Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #28
Malam itu juga, Zara dan sang suami langsung terbang menuju Indonesia. Meski waktu yang ia habiskan di Amerika sangat singkat, ia tetap sangat bahagia karena sikap Alif yang kaku perlahan berkurang di hadapannya. Perlakuan pria itu pun mulai menghangat demi mengikis rasa canggung di antara mereka.
Seperti saat ini, Alif tak pernah melepaskan genggaman tangannya. Zara bisa melihat senyuman dari pria itu kala menyadari cincin pernikahan mereka dengan setia melingkar di jari manis wanita itu. Sangat berbeda ketika baru menikah, ia bahkan hampir tak pernah memakai cincin itu demi menyembunyikan statusnya walau di rumah sekalipun.
"Tidurlah, saya akan membangunkanmu saat landing nanti," ujar Alif, lalu menarik kepala Zara dan ia sandarkan di bahunya yang lebar.
Hal sederhana itu tentu sangat berarti bagi Zara yang dulunya sempat tak lagi mempercayai cinta. Ia tak butuh pengakuan ataupun gombalan terus-menerus yang pada akhirnya berujung menyakiti. Sikap dan perhatian, serta usaha dalam menjaga kepercayaan adalah yang ia butuhkan saat ini.
Sambil tersenyum, Zara memejamkan mata dan merasakan kenyamanan di sana. Hal yang sudah sangat lama tak ia rasakan, termasuk dari ayahnya sendiri yang kini terasa sangat jauh.
.
.
.
Dua puluh jam telah berlalu, Zara dan Alif tiba di Indonesia pukul 4 pagi. Hari ini adalah hari keberangkatan Naufal ke luar kota sebagaimana pesan dari Akira. Oleh karena itu, meski masih subuh, ia tetap mengirimkan pesan kepada sahabatnya itu untuk meminta tolong agar menanyakan waktu keberangkatan sang dosen. Kebetulan, rumah mereka saling bertetangga.
Sayangnya, pesan tersebut tak dibalas hingga matahari terbit di ufuk Timur. Zara berdiri di balkon kamarnya menatap matahari terbit sambil sesekali menatap layar ponselnya yang masih saja gelap.
"Minumlah teh hangat ini, kamu pasti lelah dan haus," ujar Alif sambil meletakkan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap di atas meja, lalu duduk di kursi yang berada di sampingnya.
Zara masih bergeming dalam kegelisahan. Kali ini ia memandangi jalanan depan rumah yang mulai dilalui oleh beberapa kendaraan. Masalahnya adalah, ia telah melewatkan hari terakhir itu dan sekarang ia berharap Naufal tetap mau menerima laporannya hari ini.
"Bagaimana jika saya minta Naufal agar saya saja yang periksa laporan KKP kamu?" tanya Alif memberikan saran, lalu menyesap secangkir tehnya.
"Jangan dulu, Pak. Saya takut Pak Naufal akan curiga nantinya," tolak Zara. Bagaimana pun, ia harus menjaga rahasia pernikahannya dari kampus untuk sementara, setidaknya sampai ia wisuda.
Suara ponsel Zara kini terdengar, menandakan jika ada pesan yang masuk. Gegas ia membukanya dan menemukan balasan pesan dari Akira.
Zar, Pak Naufal akan berangkat pukul 10 pagi ini, dia juga akan ke kampus dulu pagi-pagi sekali. Jadi, kamu harus menunggunya di kampus agar sempat ketemu Pak Naufal.
Zara menyimpan ponselnya, lalu mengambil secangkir teh yang dibawakan Alif tadi. Dengan terburu-buru, ia menenggak teh itu sambil berdiri.
"Kalau minum atau makan, biasakan duduk, Jasmine. Tidak peduli seberapa buru-burunya kamu. Itu adab yang diajarkan Rasul kita," kata Alif menegur.
"Tapi tak ada kursi lagi, Pak. Harusnya Bapak siapkan dua kursi di sini untuk saya juga," balas Zara beralasan.
"Kamu bisa jongkok, atau ...." Alif menarik pinggang Zara hingga terduduk di atas pangkuannya. "Duduk di sini juga nggak papa, malah saya suka," lanjut pria itu tersenyum menatap wajah sang istri.
Zara tentu saja ingin langsung berdiri, tetapi tenaga sang suami jauh lebih kuat dalam menahan pinggang rampingnya hingga ia tak mampu kemana-mana.
"Habiskan dulu tehnya. Kamu mau ke kampus?"
Zara hanya mengangguk merespon perkataan Alif. Entah kenapa seketika ia merasa lidahnya kelu. Jangankan menelan teh, menelan salivanya sendiri pun rasanya berat. Tak bisa ia pungkiri, jantungnya kini berdebar hebat hingga membuat tubuhnya kaku bak patung.
Belum lagi tatapan mata pria itu yang semakin membuat darahnya berdesir dan wajahnya memerah seperti buah tomat. Meminum teh yang hanya tersisa 100 ml pun rasanya seperti meminum teh satu liter.
