Abraham Barraq Alkahfi, pria berusia 28 tahun yang bekerja sebagai seorang montir dipaksa menikah dengan seorang Aura Falisha dari keluarga terpandang.
Demi identitas tetap tersembunyi dan keberadaannya tidak diketahui oleh banyak orang. Akhirnya Abraham yang tidak sengaja merusak mobil milik Aufa Falisha menerima pernikahan paksa tersebut.
Selama menjadi suami Aufa. Abraham mendapatkan hinaan, cacian dan direndahkan oleh keluarga Aufa. Bahkan Aufa sendiri benci padanya dan menolak kehadirannya. Sampai akhirnya semua mulai berubah saat identitas Abraham terbongkar.
Bagaimana reaksi semua orang saat mengetahui siapa sebenarnya Abraham Barraq Alkahfi lalu bagaimana perasaan Aufa, apakah dia mulai luluh atau dia memilih berpisah?
Update rutin : 09.00 & 14.00
Follow instagram author : myname_jblack
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JBlack, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu
...Aku merindukannya begitu banyak. Bahkan cintaku semakin membara padanya. Namun, aku berusaha menahan rasa rindu dengan tak mengabarinya agar dia sadar bahwa dia salah....
...~Abraham Barraq Al-Kahfi...
...****************...
Sedangkan di New York. Di sebuah rumah besar dengan taman belakang yang indah. Terlihat seorang pria duduk tenang disana. Pandangannya menatap lurus kedepan dengan sejuta pikiran membahana di kepalanya.
Otaknya terus memutar. Mengingat dan mengulang semua wajah istrinya yang sangat dirindukan. Sudah tiga hari dia tak menghubungi Aufa. Sudah tiga hari dia tak mendengar suara istrinya itu.
Nafas Abraham terlihat berat saat dia menghembuskannya. Dia terlihat tertekan tapi ia ingin istrinya itu sadar.
"Sedang apa kamu disana?" Gumam Abraham dalam diam.
"Kamu siapa hayo?" Tanya suara perempuan dari belakang yang mengejutkan Abraham.
Pria itu merasa degup jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia berbalik dan melihat ibunya berdiri di belakangnya dengan tersenyum.
"Duh anak ibu ada yang galau yah?" Goda Almeera yang membuat Abraham menegang kaku. "Kenapa wajahnya tegang begini?"
Almeera duduk di dekat putranya itu. Dia meminta Abraham membaringkan kepalanya di atas pangkuannya seperti saat pria itu masih kecil.
Abraham tentu melakukannya. Dia meletakkan kepalanya dengan tenang di atas pangkuan ibunya. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan ketika banyak tugas, ketika dia merasa lelah dan tak tenang.
Almeera tak melakukan apapun. Bahkan dia membiarkan putranya untuk menenangkan dirinya dulu.
"Ibu," Lirih Abraham dengan suaranya yang terdengar ragu.
"Iya?" Jawab Almeera dengan tangan tak berhenti mengusap rambut putranya.
"Bagaimana perasaan ibu dulu ketika jauh dari Ayah?" Tanya Abraham dengan mulai membuka matanya.
Dia masih tak berniat mengangkat kepalanya. Dirinya masih asyik menerima usapan di kepalanya yang lembut.
"Sakit," Jawab Almeera dengan jujur. "Tersiksa."
"Ibu bahkan sampai sesak nafas dulu ketika Ayahmu tak ada di sisi ibu," Kata Almeera dengan suaranya yang lembut.
"Terus?"
"Ibu terkadang memakai cara lain untuk membayar rasa rindu ibu," Kata Almeera dengan tenang.
"Seperti saat Bia yang meminta telepon Ayah?"
Almeera tersenyum. "Ya. Itu salah satunya."
"Meski ibu menggunakan kalian sebagai senjata tapi bukankah Ibu melakukan hal yang benar. Kalian anak-anaknya dan kalian berhak mendapat kabar."
Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Dia sendiri yang menjadi saksi saat adiknya menghubungi ayahnya dan ibunya begitu senang. Meski disakiti, ibunya selalu menyayangi dan mencintai ayahnya dengan tulus.
"Apa mencintai serumit itu, Bu?"
"Tidak semuanya," Balas Almeera yang membuat Abraham mengangkat kepalanya.
Dia menatap ibunya dengan pelan dan hal itu membuat Almeera menatap putranya dengan lekat.
"Cinta itu sederhana, Bang. Ketika kita dan dia saling mengungkapkan perasaan. Cinta akan mulai menuntun semuanya," Kata Almeera dengan pelan.
"Cinta itu indah. Jika kita memulai semua dengan kejujuran. Tak ada hal buruk tentang cinta. Cinta itu bahagia jika kita mampu mengatasinya sendiri."
"Mungkin jalan cinta Ibu dan Ayah terlalu sakit tapi dibalik itu semua. Ibu bahagia karena cinta ibu ternyata masih tetap sama. Ada pada Ayah Bara. Meski memang menuju bahagia, jalannya harus banyak pakunya."
