Riko menatap Revan lekat-lekat. “Lo bukan cuma target. Lo kunci. Lo pintu masuk... ke dunia yang dia kontrol.”
Revan terdiam.
“Jadi kalau kita mau hancurin pusat kendali itu... lo yang harus masuk paling dalam,” Emma menambahkan. “Dan itu artinya... lo bisa nggak balik.”
Suara hujan makin deras. Di ruangan yang remang, hanya lampu dari layar monitor dan nyala alat-alat taktis yang jadi sumber cahaya.
Revan berdiri di depan cermin logam yang retak. Seragam hitam tempurnya belum dia kenakan sepenuhnya. Di balik cermin, dia melihat dirinya—mata yang lebih gelap, raut yang lebih tajam, bukan lagi anak SMA biasa.
Langkah pelan terdengar. Riko masuk, memegang dua helm taktis. Ia meletakkan satu di meja.
“Masih sempat ngaca?” tanyanya, setengah bercanda.
Revan nyengir tipis. “Cuma pengen ngelihat... sejauh apa gue berubah.”
Riko bersandar di meja. “Gue inget waktu lo cuma bocah kurus yang hampir pingsan pas disuruh push-up sama Zaine.”
Revan menunduk, senyum masih mengambang. “Gue bahkan nggak tahu kalau hidup gue bakal sampai ke titik ini.”
“Dan sekarang lo bakal jadi pusat serangan buat ngelumpuhin satu sistem global.” Riko menatapnya serius. “Gue bangga sama lo, Rev.”
“Gue juga bangga punya lo sama Kak Emma,” kata Revan. “Kalau nggak ada kalian... gue mungkin udah mati dari dulu.”
Suara pintu terbuka lagi. Emma masuk, kali ini rambutnya digelung ketat, mata tajam dan dingin.
“Perimeter bersih. Drone kita udah siap. Semua tim bayangan udah dapat kode waktu serangan. Tinggal satu hal...”
Dia mengeluarkan satu chip kecil, lalu menyerahkannya ke Revan.
“Ini buat lo. Chip ini bisa nge-hack sinyal utama Robert selama 180 detik. Cuma tiga menit... tapi cukup buat lo matiin sistemnya dari dalam.”
Revan menerima chip itu dan menyimpannya di saku dada.
“Kalau gue gagal?” tanyanya pelan.
Emma menatapnya. “Kalau lo gagal... dunia ini bakal mati perlahan. Dan nggak akan ada yang tahu lo pernah berjuang.”
Sunyi.
Riko mengambil helmnya dan mengenakannya. “Makanya... jangan gagal.”
Revan mengangguk. Dia mengenakan helmnya juga.
Di layar besar, countdown mulai berjalan.
02 Hari 01 Jam 00 34 Menit 06 Detik.
Emma berdiri di depan peta dan menatap dua orang itu dua anak muda yang udah kehilangan masa kecil mereka demi perang ini.
“Siapkan semua,” ucapnya. “Kita mulai bergerak malam lusa.”
Langit masih hujan. Tapi di dalam dadanya... badai yang lebih besar udah siap meledak.
...***...
Langit biru cerah. Rumput di lapangan kecil dekat rumah Revan bergoyang pelan tertiup angin. Seorang bocah kecil Revan yang masih berumur tujuh tahu berlari-lari. Bajunya lusuh, lututnya lecet, tapi senyumnya lebar.
“Cepetan, Rev! Kamu kalah!” teriak seorang anak lain di depan, yang langsung loncat ke atas tumpukan ban bekas.
Revan tertawa, ngos-ngosan, lalu lompat juga. Tapi dia jatuh, kena sisi ban, dan mengaduh kecil.
Anak-anak lain tertawa, seperti tawa mengejek, namun Revan tak peduli walaupun sakit.
Di sudut lapangan, seorang wanita muda ibunya Revan duduk di bangku kecil, menatap anaknya bermain sambil menulis sesuatu di buku catatan. Revan sempat menoleh, lalu lari kecil ke arahnya.
“Ma! Mama liat gak tadi aku jatuh?” katanya bangga, meski ada darah di dengkulnya.
Ibunya tersenyum lembut, lalu mencium dahinya. “Liat. Tapi kamu bangkit lagi. Itu yang penting.”
Revan cemberut. “Tapi sakit.”
