NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:954
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦢꦸꦮ

Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari sebulan, Harlic akhirnya tiba di Mataram, kota yang penuh dengan kehangatan dan keramahtamahan. Hari itu, matahari bersinar cerah, seolah turut merayakan kedatangannya. Di sepanjang jalan menuju pusat kota, Harlic dapat melihat para penduduk pribumi yang telah berkumpul sejak pagi hari. Mereka mengenakan pakaian tradisional yang indah, dengan senyum ramah menghiasi wajah mereka.

Ketika Harlic memasuki alun-alun kota, suasana meriah langsung menyambutnya. Hiasan-hiasan berwarna-warni menggantung di sepanjang jalan, sementara irama gamelan mengalun lembut, menciptakan suasana yang penuh dengan keakraban. Anak-anak kecil berlari-lari sambil membawa bunga, sesekali melemparkannya ke arah rombongan Harlic sebagai bentuk penghormatan.

"Selamat datang, Harlic! Akhirnya kau tiba juga," katanya penuh antusias.

"Terima kasih, sepupuku William," ujar Herlic dengan senyum lelah tetapi penuh kehangatan. Ia lalu memeluk sepupunya yang sangat ia rindukan itu, pelukan yang dipenuhi rasa syukur setelah perjalanan panjang yang telah dilaluinya.

William, yang mengenal betul sifat Herlic, segera memahami bahwa sepupunya pasti kelelahan setelah perjalanan berbulan-bulan melewati lautan dan daratan. Ia dapat melihat dari raut wajah Herlic, meski ia tersenyum, tubuhnya memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. William pun segera mengambil tindakan.

“Kau pasti sangat lelah, Herlic,” ujar William dengan nada penuh perhatian. "Mari, biarkan kami membawamu ke tempat kami. Di sana kau bisa beristirahat dengan nyaman, dan aku akan memastikan kau mendapatkan apa pun yang kau butuhkan."

Dengan gerakan tangan yang lembut, William memanggil beberapa pemuda pribumi yang telah bersiap membantu. Mereka dengan sigap membawa barang-barang Herlic yang berat, sementara William memimpin perjalanan menuju rumahnya, sebuah tempat sederhana tetapi penuh kehangatan dan suasana keluarga.

Herlic mengikuti langkah William dengan rasa syukur yang mendalam. Sepanjang jalan, ia mengamati pemandangan sekitar kebun kelapa, rumah-rumah tradisional dengan ukiran kayu yang indah, dan masyarakat yang tampak sibuk tetapi ramah. Ia merasa seolah telah menemukan tempat yang tidak hanya akan menjadi persinggahan, tetapi mungkin juga rumah kedua baginya.

"Beristirahatlah dulu," lanjut William saat mereka tiba. "Nanti malam kita bisa berbincang lebih banyak. Tapi sekarang, kau perlu memulihkan tenagamu." Herlic hanya bisa mengangguk sambil tersenyum, merasa beruntung memiliki sepupu seperti William, seseorang yang tahu persis apa yang ia butuhkan tanpa harus diminta.

"Terima kasih," ucap Herlic dengan suara pelan namun tulus, matanya menatap William penuh rasa syukur. Meski kelelahan menyelimuti tubuhnya, ia merasa hangat oleh perhatian yang diberikan sepupunya.

William menepuk bahu Herlic dengan lembut sambil tersenyum, seolah berkata tanpa kata-kata, "Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih, keluarga adalah segalanya." Ia kemudian berjalan di depan, memastikan Herlic diiringi dengan baik menuju tempat peristirahatan.

***

Malam itu, suasana di ruang tengah rumah William terasa serius. Sebuah peta besar tanah Jawa terbentang di atas meja kayu. Lampu minyak yang menggantung di langit-langit menerangi ruangan dengan cahaya temaram, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. William, dengan sikap tenang namun penuh wibawa, menunjuk bagian timur peta sambil menjelaskan rencana yang telah ia susun matang-matang.

"Di sinilah kau akan berkuasa," ujar William, menunjuk wilayah di timur. "Tempat ini strategis, bukan hanya karena menjadi pusat perdagangan tetapi juga karena di sanalah keluarga kita, Mela dan Nyai Ciliwa, tinggal. Ini akan memudahkanmu mendapatkan dukungan awal. Kau akan bertanggung jawab mengelola politik, perekonomian, dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat."

Herlic memperhatikan peta itu dengan seksama. Ia bisa merasakan tanggung jawab besar yang tengah disematkan padanya. Ini bukan sekadar tugas biasa; ini adalah langkah awal untuk membuktikan dirinya. Namun, di balik antusiasmenya, ada rasa cemas yang menggelitik.

William menatap Herlic dengan tajam. "Kau sudah tahu cara mainnya?" tanyanya dengan nada tegas, memastikan bahwa sepupunya siap menerima tantangan besar ini.

Herlic terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Belum sepenuhnya," akunya jujur, "ini kali pertama aku mengambil tanggung jawab sebesar ini. Tapi aku siap belajar, dan aku akan melakukan yang terbaik."

William tersenyum tipis, seolah puas dengan kejujuran Herlic. "Bagus. Kau tidak perlu tahu segalanya sekarang. Yang penting adalah kemauanmu untuk belajar dan keberanianmu untuk bertindak. Aku akan membimbingmu di awal, tapi selebihnya, kau harus berdiri di atas kakimu sendiri."

"Kelola bagian timur dengan caramu sendiri. Pastikan mereka patuh di bawah perintahmu, ya," ujar William sambil memukul pelan bahu Herlic, sebuah isyarat dukungan sekaligus pengingat tanggung jawab besar yang kini ada di pundaknya.

Herlic mengangguk mantap, meskipun hatinya masih dipenuhi campuran antara semangat dan keraguan. "Aku akan melakukannya, William. Tapi bagaimana jika ada yang mencoba melawan atau tidak setuju dengan kebijakan yang aku buat?" tanyanya, mencoba mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan.

William tersenyum kecil, lalu duduk kembali sambil menyilangkan tangannya di dada. "Itulah seni dalam memimpin, Herlic. Kau tidak hanya harus menjadi pemimpin yang kuat, tetapi juga bijak. Kadang, kekuatan perlu ditunjukkan, tapi lebih sering, kau perlu memenangkan hati mereka. Temui tokoh-tokoh setempat, pelajari adat mereka, dan buat mereka percaya bahwa kau adalah pemimpin yang peduli."

Herlic mendengarkan dengan saksama. Ia tahu bahwa ini lebih dari sekadar tugas. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu memimpin dengan caranya sendiri. "Aku akan mencoba melakukan itu. Tapi, jika semuanya gagal?" tanyanya lagi.

William tidak memberikan jawaban apa pun. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh arti namun sulit diartikan.

"Baik, aku akan mengelola bagian timur sesuai dengan caraku. Aku tidak akan mengecewakanmu."

"Bagus," ujar William, berdiri dan meraih gelas berisi air. "Ini hanya awal, Herlic. Jalani langkahmu dengan hati-hati, tapi jangan takut mengambil risiko. Selamat datang di dunia yang sebenarnya." Malam itu, tekad Herlic semakin bulat. Ia tahu, ini adalah awal perjalanan panjangnya sebagai pemimpin.

Ia berdiri perlahan, menepuk bahu Herlic sekali lagi, kemudian berjalan meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sedangkan Herlic tetap duduk di tempatnya, matanya terpaku pada peta besar yang terbentang di hadapannya.

Tersebut. Herlic mempelajari berbagai aliansi yang terjalin antara suku-suku lokal, serta dinamika kekuasaan yang rapuh di antara pemimpin-pemimpin adat. Ia memahami bahwa pendekatan yang kasar dan otoriter hanya akan memicu perlawanan, sementara pendekatan diplomatik yang cermat dapat membuka peluang untuk menciptakan stabilitas yang berkelanjutan.

Namun, politik hanyalah satu sisi dari tantangan itu. Herlic juga menghabiskan waktu memahami ekonomi perdagangan wilayah timur yang unik. Ia mencatat bagaimana hasil bumi, seperti rempah-rempah, kayu, dan hasil laut, menjadi komoditas utama yang dipertukarkan. Ia belajar tentang jalur perdagangan yang menghubungkan desa-desa pesisir dengan pasar-pasar besar di kota-kota pelabuhan. Di setiap transaksi, ada permainan kekuatan antara pedagang lokal dan pihak asing yang memperebutkan keuntungan.

Tidak berhenti di situ, Herlic pun mendalami sistem kerja pribumi. Ia mulai memahami pola-pola kerja masyarakat setempat, yang erat kaitannya dengan musim, adat istiadat, dan hubungan sosial. Mereka memiliki ritme hidup yang berpusat pada harmoni dengan alam, sesuatu yang jauh berbeda dari sistem industri yang selama ini ia kenal. Herlic menyadari bahwa jika ia ingin menerapkan perubahan, itu harus dilakukan dengan menghormati tradisi yang telah berakar kuat dalam kehidupan mereka.

Malam itu, di tengah kesunyian, Herlic merenungkan semuanya. Setiap informasi yang ia serap membuka mata hatinya lebih luas, memperlihatkan bahwa tanggung jawabnya bukan hanya soal mengelola, tetapi juga soal memahami dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Di sinilah Herlic menyadari, bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar soal kekuasaan, melainkan soal kebijaksanaan dan empati.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!