NovelToon NovelToon
Dosa Dibalik Kebangkitan

Dosa Dibalik Kebangkitan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Kutukan / Fantasi Wanita / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wati Atmaja

Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembangunan Kedua

Hawa dingin musim dingin perlahan memudar, berganti dengan udara segar yang membawa aroma tanah basah. Pagi-pagi buta, warga Rivendale berkumpul di lapangan dekat benteng. Hari ini adalah momen penting: tahap kedua pembangunan dimulai. Mereka akan menggali sungai buatan yang mengelilingi benteng dan membangun jembatan kayu yang dapat diangkat sebagai bagian dari sistem pertahanan.

Di lokasi penggalian, suara sekop yang menghantam tanah bergema. Tanah basah musim semi mempermudah pekerjaan, tetapi hujan ringan semalam membuat beberapa area licin dan berlumpur. Para pekerja, penuh semangat, tetap harus berhati-hati agar tidak terpeleset.

"Angkat tanah ini ke gerobak dengan cepat! Kita harus mengalirkan air dari sungai utama sebelum minggu ini selesai," teriak seorang mandor, menyemangati kelompoknya.

Beberapa anak muda membantu mengangkut tanah menggunakan ember, sementara para wanita membawa sup hangat dan roti untuk para pekerja. Kehangatan makanan sederhana itu menjadi penguat tenaga sekaligus pengingat bahwa pekerjaan ini adalah demi melindungi keluarga mereka.

Di sisi barat benteng, tukang kayu sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk membangun jembatan. Kayu-kayu yang telah ditebang saat musim dingin kini cukup kering untuk digunakan. Master Willem, tukang kayu terbaik di Rivendale, memimpin pekerjaan dengan ketelitian yang luar biasa.

"Engsel ini harus selesai sebelum hujan berikutnya," katanya kepada pandai besi yang sedang memanaskan besi untuk membuat sambungan jembatan. Jembatan itu dirancang menggunakan sistem katrol sederhana agar dapat diangkat ketika terjadi serangan.

Sementara itu, di kamar sederhana mereka, cahaya matahari musim semi masuk melalui jendela kecil, menyinari debu-debu halus di udara. Kelan perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa pegal setelah seharian bekerja keras di lokasi pembangunan kemarin. Ia duduk di tepi ranjang, meregangkan otot, lalu menoleh ke arah sudut ruangan.

Di sana, Rea masih terlelap, meringkuk di bawah selimut tebal. Rambut hitam panjangnya berantakan di atas bantal, napasnya teratur. Melihat itu, Kelan tersenyum kecil. “Dia pasti lelah setelah seharian bekerja di pasar dan mengurus ramuan,” pikirnya.

Setelah mencuci muka, Kelan pergi untuk makan pagi bersama Lord Adric dan Lady Eleanor. Di meja makan, pembicaraan mereka segera mengarah pada proyek pembangunan.

“Musim semi awal memberikan kondisi ideal untuk menggali sungai,” kata Lord Adric. “Tanah yang lembut mempermudah pekerjaan, meskipun hujan dapat membuat tanah licin. Para pekerja tetap harus waspada.”

“Bagaimana dengan alat-alat mereka? Apakah semuanya cukup memadai?” tanya Lady Eleanor.

“Masih sederhana,” jawab Lord Adric. “Sekop, cangkul, dan gerobak kayu. Kita harus menjaga ritme kerja agar produktivitas tetap tinggi.”

Rea, yang baru bergabung setelah menyelesaikan sarapan, menyela dengan sopan. “Apakah sungai ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk pertanian?”

Lord Adric tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Tentu. Selain sebagai perlindungan, sungai ini dapat mengaliri ladang di sekitar benteng. Dengan demikian, persediaan makanan warga akan lebih aman.”

Lady Eleanor menambahkan, “Gandum musim semi, barley, dan sayuran seperti kacang polong sudah mulai ditanam. Kami juga memanfaatkan padang rumput yang mulai hijau kembali untuk menggembalakan sapi dan kambing.”

Rea tampak berpikir sejenak. “Jika kita bisa menanam tumbuhan obat di sekitar sungai, itu juga akan membantu warga. Saya punya beberapa buku tentang ramuan yang bisa menjadi panduan.”

Kelan ikut menyumbang ide, “Saya pernah melihat di desa tetangga, mereka membangun sistem irigasi kecil dari sungai buatan untuk mengairi ladang mereka. Jika kita mengadaptasi itu, pertanian kita bisa jauh lebih produktif.”

“Betul,” sahut Rea. “Di pasar, saya melihat jarang sekali tanaman obat yang dimanfaatkan untuk kesehatan. Jika kita mengembangkan pertanian obat, kita bisa memproduksi ramuan herbal untuk meningkatkan kesehatan warga. Selain itu, jika dikelola dengan baik, hasil dari tanaman obat ini bisa dijual ke kota lain, memberikan pemasukan tambahan bagi Rivendale.”