Beberapa saat kemudian, Zara mulai berbicara, "Teh saya sudah habis, Pak. Saya pergi dulu." Zara langsung turun dari pangkuan Alif dan berlari kencang masuk ke kamar mandi. Ia tak lagi memedulikan sekitar, semua diterabas yang penting ia bisa bersembunyi di kamar mandi secepat mungkin.
.
Zara berlari menuruni tangga sambil membawa tas ranselnya di punggung. Di sana sudah ada Alif dengan kemeja lengan panjang berwarna cokelat dan celana panjang berwarna hitam yang menunggu kedatangannya sejak tadi untuk mengajaknya sarapan. Namun, wanita itu menolak karena tak ingin kehilangan kesempatan terakhir.
"Kalau begitu, biar saya antar kamu," ujar Alif, lalu berjalan cepat ke luar membawa tas dan kunci mobilnya.
"Bapak mau ke mana? Rapi banget," tanya Zara berlari-berlari kecil di samping Alif untuk menyelaraskan kecepatannya dengan langkah kaki Alif yang panjang.
"Mau ke kampus," jawab pria itu singkat.
"Bukannya Bapak masih butuh istirahat di rumah? tanya Zara lagi, sebagaimana yang Alif katakan tempo hari di Amerika, membuat langkah kaki pria itu terhenti tepat di samping mobilnya.
"Ya, tidak masalah, 'kan? Siapa tahu ada yang butuh bantuan saya di kampus. Saya bisa istirahat di kampus," balas Alif lagi-lagi membuat alasan, lalu segera memasuki mobil, diikuti oleh Zara.
Mereka tiba di kampus seperti biasa. Zara akan turun dari mobil beberapa meter sebelum gerbang kampus, lalu berjalan kaki. Sementara Alif akan masuk dengan mobilnya setelah memastikan Zara masuk lebih dulu.
Suasana kampus masih sangat sepi, jangankan dosen, mahasiswa pun belum ada yang datang. Meski begitu, Zara langsung ke ruangan dosen. Ia berharap Naufal yang akhir-akhir ini begitu sensitif kepadanya sudah datang dengan mood yang baik pagi ini. Benar saja, ternyata pria itu sudah ada di mejanya sambil mengetik di depan laptop.
"Assalamu 'alaikum, Pak Naufal," ucap Zara menghampiri mejanya, tetapi tak mendapat respon dari pria itu, selain lirikan mata tajam.
"Maaf, Pak. Saya ingin mengumpulkan laporan KKP yang sudah saya revisi," ucap Zara lagi.
Naufal menghentikan aktivitasnya, lalu menatap tajam Zara. "Hari apa ini?" tanya pria itu sinis.
"Hari rabu, Pak," jawab Zara pelan.
"Hari apa pengumpulan laporan terakhir?" tanya Naufal lagi.
"Hari selasa, Pak," jawab Zara menunduk dengan wajah sedih.
"Ya, sudah, berarti kamu sudah tahu jawabannya. Sekarang silakan keluar!" Naufal menunjuk pintu keluar ruangan dosen, mengusir Zara dengan tegas.
"Tapi, Pak. Saya ada urusan keluarga kemarin, makanya baru bisa ...."
"Saya tidak terima alasan apa pun. Keluar!" gertak pria itu.
Zara tak memiliki pilihan lagi. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan perasaan kecewa, Zara melangkahkan kakinya keluar dari ruangan dosen itu. Tak lama kemudian, Naufal pun keluar dan langsung pergi tanpa memedulikan Zara saat ini. Sikap pria itu benar-benar berubah sejak Zara menolaknya. Ya, berubah 180 derajat.
Zara masih diam terpaku di depan ruangan dosen. Tatapannya yang sendu mengikuti ke mana Naufal pergi, hingga suara ponselnya yang berbunyi membuat perhatian wanita itu teralihkan.
Masuklah ke ruanganku!
Begitulah isi pesan dari Alif. Sudah pasti pria itu mendengar semua yang terjadi tadi kepadanya. Namun, mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Zara tak ingin banyak bicara, ia langsung berjalan masuk menuju ruangan sang suami, di mana pria itu sudah menunggu dan langsung memeluknya erat.
Tak mampu lagi menahan air mata, tangisan Zara akhirnya pecah dalam pelukan sang suami. Hatinya begitu sakit, ia sudah berusaha mengerjakan laporan itu dan menyesuaikan dengan keinginan Naufal hingga larut malam. Namun, ia malah mendapatkan penolakan dan gertakan.
"Kurang ajar si Naufal, berani-beraninya dia menggertak kamu!" ucap pria itu pelan sambil mengusap punggung Zara, "tenang saja, saya akan ambil alih laporan kamu," lanjutnya berusaha menenangkan.
Suara ketukan pintu dari luar ruangan Alif seketika membuat Zara langsung melepaskan diri. Detik berikutnya, pintu itu dibuka perlahan, membuat Zara semakin kalang-kabut tak tahu harus bagaimana. Ia sungguh takut hubungannya ketahuan saat ini.
"Assalamu 'alaikum, Pak Alif, saya mau kumpul laporan KKP, " ucap seorang mahasiswi dari ambang pintu.
.
.
.
#bersambung#