Abraham mendengar semuanya dengan seksama. Tatapannya tertuju pada mata ibunya yang menceritakan semuanya dengan bangga. Tak ada yang ditutupi. Apa yang dikatakan ibunya, semua dirasakan oleh Abraham.
Dia dan Bia adalah saksi kunci pernikahan orang tua mereka. Bagaimana ketika keluarga bahagia, diberikan ujian sampai melewati semuanya.
"Ibu," Panggil Abraham setelah beberapa menit hanya keheningan yang terjadi di antara keduanya.
"Ya?"
"Jika Abang mencintai seorang wanita sama seperti Abang mencintai Ibu. Apa boleh?"
Almeera tersenyum. Dia mengusap pipi putranya yang kiri dengan lembut.
"Tentu. Bahkan ibu ingin, kamu memperlakukan dia seperti Abang memperlakukan ibu. Muliakan seorang wanita agar hidupmu tenang, Nak."
Ada sesuatu yang mengusik hati Abraham. Yah sesuatu yang memutar di kepalanya. Suatu hal yang dia sembunyikan.
"Ibu," Panggil Abraham lagi dengan segala ketakutan di hatinya.
"Iya?"
"Jika suatu hari nanti. Abang ketahuan berbohong pada Ibu. Apa Ibu akan marah?"
Almeera tersenyum.
"Abang adalah orang yang memiliki pemikiran luas. Ibu yakin ada sesuatu yang Abang sudah putuskan hingga melakukan sesuatu yang tak ibu tahu," Kata Almeera dengan bijak.
"Ibu mengenal Abang dengan baik. Abang adalah orang yang bertanggung jawab. Abang akan melakukan apa yang menurut Abang benar. Jadi Ibu yakin, jika Abang berbohong, pasti ada alasan dibalik itu semua."
Abraham tak pernah salah menilai ibunya. Ya, dibalik semua yang telah keluarganya lewati. Abraham bersyukur akan satu hal. Dia bersyukur memiliki ibu seperti Almeera.
Ibu yang selalu mendukungnya, tak pernah menghakimi putranya sendiri. Baik Almeera dan Bara, keduanya berhasil mendidik anak-anak mereka dengan begitu bijaknya.
"Maafkan Abra jika menyakiti ibu suatu hari nanti yah," Ujar Abraham dalam hati sambil memeluk ibunya.
...****************...
Sedangkan di Indonesia.
Terlihat seorang wanita mulai berdiri di depan kaca dengan wajah yang sudah berhasil di sulap dengan begitu indahnya oleh make up kepercayaan mamanya. Dia juga menatap pantulan dirinya yang mengenakan gaun indah membalut tubuhnya.
"Kenapa baju ini terlalu mewah, Ma. Dandanan ini terlalu waw juga," Kata Aufa memprotes. "Bukankah kita hanya ke pesta kolega Papa? Kenapa harus semewah ini?"
Aufa bisa melihat dengan jelas. Gaun yang ia pakai adalah gaun baru.
"Mama hanya ingin kamu terlihat cantik," Kata Mama Bela lalu menyerahkan sepasang sepatu berhak tinggi pada putrinya. "Pakailah, Sayang. Lalu kita berangkat."
Akhirnya Aufa tak menolak. Dia memakai sepatunya lalu segera mengikuti langkah kaki mamanya. Mereka berangkat dengan mobil yang dikendarai oleh Papa Akmal sendiri.
Aufa tak bersuara sedikitpun. Wanita itu hanya menatap keluar dengan memikirkan sosok suaminya yang benar-benar menghilang.
"Aku harus ke rumah bengkel besok. Aku akan bertanya pada orang bengkel. Dimana kamu sebenarnya," Gumam Aufa dalam diam.
"Sudah sampai, Sayang. Ayo keluar!"
Akhirnya Aufa membuka pintu mobil. Dia mulai berjalan di belakang mama dan papanya yang berjalan sambil bergandengan tangan.
Hal inilah rasa bosan yang mulai menyerangnya. Dia benar-benar tak menyukai acara kolega karena pasti banyak ibu dan keluarga sosialita yang mulai pamer harta dan uang.
Aufa memang boros tapi jujur dia tak suka berkumpul dan ikut acara seperti ini. Biasanya kakaknya yang akan ikut. Namun, kali ini dia tak bisa kabur lagi.
"Oh, Bela. Kau selalu terlihat cantik," Kata seorang wanita yang memakai pakaian tak kalah glamor dengan mamanya.
"Kau bisa saja, Sin. Kau juga terlihat cantik," Kata Mama Bela setelah melepaskan pelukannya. "Kemana putramu?"
"Oh. Putraku? Dia ikut kok," Kata Sintya dengan kedipan manja di matanya.
Saat ini Aufa hanya berdua dengan Mama Bela. Papa Akmal telah pergi untuk mengobrol dengan koleganya yang lain.
"Nah itu dia putraku. Kemari, Nak!"
Aufa spontan menoleh. Dia membelalakkan matanya saat sosok yang tak ia sangka ternyata ada di acara yang sama dengannya.
"Kamu!"
"Aufa… "
~Bersambung