Ibunya mengelus kepala Revan. “Berani jatuh, berarti berani tumbuh.”
Revan menatap ibunya lama. “Mama… aku mau jadi Superhero. Kayak di film Marvel.”
Ibunya tertawa kecil. “Kalau kamu mau jadi Superhero, kamu harus siap sendirian... dan nggak selalu dipuji.”
Revan tampak bingung.
“Tapi...” lanjut ibunya, “...pahlawan sejati itu bukan yang paling kuat. Tapi yang tetap berdiri, bahkan saat dia takut.” Ibunya tersenyum kecil ke Revan, mata Revan berbinar-binar karena ibunya yang selalu semangatin Revan yang selalu sedih karena di rundung oleh teman-temannya karena selalu aneh
"Iya ma!" jawab Revan sambil tersenyum dan tertawa ke arah Ibunya dan tatapan Revan sangat tulus dan Ibunya berharap kalau Revan menjadi anak yang kuat.
Langit sore mulai memerah, sinar matahari menembus sela-sela ranting pohon jambu di pekarangan kecil rumah Revan. Bocah tujuh tahun itu duduk di tanah, matanya sembab. Di sampingnya, ada robot mainan yang rusak kakinya copot, kepalanya retak.
Ibunya duduk di sampingnya, sambil mengelus lembut punggung Revan yang masih terisak.
“Dia… rusak, Ma,” gumam Revan pelan. “Padahal aku sayang banget…”
Ibunya menatap robot itu sebentar, lalu menoleh ke Revan. “Kadang yang kita sayang… memang nggak selamanya utuh. Tapi sayang itu nggak hilang, Rev.”
Revan mengusap air matanya dengan punggung tangan. “Tapi kenapa semua harus rusak? Kenapa semua nggak bisa kayak film, bahagia terus?”
Ibunya menarik napas dalam, lalu berkata pelan. “Karena film itu cerita. Tapi kamu, Rev... kamu nyata. Dan kenyataan itu sakit, tapi juga indah. Karena dari sakit, kamu bisa tumbuh.”
Revan menatap ibunya, lalu menunduk. Perlahan, dia ambil bagian kaki robot itu dan mencoba menyambungkannya lagi meski susah.
“Kalau aku benerin ini… berarti aku kuat, ya?” tanyanya polos.
Ibunya tersenyum. “Bukan karena kamu bisa benerin. Tapi karena kamu mau coba, walaupun kamu tahu itu susah. Itu baru kuat.”
Mata kecil Revan berbinar lagi. Dia mengangguk pelan, lalu kembali sibuk dengan robotnya, mencoba memperbaiki bagian demi bagian.
Di kejauhan, suara anak-anak lain terdengar, tapi Revan tetap duduk di sana, tenang, di bawah senja, ditemani ibunya dan serpihan harapan kecil yang dia bentuk sendiri.
Dan dari situlah… benih Revan yang hari ini tumbuh: bukan pahlawan yang tak terkalahkan, tapi anak kecil yang memilih untuk tetap memperbaiki, meski dunia di sekitarnya terus hancur.
...***...
Lorong sekolah SD terasa panjang dan sepi. Bel istirahat baru saja berbunyi, tapi suara tawa dari ujung lorong bukan suara tawa yang menyenangkan. Itu tawa yang menusuk.
Revan berjalan pelan, memeluk buku berjudul "The Lost Soul". Rambutnya sedikit berantakan, kacamatanya retak sebelah, dan langkahnya cepat ingin segera ke perpustakaan, tempat satu-satunya yang terasa aman.
Namun sebelum sampai…
“WOI! Culun!”
Tiba-tiba bahunya ditarik keras. Buku di tangannya jatuh ke lantai.
Dua anak laki-laki dan satu perempuan berdiri di depannya. Salah satu dari mereka menginjak buku Revan sambil tertawa.
“Ngapain sih lo bawa buku ginian? Mau bikin sekolah makin aneh, ya?”
“Buku gini dibaca sendirian. Gila!”
Revan diam. Menunduk. Matanya menatap buku itu—kertas-kertasnya kotor kena sepatu.
“Aneh banget. Lo pernah punya temen, gak sih?”
Anak perempuan itu menjambak sedikit rambut Revan, lalu mendorongnya ke loker. DUKK! Suara benturan kepala Revan dengan besi terdengar pelan tapi sakit.
