Sena, gadis tujuh belas tahun yang di abaikan oleh keluarganya dan di kucilkan oleh semua orang. Dia bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan bullying yang setiap hari merampas kewarasannya.
Alih-alih mati menjadi arwah gentayangan, jiwa Sena malah tersesat dalam raga wanita dewasa yang sudah menikah, Siena Ariana Calliope, istri Tiran bisnis di kotanya.
Suami yang tidak pernah menginginkan keberadaannya membuat Sena yang sudah menempati tubuhSiena bertekad untuk melepaskan pria itu, dengan begitu dia juga akan bebas dan bisa menikmati hidup keduanya.
Akankah perceraian menjadi akhir yang membahagiakan seperti yang selama ini Siena bayangkan atau justru Tiran bisnis itu tidak akan mau melepaskan nya?
*
Ig: aca0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Sudah dua hari Siena berada di Indonesia, sejak pertemuannya dengan Gladys dan sejak gadis itu memaksa nya untuk pulang ke Limerick, Siena tidak lagi mau bertemu dengannya.
Siena tidak tahu apa-apa tentang masa remaja Siena, ia hanya mengantisipasi jika sewaktu-waktu Gladys ternyata bukanlah teman yang baik.
Masih tersisa dua hari lagi sebelum ia kembali ke Limerick, Siena akan menghabiskan waktunya untuk bermain di Dufan dan besok ia akan berburu oleh-oleh khas Indonesia. Ia akan membawakan untuk keluarganya dan mertuanya.
Siena sudah siap untuk pergi dengan mengenakan kemeja biru dan celana jeans putih, rambut panjangnya dibiarkan terurai. Ia juga membawa kamera dan tas kecil untuk menyimpan ponsel dan dompet.
Jarak rumah Siena dengan Dufan tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh lima menit menggunakan taksi.
Sesampainya di Dufan, Siena dengan semangat mencoba berbagai macam wahana permainan. Ia akan mengeluarkan teriakan keras saat naik wahana yang menegangkan.
Siena sudah mencoba sekitar lima wahana permainan ketika matahari mencapai titik tertingginya. Wanita cantik itu turun dengan wajah memerah kepanasan, netra nya berpendar ke sekeliling.
"Itu dia!" Pekiknya senang kala melihat penjual es krim yang tidak begitu jauh darinya, dengan berlari kecil Siena menghampiri penjual es krim.
"Bang, rasa vanilla satu!" Teriaknya dengan semangat, beberapa orang tertawa melihat betapa menggemaskan tingkah siena.
Satu kesamaan antara Sena dan Siena adalah sama-sama menyukai minuman dan es krim rasa vanilla.
"Ini neng," Siena mengambilnya dan menyerahkan selembar uang berwarna biru, "kembaliannya ambil aja bang."
Setelah mendapatkan es krim yang di mau, Siena mencari tempat teduh untuk duduk menikmati es krimnya.
Pilihan Siena jatuh pada sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang, ia duduk disana sambil memakan es krim. Sesekali tangannya terangkat untuk mengambil beberapa potret dirinya bersama es krim.
"Meskipun tidak banyak mendapatkan informasi, setidaknya liburan disini sangat menyenangkan."gumam Siena.
Sudah menjadi kebiasaan Siena saat sedang duduk di tengah keramaian, ia akan mengamati orang-orang yang berlalu-lalang.
"Siena,"
Siena menegang di tempat duduknya, lalu tubuhnya mulai gemetaran. Ada apa dengannya? Ia tidak mengenal pemilik suara itu tetapi kenapa reaksi tubuhnya sangat berlebihan. Dengan gerakan kaku Siena menoleh kearah kanan.
Seorang pria tinggi berwajah tampan berdiri di ujung bangku, dia memiliki potongan rambut mullet yang gagah dan sedang tersenyum lembut kearah Siena hingga menimbulkan satu lubang dangkal di pipi kanannya.
"Siena, ini beneran kamu? Kamu pulang demi aku?" Dia mendekat, duduk di samping Siena dengan penuh harap.
Siena tanpa sadar duduk menjauh, netra nya mengamati wajah pria itu dan seketika ia terkejut, pria ini adalah salah satu pria yang ada dalam foto itu, seseorang yang mungkin saja menjadi teman satu geng cinta pertama Siena.
"Si-siapa?" Tanya Siena meremas jemarinya cemas. Ia tidak nyaman, entah kenapa tubuh ini ingin sekali berlari menjauhi pria ini.
"Kamu bercanda kan? Jangan berpura-pura tidak mengenaliku, sie." Dia nampak tidak senang, kembali duduk mendekati Siena.
Siena memaksa badannya yang gemetaran untuk berdiri, setelah berhasil, ia pun berlari menjauhi pria itu.
"Aku Nando, Siena! Kamu pasti ingat kan?!"
Siena mengabaikan teriakan itu, ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Itu bukan keinginan siena, tetapi ada sesuatu yang mengendalikannya untuk berlari, Siena asli.
BRAK!
"Aduhh..."Ringis Siena ketika tak sengaja menabrak seseorang, ia hampir terjatuh jika saja sebuah tangan kekar tidak menahan pinggangnya.
"Erlan," Siena mendongak tidak percaya, ia menabrak Erlan. Tapi, tunggu? Bukankah Erlan berada di Paris saat ini? Ah, Siena pasti salah lihat. Ia menggosok kedua matanya lalu kembali melihat ke wajah orang yang ia tabrak.
Erlan! Ini beneran Erlan. Buru-buru Siena memperbaiki posisi berdirinya, tangan Erlan di pinggangnya seketika terlepas dan itu membuat Siena lega.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Siena canggung.
