Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasanya Sakit
“Apa ini ?” tanya Mirna dengan alis menaut.
“Bukalah dan lihat sendiri !” sahut Damar sambil tersenyum. “Aku yakin kamu sudah kuat untuk menghadapi kenyataan ini.”
Selama beberapa detik Mirna terpaku, tangannya belum bergerak membuka simpul tali amplop.
Jantungnya berdegup tidak karuan karena khawatir kalau ia tidak sekuat yang Damar pikirkan.
”Jangan takut, ada aku di sini.” Damar menyentuh bahu Mirna sebagai bentuk dukungan.
“Hhhmmm.”
Setelah mengumpulkan keberanian, tangan Mirna mengeluarkan sesuatu dari dalam amplop yang baru saja dibukanya.. Dahinya berkerut melihat benda pipih dan selembar foto.
Meski ingatan Mirna masih menganggap dirinya baru saja lulus kuliah, Ia tahu apa kegunaan benda di tangannya dan foto yang tengah dipandanginya sekarang.
”Siapa punya ini ?”
“Milikmu dan janin di foto USG itu adalah calon anak kedua kita.”
Bagaikan di sambar petir, Mirna kaget bukan main mendengar jawaban Damar sampai-sampai kedua benda di tangannya terlepas dan ia pun menutupi mulutnya yang terbuka dengan mata membola.
“Jangan bercanda, Mas !”
Damar tersenyum getir dan menggelengkan kepala dengan wajah penuh penyesalan.
“Maaf karena aku tidak bisa menjaga kalian berdua.”
”Jadi aku sedang hamil saat kecelakaan itu terjadi ?” gumam Mirna dengan suara mulai serak dan kepala tertunduk.
“Iya.”
Sekarang test pack dan foto hasil USG itu sudah ada di tangan Damar yang menghela nafas beberapa kali.
“Maafkan aku,” ujar Damar sambil merengkuh bahu Mirna dan mencium pelipisnya.
“Aku sudah membunuh anakku sendiri,” lirih Mirna dengan air mata yang mulai menetes.
Situasi inilah yang ingin Damar hindari tapi sekarang atau nanti Mirna harus tahu kenyataannya soal anak mereka yang meninggal saat kecelakaan terjadi.
“Jangan bilang begitu, kecelakaan itu adalah musibah bukan karena kamu sengaja menabrakkan mobilmu. Cobalah untuk ikhlas, aku yakin Tuhan punya rencana yang baik untuk kita di balik peristiwa ini.”
Tidak ada jawaban hanya terdengar isak tangis Mirna di dalam pelukan Damar yang mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan.
“Kenapa rasanya begini sakit, Mas padahal sampai detik ini aku belum bisa mengingat tentang pernikahan kita bahkan aku lupa bagaimana perasaanku saat hamil dan melahirkan Chika.”
Nada bicara Mirna tersendat-sendat di sela isak tangisnya yang belum mereda.
“Tentu saja karena kamu adalah ibunya sayang. Ingatanmu tentangku, Chika dan calon anak kedua kita bisa hilang tapi nuranimu sebagai seorang ibu tidak akan bisa dihapus oleh siapapun karena anak-anak itu pernah menjadi bagian dirimu, berbagi degup jantung dan nafas denganmu.”
Mirna melepaskan diri dari pelukan Damar dengan wajah berlinangan air mata.
“Masalah apa yang kita ributkan malam itu sampai aku nekad pergi sendirian ?”
Damar mengambil tisu untuk membersihkan wajah Mirna meski air matanya belum bisa berhenti mengalir di kedua pipi Mirna yang kemerahan.
“Kita bertengkar karena Marsha dan Anita. Kamu yakin kalau aku menjalin hubungan dengan Marsha di belakangmu karena 3 hari sebelumnya kamu melihat kami bertemu dan aku tidak cerita apapun padamu.”
“Marsha siapa ? Dan apa hubungannya dengan mbak Anita ?” tanya Mirna dengan alis menaut.
Damar tersenyum sambil menangkup wajah Mirna.
“Aku akan menceritakan semuanya padamu, tidak akan ada yang ditutupi dan semuanya bukan dongeng sebelum tidur tapi sebelumnya jangan menangis lagi.”
“Pinginnya begitu tapi air mataku susah berhenti,” sahut Mirna dengan wajah sedih namun menggemaskan.
Damar tertawa pelan dan merengkuh Mirna ke dalam pelukannya.
”Apapun yang terjadi percayalah kalau aku sangat mencintaimu. Tidak peduli kamu tidak lagi memiliki ingatan tentang aku, perasaanku tidak akan pernah berubah.”