Tapi dia tetap diam.
“Udah ah, malesin. Nggak seru diganggu juga.”
Mereka meninggalkannya sambil tertawa. Revan merosot pelan, duduk di lantai dingin. Tangannya gemetar saat memungut bukunya.
Salah satu halaman robek.
Dia buka pelan, melihat gambar-gambar dan catatan kecil yang ditulisnya sendiri tentang dunia lain, tempat semua orang bisa jadi apa pun yang mereka mau. Tempat aneh itu biasa. Tempat seperti dia… diterima.
Matanya berkaca-kaca. Tapi dia menggigit bibir, menahan tangis.
Seseorang lewat di ujung lorong. Seorang penjaga sekolah tua, Pak Harto. Dia sempat melirik Revan, lalu berjalan pelan mendekat.
“Nak Revan…” suaranya berat tapi hangat, “…kenapa kamu nggak pernah lawan mereka?”
Revan menggeleng lemah. “Kalau saya lawan… nanti saya juga jadi kayak mereka…”
Pak Harto terdiam, lalu duduk di sebelahnya. “Kamu tahu? Dulu, saya juga pernah kayak kamu. Dibilang aneh karena suka ngumpulin barang bekas buat bikin mainan sendiri. Tapi sekarang? Liat, saya yang ngurus semua di sekolah ini.”
Revan meliriknya.
Pak Harto tersenyum. “Kadang... orang yang aneh itu justru yang ngubah dunia.”
Pelan-pelan, Revan mengusap kertas bukunya yang kotor, lalu tersenyum kecil.
Di lorong sekolah yang sunyi dan dingin itu… satu keyakinan tumbuh dalam diam:
"Kalau dunia ini terlalu sempit untuk orang seperti aku… maka suatu saat, aku akan ciptakan dunia yang lebih luas."
Namun saat aku dipertemukan oleh Roh Zaine itu... Hidup aku terasa berbeda, yang dulunya culun, menjadi lebih sedikit kuat dan mempunyai pengalaman untuk bertarung... Dunia memang terasa berat tetapi apa salahnya mencoba hal baru...? Yang dulunya waktu SMP aku masih culun dan gak punya teman, tapi sekarang? Waktu SMA aku udah punya banyak temen dan juga aku punya teman dewasa, terimakasih semuanya atas hal yang kalian kasih kepadaku, aku bisa intropeksi diri sendiri dan mulai hidup dari awal...
...***...
Revan melangkah keluar dari markas, perasaan campur aduk menghantui dirinya. Saat dia melangkah, wajah ibunya muncul dalam benaknya, mengingatkan dirinya pada kata-kata yang dulu diberikan dengan penuh kasih. "Pahlawan sejati itu bukan yang paling kuat. Tapi yang tetap berdiri, bahkan saat dia takut."
Meskipun saat ini, dia merasa lebih kuat, lebih matang, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun, hatinya tak bisa menepis rasa cemas yang merayap. Dia tahu, perjuangan ini tak akan mudah. Tapi lebih dari itu, ia sadar... ia telah tumbuh.
Dunia memang penuh dengan kekerasan dan ketidakpastian. Namun, dia juga telah belajar bahwa tak ada yang lebih penting daripada tetap bertahan—terus memperbaiki, meski dunia terus hancur.
Dua tahun lalu, dia adalah bocah yang terluka karena perundungan. Sekarang, dia berdiri di sini, menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ini bukan hanya tentang menghancurkan Robert, tetapi tentang memecahkan belenggu yang mengekang hidupnya, dan mungkin hidup orang-orang lainnya juga.
Saat dia menatap langit yang penuh dengan awan gelap, Revan merasa seakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya sebuah kekuatan yang datang dari dalam. Mungkin inilah yang disebut keberanian sejati. Keberanian untuk melangkah meski takut.
“Revan,” suara Emma menginterupsi lamunannya. “Kita udah siap. Waktunya sudah hampir habis.”
Revan mengangguk, menyatukan tekadnya. Tangan yang memegang chip kecil itu mengepal erat. Ini bukan lagi soal dirinya. Ini soal masa depan. Dan dia tak akan mundur.
Riko berdiri di sampingnya, memberi tepukan ringan di bahu Revan. “Lo nggak sendirian, Rev. Kita bareng-bareng.”
Revan tersenyum tipis, merasa lega. Mungkin dia memang bukan pahlawan yang tak terkalahkan, tapi dia bukan lagi bocah yang takut untuk jatuh.
Dengan langkah pasti, mereka bergerak maju menuju misi yang akan mengubah segalanya. Dan meskipun dunia ini penuh dengan bayang-bayang kegelapan, Revan tahu... dia sudah menemukan cahaya untuk terus bertahan.
"Gue bakal akhiri semua ini." Kata Revan sambil mengepal kuat tinjunya.
Markas bawah tanah mulai terasa mencekam. Jam dinding berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik menuju pertempuran besar yang semakin dekat. Revan berdiri di depan meja taktis, matanya terpaku pada peta besar yang memetakan seluruh area pabrik tua tempat pusat kendali Robert berada. Di sekelilingnya, Riko dan Emma sibuk mengatur alat-alat dan merapikan persiapan terakhir.
Di luar, hujan masih mengguyur, namun tidak ada yang mengeluh. Ketegangan sudah memuncak. Semua tahu apa yang akan terjadi jika mereka gagal. Dunia ini tidak akan pernah sama lagi. Tapi di saat-saat seperti ini, Revan merasakan sebuah ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Rev," suara Emma memecah keheningan, "Lo yakin?" Dia menatapnya dengan tatapan penuh perhatian.
Revan mengangguk pelan. "Yakin. Kita gak punya pilihan lagi. Ini momen kita."
Riko menepuk bahunya dengan keras. "Lo udah siap jadi kunci dunia ini, Rev. Nggak ada yang bisa gantiin lo. Kalo lo nggak berhasil, kita semua akan mati... Tapi kalau lo berhasil..." Dia mengerling. "Kita bisa hidup di dunia yang baru."
Revan menggenggam chip kecil yang tadi diberikan oleh Emma. Itu adalah kunci yang akan membuka jalan ke dalam sistem Robert, meskipun hanya untuk tiga menit. Itu adalah tiga menit yang akan menentukan hidup atau matinya mereka semua.
Tapi, di balik keberanian itu, Revan merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dia katakan.
"Lo tahu, Rev," kata Riko lagi, dengan nada serius, "Perjalanan lo nggak bakal mudah. Lo bakal ketemu sama banyak hal yang nggak pernah lo bayangin sebelumnya."
Revan memandangnya. "Gue tahu. Tapi gue nggak bisa mundur. Gue nggak akan mundur."
Emma mendekat, memberikan senyuman penuh keyakinan. "Kami ada di belakang lo, Rev. Kita udah jalan jauh banget bareng-bareng. Dan kita nggak bakal berhenti sekarang."
Revan mengangguk, merasakan semangat yang mengalir dari teman-temannya. Dia tahu ini bukan hanya soal dirinya, ini tentang semua orang yang bergantung pada kemenangan mereka. Semua yang mereka korbankan untuk sampai ke titik ini. Dan yang paling penting semua yang telah membentuk dirinya.
Langkah pertama sudah diambil. Semua persiapan sudah dilakukan. Dalam hati, Revan tahu bahwa ini bukan lagi tentang bertahan hidup. Ini tentang menuntaskan semua yang telah terjadi, menyelesaikan misi yang telah dimulai jauh sebelum perang ini pecah.
"Ready?" tanya Revan, suaranya tegas meski hatinya berdebar-debar.
Riko dan Emma saling berpandangan, kemudian mengangguk.
"Let’s do this," kata Emma, sambil memasang senyuman kecil yang menunjukkan keyakinannya.
Countdown di layar besar menampilkan angka yang terus berkurang. Revan mendalamkan napasnya. Mereka akan memasuki perang yang tidak hanya mengancam hidup mereka, tetapi juga masa depan dunia.
Dan saat itu, saat dia berdiri bersama kedua sahabatnya, dia tahu bahwa perjalanan mereka sudah mencapai titik tak balik. Perang ini akan menentukan segalanya.
Langit luar masih gelap, dan hujan terus mengalir. Tapi di dalam markas, ada sebuah cahaya kecil yang mulai menyala cahaya harapan yang akan membimbing mereka melalui kegelapan menuju dunia yang baru.