"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Realita
Lebih dari satu bulan ia mengejar, hanya dalam sehari ia dikecewakan. Begitulah kalimat yang menggambarkan kehidupan Acha akhir-akhir ini. Semenjak ia pulang dari rumah Al, Acha sering menangis tiap malam. Membayangkan Al yang menolaknya membuat Acha terpukul. Padahal selama ini Acha sudah berharap banyak. Ya, mungkin memang salah Acha yang berekspektasi tinggi.
Tetapi yang membuat Acha tidak menyangka adalah perilaku Al. Setelah kejadian itu, Al sering mengiriminya pesan melalui DM dan Line-nya. Jika Acha lihat dari notifikasi, sepertinya laki-laki itu hendak mengajaknya bertemu dan meminta maaf. Tentu saja Acha sengaja tidak membacanya. Memangnya apalagi yang perlu mereka bahas? Toh, Al sudah sempat minta maaf sewaktu di rumahnya.
Setiap jam istirahat, Acha menolak untuk diajak ke kantin. Ia selalu membawa roti sebagai makanan sewaktu istirahatnya. Sementara baru makan siang setelah pulang sekolah. Entahlah, Acha masih merasa lesu dan malas untuk bergerak.
"Lo mau ke kantin, nggak?" Meski Serra tahu Acha akan menolak, gadis itu tetap keras kepala bertanya. Barangkali Acha berubah pikiran.
Acha menggeleng lalu mengambil roti dan menggigitnya. Sementara Maya menatap Acha dengan iba. Kalau dipikir-pikir, Al memang agak keterlaluan. Sudah tahu Acha menyimpan rasa, tetapi malah memberikan harapan dengan memperhatikannya.
"Nggak, nggak bisa begini terus. Udah hampir dua minggu, lo kayak gini. Mau sampai kapan?" tanya Serra sembari mengambil duduk di depan Acha. Kini, posisi mereka saling berhadapan.
"Sampai selesai move on," jawab Acha santai.
Maya menghela napas. "Aku tahu ini nggak mudah. Tapi cari cowok yang baru aja, Cha. Cowok yang bisa menghargai kamu sebagai perempuan."
Serra mengangguk setuju lalu menambahi kalimat Maya. "Lo deserve better. Lagian dari awal, lo emang nggak sepatutnya ngejar cowok. Seperti yang gue bilang dulu, cowok yang dikejar bakal semena-mena."
Maya yang mendengarnya langsung memukul lengan Serra pelan. Sepertinya mengajak Serra menghibur orang lain adalah sebuah kesalahan. "Kehidupanmu nggak harus soal percintaan kok. Kan masih ada tentang persahabatan dan keluarga. Itu udah lebih dari cukup buat bikin kamu bahagia."
"Yoi, nggak usah terlalu galau gitu. Dari awal, gue emang nggak sreg sama tuh cowok. Nggak ganteng pula!" tukas Serra.
Maya memberikan pelototan pada Serra. "Emm ... cari udara segar yuk? Biar otak kamu nggak penat."
Roti yang belum habis itu Acha taruh di laci bawah meja. Ia menenggelamkan wajahnya di atas meja. "Nggak minat, May. Kalian ke kantin aja, kapan-kapan gue nyusul."
Serra dan Maya saling menatap lalu membiarkan Acha menyendiri dulu. Di saat-saat seperti ini, memang waktu menyendiri yang paling dibutuhkan.
***
Bel sekolah SMA Nusa Bangsa berbunyi dari lima menit yang lalu. Maya mengecek ponselnya untuk memastikan Bagas menjemputnya pulang. Setelah itu, ia mengajak teman-temannya menuju parkiran. Sebenarnya Maya tidak enak membiarkan Bagas datang ke sekolahnya—mengingat Acha sedang ada masalah dengan sahabat Bagas. Tetapi sudah hampir dua minggu, Acha belum menunjukkan perubahan. Sementara Bagas terus menginginkan menjemputnya pulang dari sekolah.
Maya melambaikan tangan pada Bagas. Bagas yang melihat itu ikut melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Akhirnya ia mendapat kesempatan menjemput Maya pulang dari sekolah lagi. Lalu, mata Bagas bertemu dengan mata Acha yang mana gadis itu berdiri tepat di samping Maya. Bagas memberikan senyum lebar tetapi Acha hanya membalas dengan anggukan sebelum akhirnya duduk di kursi tunggu.