Kepala Mirna yang bersandar di dada Damar mengangguk-angguk membuat senyum Damar makin melebar
“Beberapa bulan sebelum tahu kamu hamil, perusahaan sedang dilanda banyak masalah yang datang bertubi-tubi. Bukan hanya kerugian materi tapi aku pun kehilangan beberapa klien yang akhirnya membuatku stres dan gampang emosi. Kesalahan terbesarku adalah membawa pulang masalah kantor ke rumah hingga membuat kita mulai sering bertengkar hanya karena masalah-masalah sepele.”
Keduanya sudah tidak lagi berpelukan namun Damar masih menggenggam erat jemari istrinya.
“Mas Damar belum menjawab pertanyaanku, apa hubungan Marsha dengan mbak Nita ?”
Damar terkekeh, “Sebentar lagi ceritanya akan sampai ke situ.”
“Marsha adalah seorang profesional yang membantu mengurai keruwetan masalah di perusahaanku saat itu. Seratus persen aku tidak memiliki perasaan padanya meski banyak orang termasuk kamu menyuruhku untuk waspada karena yakin kalau dia memiliki ketertarikan padaku.”
”Faktanya mas Damar tidak mau mempercayai firasat seorang istri.”
“Bukan begitu. Situasi kantor cukup berat, membuat kepalaku rasanya ingin meledak dan Marsha menawarkan solusi yang membuat masalah terpecahkan satu persatu. Sayangnya aku agak terlambat ketika tahu kalau Marsha adalah teman baiknya Firman.”
”Lalu dimana peran mbak Nita ?”
“Di saat hubungan kita bermasalah karena Marsha, kamu selalu curhat pada Anita. Herannya dia selalu punya waktu untuk menjadi pendengar dan penasehatmu bahkan lumayan sering datang ke rumah kita.”
“Seingatku alasan mbak Nita menunda pernikahannya dengan kak Rangga karena sibuk dan ingin fokus dengan pekerjaannya.”
”Ya, itu sebabnya Rangga sempat merasa aneh karena Anita tiba-tiba punya banyak waktu luang tapi dia terlalu pintar untuk membuat Rangga melupakan rasa curiganya karena orang yang membutuhkannya adalah kamu, adik Rangga sendiri.”
Mirna menghela nafas lalu memijat pelipisnya yang mulai berdenyut.
“Pusing lagi ?” tanya Damar dengan nada khawatir.
“Sedikit.”
“Kalau begitu kita hentikan dulu dan kamu istirahat.”
Mirna menggeleng lalu meneguk air putih dalam kemasan yang tadi diberikan Damar.
“Aku tidak melihat niat buruk mbak Nita dalam cerita mas Damar.”
“Sayang,” Damar mengusap kepala Mirna. “Anita adalah satu-satunya orang kepercayaanmu yang punya akses menukar vitaminmu dengan obat penenang.”
“Obat penenang ?”
“Hhhmm, hasil tes darahmu saat kecelakaan sempat dipalsukan, itu sebabnya aku minta tolong Harry untuk memastikannya. Sayangnya aku belum bisa menemukan keberadaan obat itu dan bukti kalau Anita yang menukar isinya.”
“Kenapa mbak Nita sampai tega begitu,” keluh Mirna sambil menghela nafas.
“Anita adalah wanita egois dan serakah bahkan kamu sempat mengingatkan aku untuk hati-hati padanya.”
“Aku bilang begitu sama mas Damar ?”
“Iya, kamu pikir Anita sudah berubah tapi ternyata masih sama malah kamu sempat berniat untuk bicara sama Rangga tapi aku nggak kasih.”
“Tapi kenapa aku malah curhat sama mbak Nita saat menghadapi masalah soal Marsha sama mas Damar ?”
“Tidak usah dipikirkan kenapa-nya karena semua iti tidak akan merubah keadaan. Aku tahu kalau saat ini hatimu sering bimbang, ingin mendengar banyak cerita sebagai bahan informasi untuk mengembalikan ingatanmu jadi berhati-hatilah.”
“Hhhmm.” Mirna menganggukkan kepala.
“Selama masih ada Anita dan Firman, perjalanan cinta kita tidak akan pernah mudah. Percayalah padaku kalau sampai detik ini, tidak pernah terpikir untuk menduakanmu.”
Mirna diam saja saat Damar kembali mengusap kepalanya. Kedua tangannya memegang tepi sofa dan matanya menatap lurus ke lantai kamar yang berwarna putih bersih.
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri