Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Jadi gimana El? Kedepannya, kamu, keluarga kamu, sama kerjaan kita?"
"Ruel juga gak tau Boo, ruel bingung jawabnya." Jawabnya tertunduk lesu, menyandarkan kepala ke tangan yang tengah ia lipat di meja.
Aku tidak dapat mengontrol helaan nafas yang tidak beraturan, berat memikirkan masa depan akal sehatku yang di tekan oleh pemikiran padat.
Aku khawatir, denah sosialku bersama Ruel dan Sandi, berubah drastis setelah kedatangan bunda sebagai owner baru di Oishika.
"Menurut kamu, Bunda kenapa bisa milih oishika?" Tanyaku kritis.
"Maksud Boo?" Ia menoleh pandangannya ke arahku tanpa mengangkat kepala.
"Kamu kan tau sendiri, kita tuh jarang profit, belum lagi kalo lagi week days, penjualan kita dengan margin yang tipis ini tuh selalu susah dapet keuntungan El." Pukas ku serius.
Ruel menegakkan tubuhnya yang lunglai, menatap ke sembarang arah, mencari jawaban yang mungkin setujuan dengan arah pikiran bunda.
"Hmmm.... Gimana ya boo, mamah tuh agak lain pikirannya. Apa lagi kalo ngomong segala hal tentang ruel." Ia melihat langit-langit pilu dengan telunjuk yang menyentuh dagu.
Aku menyimak dengan seksama, memberikan gestur yang seakan menunggu jawab lanjutan dari Ruel.
"Menurut ruel, mamah sengaja buat ambil alih Oishika supaya dia bisa mantau ruel." Jawabnya, memberikan gestur aha!~
"Cuma itu aja? El, aku kasih tau ya manis, beli resto itu bukan kayak beli ini." Aku menunjuk ke arah sisa makanan di depan ku. "Harganya mahal El, kalo cuma buat alesan yang kamu bilang itu ya nggak masuk akal dong."
Ku lihat ia tidak mendengarkan ku dan asyik menggulir sesuatu pada layar ponselnya. "Ini nih, coba boo liat." Ia mengacungkan ponselnya ke arah ku, menunjukkan bukti chat yang selanjutnya ku baca.
Ku lihat sedikit dari layar gawai yang ia suguhkan berupa pertentangan antara ibu dan anak.
Bunda : Mau sampe kapan kamu keras kepala gini El, pulang sekarang.
Ruel : Ruel lagi kerja mah.
Bunda : Pokoknya pulang, jangan sampe mamah yang jemput ke sana.
Ruel : mamah mah jangan gitu, iya nanti Ruel pulang.
Bunda : Oh, begitu cara kamu ke mamah? Oke kita tunggu tanggal main nya.
Kulihat ini bukan bukti yang cukup kuat untuk menjelaskan bahwa ancaman dari chat tersebut adalah yang kami pikirkan, lagi pula manusia kaya macam apa yang membeli suatu resto untuk mengancam anaknya?
"Tau ah El, gw pusing." Aku membuang rokok yang sudah sampai pada ujungnya.
Mengeluh soal alam, ketika hujan tak lagi membangun, ku hidupkan kepergian atas nama rasa. Derung lesu motor matic ber CC rendah menemani kepulangan kami berdua dari kumpul kecil-kecilan membahas semesta.
Ruel menyandarkan dagu nya di pundakku, menyiratkan lelah kian meraja. Langit malam menyaksikan dua insan tengah hening berbicara kepada diri sendiri, tidak bisa menikmati laju kendaraan yang mendeburkan udara langsung ke tubuh kami.
Di setiap hembusan nafas, ribuan kata tertahan satu sama lain, seakan mengerti pada masalah lawan cerita untuk tidak kian menambah siksa.
Tidak lagi sendiri memang, namun bersama, kita tetap memiliki tekanan yang liar menerkam jiwa.
Ramai nya pikiran, menertawakan kata yang tercekat di tenggorokan, seperti bulan sabit yang sekarang saling pandang kepadaku, tidak banyak bercerita tetapi mempertanyakan kelanjutan masa di hadapanku.
Semampai indah tiang lampu lalulintas, memaksa untuk sebentar berhenti lalu memperhatikan cahayanya di sudut mata.
Kepulanganku ini menjadi saksi bahwa tidak selalu perpisahan berakhir baik, bisa pula menanamkan ragu serta cemas yang hanya hari esok lah obat dari sakitnya. Sedangkan untuk pergi ke hari esok dengan mengendarai mimpi pun sulit nya meronta-ronta.
Gelisah di atas kasur, membolak-balikkan tubuh pun tidak mampu menemui nyaman. Aku bangun sejenak menenggak segelas air hangat, untuk meredakan sesak di dada akibat adrenalin yang melonjak naik di setiap mengingat siang tadi, tetapi tetap tidak menjadi jalan pintas ku untuk kembali beranjak ke ranjang.
Ku lipat tubuhku di dalam selimut, berjalan ke luar kamar untuk menatapi malam yang barangkali bisa menjenuhkan ku lebih jauh, berharap rokok yang masih bergumul dalam bungkusnya ini dapat menenangkan dan menabur mimpi malam ini.
Tidak seperti biasanya, gemintang terang tidak menceritakan apapun kepadaku, mereka hanya berkelip lembut, mungkin serba-salah untuk bercerita kepadaku yang moodnya berantakan ini.
Masih dalam hembusan ke sekian, bara menyala berani, begitu kontras pada gelapnya malam mengaburkan kesadaran bersamaan dengan asap pekat yang mengepul keluar dari mulutku.
Gemeretak gigi yang benci juga kecewa mengenai harapan, yang bisa jadi di garis akhir kan kepada hubungan pertemanan ku bersama Ruel juga Sandi atas kedatangan pemilik baru yang juga ibu dari sahabat ku.
Bagaimana bila begini, bagaimana bila begitu. Semakin teriak aku penuh tenang memikirkan segala hal yang sewaktu-waktu dapat terjadi, merapatkan bibir takut jika keluhanku terungkap bisa mengganggu penghuni lain yang mungkin sama letih nya seperti aku.