Krystal Berliana Zourist, si badgirl bermasalah dengan sejuta kejutan dalam hidupnya yang ia sebut dengan istilah kesialan. Salah satu kesialan yang paling mengejutkan dalam hidupnya adalah terpaksa menikah di usia 18 tahun dengan laki-laki yang sama sekali belum pernah ia temui sebelumnya.
Kesialan dalam hidupnya berlanjut ketika ia juga harus di tendang masuk ke Cakrawala High School - sekolah dengan asrama di dalamnya. Dan di tempat itu lah, kisah Krystal yang sesungguhnya baru di mulai.
Bersama cowok tampan berwajah triplek, si kulkas berjalan, si ketua osis menyebalkan. Namun dengan sejuta pesona yang memikat. Dan yang lucunya adalah suami sah Krystal. Devano Sebastian Harvey, putra tunggal dari seorang mafia blasteran Italia.
Wah, bagaimana kisah selanjutnya antara Krystal dan Devano.
Yuk ikuti kisahnya.
Jangan lupa Like, Komen, Subscribe, Vote, dan Hadiah biar Author tambah semangat.
Salam dari Author. 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 8 : TEST URINE & ISI HATI KRYSTAL
Buntut dari masalah narkoba di saku hoodie nya semalam. Disinilah Krystal sekarang berakhir. BNN, alias Badan Narkotika Nasional. Untuk melakukan tes urine dan membuktikan apakah Krystal pemakai atau bukan. Yang pastinya hari ini ia datang bersama dengan Papa William dan Mama Ambar.
Beberapa menit yang lalu sampel urine Krystal sudah di bawa ke lab untuk dilakukan pemeriksaan. Dan sekarang mereka sedang menunggu hasilnya. Krystal? Wajahnya tampak santai dan mungkin bisa di bilang tidak peduli. Karena faktanya ia memang bukan pemakai. Aldi kampret yang memasuki benda haram itu ke Hoodie nya semalam tanpa sepengetahuan dirinya.
30 menit berlalu, seorang laki-laki masuk dengan map kuning di tangannya. Lalu duduk berhadapan dengan Papa William dan Mama Ambar, sementara Krystal duduk di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut sembari memainkan ponselnya.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Papa William datar, namun ada nada penasaran dan tidak sabar di sana.
Begitupun dengan Mama Ambar yang harap-harap cemas. Jika hasil Krystal sampai positif, maka itu jelas tidak akan berdampak baik ke depannya.
"Hasilnya negatif. Nona Krystal bukan pemakai."
Jawaban singkat itu sungguh melegakan, bukan hanya untuk Mama Ambar tapi juga Papa William ikut menghelas nafas lega. Laki-laki itu menerima uluran kertas hasil lab tersebut, membacanya sendiri. Benar saja, hasilnya negatif.
"Udah dibilang nggak percaya." Krystal mendengus malas, lantas berjalan keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Papa William dan Mama Ambar yang sedang berpamitan.
Sesampainya di rumah, Krystal berniat langsung menuju kamarnya. Sebelum suara berat Papa William menginterupsinya untuk berhenti. Lalu berbalik menatap sang Papa dengan kerutan di dahi.
"Maksud Papa?"
Papa William menatap Krystal dingin.
"Kemasi barang-barang kamu sekarang. Kamu ikut Papa ke Mansion!" Ujar Papa William lebih menyerupai perintah mutlak yang tidak bisa diganggu gugat.
"Nggak! Aku nggak mau!" Jelas saja Krystal menolak keras. Gila saja, dia harus satu atap dengan jalang peliharaan Papanya itu.
"Apa Papa minta keputusan kamu, hm?"
"Apalagi sih, Pa? Belum puas nuduh aku narkoba sampai mukulin aku semalaman! Sekarang Papa mau aku tinggal sama jalang Papa ini, hah?!" Tanya Krystal sudah terpancing emosi.
"Sekali lagi Papa tekankan sama kamu. Mama Ambar bukan jalang, dia adalah Mama tiri kamu."
Tidak membiarkan Krystal bersuara, Papa William kembali menyambung kalimatnya.
"Suka nggak suka, kamu belajar untuk menerimanya. Dan mulai hari ini, kamu tinggal di Mansion Zourist! Apa yang salah dengan semua itu?"
"Untuk Papa mungkin nggak salah. Tapi dimata aku kehadiran wanita itu sudah bagaikan kutukan!"
"KRYSTAL!!!" Bentak Papa William, ia sudah mencoba menahan emosinya agar tidak berakhir dengan main tangan pada putrinya itu.
"Jaga bicara kamu, Krystal!"
"UDAH SERING, PA! AKU UDAH MENJAGA SETIAP PERKATAAN AKU! SELALU DAN SELALU SEPERTI ITU! AKU BAHKAN KELUAR DARI MANSION HANYA DEMI APA?! AGAR AKU NGGAK PERNAH BERTEMU LAGI DENGAN JALANG PAPA ITU YANG MEMBUAT AKU BERAKHIR MENGHINANYA! TAPI APA YANG PAPA LAKUIN, HAH?! PAPA SELALU CARI CELAH UNTUK NYARI MASALAH SAMA AKU!!" Sentak Krystal.