"Udah hampir dua minggu, Acha nggak ada perubahan," jelas Maya sembari memijat keningnya. "Aku sampai bingung mau gimana. Diajak ke sana nggak mau, diajak ke sini nggak mau. Cuman diem mulu."
Bagas menatap Acha dari kejauhan. "Coba biar aku yang ngomong sebentar."
"Temen kamu nggak mau minta maaf apa?"
"Dia udah nge-chat, tapi Acha nggak bales."
Maya yang mendengar itu sontak mendengus kesal. Ia melipat tangannya di dada. "Ya, dateng ke sini kek! Perasaan waktu Acha pedekate, Acha santai-santai aja ke sekolah kamu. Masa perjuangan dia cuman segitu doang?"
"Dia nggak berani kalau langsung ke sekolah tanpa permintaan Acha. Katanya takut dikira lancang," tutur Bagas.
"Alasan!" dengus Maya sebal. Maya semakin kesal dengan Al. Jadi, selama ini Acha lancang karena berani datang ke sekolah Al?
"Aku ke sana dulu ya," pamit Bagas.
Setelah mendapat anggukan dari Maya, Bagas berjalan menghampiri dua gadis yang duduk di kursi tunggu. Serra yang melihat kedatangan Bagas langsung berdiri dan memilih pergi. Ia tahu Bagas hendak berbicara berdua bersama Acha. Selagi niatnya baik, Serra membiarkan mereka berdua dan segera menghampiri Maya yang sendirian.
"Weh, gimana sama Maya? Kapan nembak nih? Jangan dianggurin temen gue." Acha berusaha terlihat asyik di depan Bagas untuk menghilangkan kecanggungan.
Bagas duduk di tempat Serra tadi. Ia menatap Acha dengan intens dan serius. "Nggak ada yang mau lo ceritain ke gue?" Bagas sengaja mengabaikan pertanyaan Acha.
Acha langsung tahu arah pembicaraan ini. Terdengar helaan napas berat. Acha menatap langit-langit yang tidak secerah biasanya. Sepertinya langit hari ini menyesuaikan mimik wajah Acha. "Gue benci kalau hasilnya nggak sesuai harapan. Kalau tahu hasilnya begini, mending dari awal nggak usah berjuang. Mending dari awal, gue sama Al cuman sebatas mutualan di Instagram doang."
"Kalau lo sama Al cuman sebatas mutualan, lo nggak bakal ketemu gue. Maya nggak bakal ketemu gue. Lo nggak bakal punya memori apa-apa sama Al. Kita juga nggak bakal pergi bareng ke Dufan." Bagas menatap Acha sambil tersenyum. Ia tidak pandai membuat kalimat penyemangat, tetapi setidaknya ia punya senyum yang mungkin bisa menenangkan Acha. "Kadang sebuah peristiwa ada baik dan buruknya. Jangan cuman lihat sisi buruknya aja, karena sisi baiknya banyak."
Acha mengusap wajahnya lalu menunduk. Matanya menatap kedua tangannya yang sedang memainkan kuku. "Terus gue harus gimana? Gue udah nggak bisa ketemu Al lagi."
"Karena perjanjian itu?" Al memang sempat menceritakan tentang perjanjiannya dengan Acha sebelum mereka pergi ke Dufan. "Lupain soal perjanjian. Al sendiri mau ketemu lo buat minta maaf, kan? Pakai kesempatan itu buat memperbaiki hubungan lo sama Al."
Acha menggeleng cepat. "Nggak segampang itu, Gas. Menurut lo, ketemu sama gebetan yang udah nolak, gampang? Tiap gue lihat Al, gue selalu keinget kata-kata dia yang nolak gue."
"Lo bolak-balik ngomong ditolak Al? Emang dia beneran nolak lo?"
Acha menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal. Sambil menyengir pelan, ia berkata, "Yah, Al cuman bilang nggak tahu sama belum siap pacaran. Kalau gitu artinya dia emang nggak suka, kan?"
"Belum tentu sih. Ah, dasar Al b*go!" umpat Bagas. "Udah, nggak usah terlalu mikirin dia. Semakin lo pikirin, lo bakal makin susah move on. Mulai sekarang fokus sama sekolah and sibukkin diri. Percaya sama gue, nggak sampai sebulan, lo bakal move on."
Acha tertawa pelan. Seharian ini, ia mendapat berbagai pencerahan dari teman-temannya. Mungkin memang Acha tidak ditakdirkan bersama Al. Atau, mungkin ditakdirkan tetapi belum saatnya?