Erlan tidak menjawab melainkan menatap Siena dengan wajah datar andalannya, tangannya terulur dan belum sempat Siena mengelak tangan itu sudah lebih dulu menangkup pipinya, mengusap keringat yang entah sejak kapan ada disana. Mungkin karena takut atau mungkin karena berlari.
" Erl..." wajah Siena memerah, tidak terbiasa dengan perlakuan lembut Erlan.
"Pulang." Erlan meraih tangan Siena lembut, menuntunnya menuju parkiran. Setibanya disana, pria itu membuka pintu mobilnya lalu mendorong Siena untuk masuk.
Siena hanya bisa diam sembari mencerna perilaku Erlan yang tiba-tiba aneh. Tidak biasanya Erlan berlaku lembut, pria itu sudah terbiasa kasar dan penuh intimidasi pada Siena.
Erlan duduk di belakang kemudi, melajukan mobilnya meninggalkan Dufan. Erlan tidak mengatakan apa-apa, ia fokus menatap ke depan dengan mulut terkunci rapat.
"Erl, kok tiba-tiba bisa ada disini?" Tanya Siena memecah keheningan.
"Siapa pria tadi?" Bukan jawaban, Erlan balik bertanya.
Alis Siena bertaut, jadi Erlan melihatnya dengan pria tadi. Apa itu artinya Erlan juga melihat Siena berlari dengan konyol? Astaga, itu benar-benar memalukan.
"Aku tidak tahu." Siena memang tidak tahu siapa pria tadi, tapi sungguh membuatnya sangat penasaran, kenapa Siena takut dengan pria bernama Nando itu?
Erlan diam lagi, sebenarnya dia sedang berpikir. Erlan melihat semuanya dengan jelas, bagaimana pria itu mendekati Siena, bagaimana Siena yang mendadak ketakutan dengan pria itu, semuanya tidak luput dari pengamatan Erlan.
Lalu, entah mengapa ada sisi lain dalam dirinya yang ingin melindungi Siena, karena demi apapun Siena tadi itu terlihat sangat rapuh dan tidak berdaya.
Sebetulnya Erlan mengunjungi Indonesia untuk menyusul Cindy, kekasihnya itu tidak bisa di hubungi sejak dia menginjakkan kaki di Indonesia. Erlan khawatir terjadi sesuatu dengannya, siapa sangka ketika baru mendarat di bandara ia mendapat laporan dari Sean dan Paul kalau Cindy akan ada di Dufan .
Tanpa pikir panjang Erlan langsung membeli mobil dan melajukan langsung ke Dufan. Bukan bertemu Cindy, Erlan malah menemukan Siena yang sedang menikmati waktu liburannya.
Tapi, bukankah terlalu kebetulan jika Siena dan Cindy berada di tempat yang sama untuk kesekian kalinya?
Erlan tidak bisa tidak curiga, pertama ia tidak menyangka bahwa Siena akan berlibur ke Indonesia dan itu bersamaan dengan Cindy yang juga sedang berada di Indonesia.
" Sejak kapan kau mengenal Cindy?" Tanya Erlan seraya membelokkan stir mobilnya ke parkiran sebuah restoran bintang lima.
Siena menghela nafas panjang, lalu menjawab, "Dia temanku saat SMA."
"Teman? Lalu kenapa kau ingin merebut kekasih temanmu?" Mobil berhenti di parkiran, Erlan menoleh ke arah Siena, " kalau begitu kau juga tahu kalau Cindy sedang ada di Indonesia?"
" Entahlah, kurasa dulu aku gila karena merebut kekasih temanku bahkan sampai menikahinya." Rutuk Siena, lebih tepatnya merutuki Siena yang asli. Sejak dua hari lalu Siena sudah banyak berpikir, dan kesimpulan yang ia ambil adalah Cindy adalah salah satu teman baiknya di masa remaja.
Siena sungguh tidak mengerti kenapa sebagai teman baik, ia malah jatuh cinta pada kekasih temannya sendiri.
" Cindy di Indonesia?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu." Dengus Erlan lantas keluar dari dalam mobil.
Siena menyusul keluar dan mengikuti langkah panjang Erlan dengan terseok-seok, "aku nggak tahu kalau dia ke Indonesia. Jadi, kau kesini untuk bertemu dia?"
Erlan mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang hampir penuh, ia melangkah lebar ke sudut, satu-satunya meja yang masih kosong.
" Siapa yang sedang kau bodohi? Cindy ada di Dufan dan kau juga ada disana, tidak mungkin kebetulan kan?" Selidik Erlan setelah mereka duduk saling berhadapan.
"Kau sudah bertemu Cindy?"
Erlan menggeleng.
"Lalu darimana kau tahu kalau dia juga ada di Dufan?" Tanya Siena kesal, bisa-bisanya Erlan menuduhnya mengikuti Cindy.
"Mau pesan apa?" Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang waiters mendatangi meja mereka.
"Pesan apa?" Erlan melirik Siena sekilas.
"Aku?" Siena menunjuk dirinya sendiri yang mendapat anggukan malas dari Erlan.
"Eum...aku pesan Beef steak dan spaghetti." Siena langsung menyebutkan makanan kesukaannya. Siena sangat suka daging dan mie, bahkan ketika masih menjadi Sena, ia rela berkerja part time untuk bisa membeli kedua makanan tersebut. Kalau hanya mengandalkan uang saku yang diberikan orang tuanya tentu tidak akan cukup, karena mereka hanya memberinya dengan nominal yang sedikit.
"Kenapa?" Tanya Erlan melihat wajah sedih Siena.
"Eh!" Siena mengerjap, sibuk melamun sampai ia tidak sadar kalau waiters tadi sudah pergi.
Lalu keduanya sama-sama diam menunggu makanan datang. Siena berkali-kali melirik Erlan yang sedang sibuk memainkan ponsel.