"Apa sih susahnya mengabaikan aku lagi?! Toh selama ini juga aku nggak pernah merasa punya seorang Ayah ataupun punya keluarga! Dan Papa juga nggak pernah menjalankan peran sebagai Ayah selama ini! Kenapa sekarang jadi ngerecokin hidup aku kayak gini?!" Nafas Krystal memburu hebat ketika mengatakannya.
"DAN SEKARANG PAPA MAU MENARIK AKU KEMBALI KE DALAM KEHIDUPAN YANG BIKIN AKU SETIAP HARI STRESS, HAH?! MANSION ITU NGGAK PERNAH JADI RUMAH UNTUK AKU SETELAH MAMA MENINGGAL!!!"
Krystal mengepal kedua tangannya erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Dan yang paling di benci adalah kenapa air matanya harus kembali mengalir di depan sang Papa.
"Papa tahu apa yang membuat aku paling kecewa? Bukan disaat aku bangun trus aku nerima kenyataan Mama udah nggak ada. Tapi disaat aku harus menerima kenyataan bahwa selama ini Papa udah ngehiatin Mama! Dan seakan-akan kematian Mama adalah jackpot untuk Papa dan jalang itu agar bisa melangsungkan pernikahan kalian!" Suara Krystal bergetar ketika mengatakannya, begitu juga dengan pipinya yang terus basah.
Dan diamnya Papa William, seakan membenarkan semua yang putrinya ucapkan barusan. Mama Ambar? Wanita itu mematung di ambang pintu, memandang apa yang sedang terjadi diantara suami dan putri tirinya.
"Aku pikir, aku cuma kehilangan sosok Mama. Tapi aku salah. Nyatanya sejak saat itu aku juga kehilangan sosok Papa dalam hidup aku!" Suara Krystal serak dan tercekat ketika mengatakannya.
Ruangan tengah rumah minimalis itu hening beberapa saat.
"Apa kamu pikir Papa nggak menderita karena kehilangan Mama kamu, Krystal? Papa juga hancur karena kehilangan Mama kamu! Tapi bukankah hidup kita harus tetap berlanjut? Kamu nggak bisa hanya stuck di rasa kehilangan itu terus menerus, Krystal." Ucap Papa William dengan lirih.
Krystal menyeka air matanya, meski itu percuma saja. Nafasnya memburu dan dadanya naik turun, karena sesak yang menguasai disana.
"Krys... Papa sayang sama kamu. Papa ingin yang terbaik untuk kamu. Papa nggak mau kamu berakhir seperti Keyzia. Cuma kamu satu-satunya harapan yang Papa punya sekarang." Papa William mendekat, mencoba meraih tangan putrinya itu meski terus mendapatkan tepisan.
Satu nama yang sempat keluar dari mulut Papa William, kembali berhasil mengusik emosi Krystal ketika mendengarnya. Ditatapnya sang Papa kembali dengan tatapan tajam.
"Aku bukan Keyzia! Dan perlu Papa ingat baik-baik. Kalau saja Papa nggak pernah menikahi wanita itu seminggu setelah Mama meninggal. Mungkin Keyzia juga nggak akan berakhir seperti sekarang!" Desis Krystal penuh penekanan.
"Dan Papa bilang apa tadi? Hidup terus berlanjut? Iya, Papa benar. Hidup memang harus berlanjut. Tapi Papa? Terlalu cepat memulainya." Krystal tertawa hambar setelahnya, bersama kembali pecahnya air matanya.
Setelah mengatakannya, Krystal langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Bahkan melewati Bi Asri yang memandangnya penuh kekhawatiran dan kesenduan.
Menutup pintu kamar, Krystal terduduk di baliknya. Menekuk kedua kakinya, bersama tragis nya yang semakin tidak terbendung. Menutup wajahnya dengan kedua tangan dn menangis terisak sejadi mungkin di sana. Berharap sesak serta rasa sakit di dadanya ingin bisa menghilang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Papa William terdiam di ruang kerjanya. Matanya memandang kosong pada bingkai foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Selalu setia menemani nya setiap kali lembur. Foto yang memperlihatkan potret dirinya bersama Eliza--- Almarhum istrinya, Krystal dan Keyzia--- ya, saudari kembar non identik Krystal.
Ucapan Krystal tadi ketika mereka bertengkar, terus terngiang di telinga Papa William sekarang. Papa William mengerti dimana letak rasa kecewa putrinya dan dia membenarkan bahwa apa yang putrinya katakan memang benar. Ia menikahi Mama Ambar seminggu setelah Mama Eliza dikuburkan, bahkan saat kondisi Krystal dan Keyzia pada saat itu masih di rawat di rumah sakit setelah kecelakaan mau itu terjadi. Papa William satu-satunya pada saat itu yang kondisinya tidak terlalu parah.
Tapi Krystal tidak sepenuhnya benar. Buktinya sampai detik ini setelah 13 tahun pernikahan dengan Mama Ambar. Papa William memilih untuk tidak memiliki anak dari wanita itu dan itu semua demi menjaga perasaan Krystal.
Papa William menghela nafasnya dalam.
"Aku akan menjaganya, sesuai janjiku padamu." Lirih Papa William.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Pintu ruangan terbuka memperlihatkan seorang wanita berpakaian formal yang tidak lain adalah sekretaris Papa William Zourist.
"Maaf, Tuan. Ada yang ingin bertemu dengan Anda."
Papa William mengernyit rasanya ia tidak punya janji lagi hari ini setelah meeting beberapa waktu lalu.
"Siapa?"
Belum sempat sekretaris Zourist's Corp itu menjawab. Seorang pria seusia dengan Papa William Zourist muncul di balik pintu yang semakin dibuka lebar. Laki-laki dengan perawakan tinggi kekar, rahang yang kokoh serta tegas membuat aura sangar dan keras menguar dari dalam diri pria tersebut. Penampilannya formal dan sangat elegan namun mengerikan disaat bersamaan.
"*Hallo, Willi. Nice to meet you*..." Sapa pria tersebut, diakhiri dengan bibir kiri yang sedikit terangkat membentuk senyuman miring yang tipis.
Papa William terdiam, mulutnya masih tertutup rapat memandangi pria yang kini sudah berdiri di hadapannya. Untuk waktu yang lama mereka hanya saling berpandangan, sehingga ruangan yang kini diisi hanya oleh mereka berdua semakin hening bersama aura yang mencekam diantara keduanya.
Darrelian Harvey, penguasa sekaligus mafia kelas tinggi blasteran Italia. Sahabat lamanya semasa kuliah.
"Ada apa kamu kemari, Darrel?" Tanya Papa William datar dan terkesan dingin. Tidak bermaksud, namun memang beginilah pembawaan Papa William jika sedang di perusahaan.
Pria 45 tahun itu, menjatuhkan tubuhnya di sofa, mengeluarkan sebatang rokok dan memantik apa di ujungnya, Barulah menghisapnya dalam hingga asap mengepul memenuhi ruangan.
"Kamu tahu maksud dan tujuan aku ke sini, Wil."
Ya, Papa William tahu, sebenarnya ia hanya ingin berbasa-basi tadi.
"Kita sudah membicarakan ini lewat telepon. Dan aku tetap menolaknya. Maaf."
"Meski semalam dia pulang dengan narkoba di hoodie nya?"
Mata Papa William tidak putus menatap Darrel, dingin.
"Kamu memata-matai putriku?" Tanya Papa William dengan suara rendah.
Kenapa rahangmu harus sekeras itu, hm? Bukankah kamu sudah tahu siapa aku?" Darrel terkekeh.
"Tapi tidak dengan memata-matai putriku!" Desis Papa William tajam.
"Maka silahkan kamu sampaikan pada dia! Jangan padaku. Kamu membuat dia marah karena sudah mengingkari janji 13 tahun silam."
Papa William terdiam, kali ini bersama ingatannya yang melayang ke 13 tahun silam. Bagaimana Papa William akan melupakannya? Sampai sekarang ia masih mempertimbangkan janji tersebut. Baik buruknya untuk putrinya.
"Aku kemari, meninggalkan pekerjaanku sejenak di Italia. Untuk menagih janji mu itu." Ujar Darrel, menatap Papa William lekat.
"Dan aku harap, kamu tidak mengingkari janji yang sudah kamu buat sendiri, Wil. Karena akan berdampak buruk nantinya jika itu terjadi. Kamu tahu persisi apa keturunanku--- keturunan Harvey." Sambung Darrel, diselingi dengan bumbu-bumbu intimidasi.
Tidak. Papa William tidak takut sama sekali dengan peringatan Darrelian Harvey. Tidak peduli dengan title mafia kelas kakap yang disematkan pada pria itu. Karena antara Zourist dan Harvey itu sebenarnya mempunyai level yang setara.
Helaan nafas yang panjang lolos dari mulut Papa William.
"Apakah dia masih menginginkan nya?"
"Jika tidak mengingat janji mu 13 tahun silam. Mungkin sudah lama dia bertindak semuanya, Will." Darrel tertawa.
Kedua kalinya Papa William menarik nafas panjang.
"Kamu ingin aku semakin terlihat buruk di mata putriku, Darrel?"
"Semua orang tua selalu terlihat jahat dimata anak-anak mereka, Will. Tapi coba kamu pikir, jika kamu tidak melakukan ini maka besar kemungkinan Krystal akan berakhir seperti Keyzia."
Papa William termangu.
Wajah Darrel semakin berubah serius.
"Kamu tentu tidak ingin bukan, jika harus merelakan satu lagi putrimu?"
"Jelas saja tidak." Lirih Papa William.
"Kapan dia akan ke Indonesia?" Sambung Papa William dan bertanya.
"Malam ini."