Lady Eleanor tampak tertarik. “Itu ide cemerlang. Dengan begitu, kita tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga memperbaiki ekonomi warga. Kita bisa mengajarkan mereka cara mengolah tanaman obat menjadi produk seperti salep atau tonik. Ini juga bisa menjadi keterampilan baru bagi mereka.”

Lord Adric mengangguk setuju. “Jika pembangunan sungai dan jembatan selesai, kita bisa mulai mengembangkan area di sekitarnya. Kita akan prioritaskan tanaman obat dan tanaman pangan yang mendukung kebutuhan warga.”

Rea menambahkan, “Selain itu, kita bisa mendirikan semacam pusat pembelajaran kecil di dekat ladang. Di sana, warga bisa belajar cara menanam, meracik ramuan, dan menggunakan obat-obatan secara efektif.”

Lady Eleanor tersenyum hangat. “Saya setuju. Pusat pembelajaran itu juga bisa menjadi tempat untuk anak-anak belajar membaca dan menulis. Dengan begitu, generasi berikutnya akan lebih terdidik dan mampu menjaga Rivendale dengan lebih baik.”

Percakapan itu berlanjut dengan penuh semangat. Mereka tidak hanya membicarakan proyek pembangunan, tetapi juga bagaimana Rivendale dapat menjadi komunitas yang mandiri, sehat, dan sejahtera di masa depan.

Setelah diskusi selesai, Lord Adric berjalan ke lokasi pembangunan benteng untuk mengawasi pekerjaan secara langsung. Sementara itu, Lady Eleanor tetap di ruang kerja, menyelesaikan administrasi kerajaan dan mencatat kemajuan proyek.

Setibanya di ladang, Rea turun dari kereta kuda dengan semangat. Udara musim semi terasa segar, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga liar yang bermekaran di sepanjang jalan. Burung-burung berkicau riang, menciptakan harmoni alam yang menenangkan.

Rea melangkah turun, membiarkan kakinya menyentuh rumput yang masih basah oleh embun pagi. Ia berjalan perlahan menuju padang rumput tempat para petani sibuk bekerja menanam gandum dan barley. Di ladang sebelah, beberapa warga menanam sayuran seperti bayam, kacang polong, dan lobak untuk memenuhi kebutuhan harian Rivendale.

“Lihatlah, Kelan,” ujar Rea sambil menghela napas lega. “Hidup benar-benar kembali ke Rivendale setelah musim dingin yang panjang. Pemandangannya luar biasa.”

Kelan yang berdiri di sampingnya mengangguk, matanya mengamati ladang yang subur. “Ini awal yang baik. Tapi kita masih banyak pekerjaan. Jika aliran sungai buatan selesai, kita bisa memastikan ladang ini mendapat irigasi yang cukup.”

Rea tersenyum kecil. “Itu akan sangat membantu para petani. Kita harus memastikan tidak ada kekurangan air saat musim panas tiba.”

Kelan menatapnya dengan senyum hangat. “Kamu benar-benar peduli dengan orang-orang di sini. Itu sesuatu yang luar biasa.”

Wajah Rea memerah, tapi dia berusaha tetap tenang. “Aku hanya ingin semua orang hidup lebih baik. Bukankah itu juga tujuan kita sekarang?”

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ladang, berbincang dengan petani untuk mendengar keluhan dan harapan mereka. Para petani bekerja dengan penuh semangat, menanam benih di bawah sinar matahari pagi. Anak-anak kecil membantu menggiring ayam kembali ke kandang sambil tertawa riang.

Di salah satu sudut ladang, Rea menemukan Paman Elric, seorang petani tua yang sedang menanam gandum bersama kelompoknya.

“Selamat pagi, Rea!” sapa Elric dengan senyum ramah. “Apa yang membawamu ke sini hari ini?”

Rea membalas senyumannya. “Saya ingin melihat bagaimana keadaan ladang. Semuanya baik-baik saja, kan?”

Elric mengangguk. “Tanahnya bagus tahun ini, tapi kami khawatir hujan deras akan membuat air menggenang dan merusak benih.”

Mendengar itu, Rea merasa harus berbicara dengan Kelan mengenai irigasi. Dia bergegas menemui Kelan yang sedang berdiskusi dengan beberapa pekerja di dekat sungai buatan.

“Kelan,” panggil Rea sambil mendekat. “Para petani khawatir tentang air yang menggenang di ladang. Apakah irigasi dari sungai ini bisa membantu mereka?”

Kelan menoleh dan tersenyum. “Itu memang rencananya. Setelah aliran utama selesai, kita akan membuat saluran kecil untuk mengairi ladang di sekitar benteng.”

Rea merasa lega mendengar jawaban itu. Dia melangkah lebih dekat untuk melihat peta yang sedang dipelajari Kelan, tetapi tidak menyadari tanah di bawahnya licin karena lumpur.

Tiba-tiba, kakinya terpeleset. Rea terhuyung dan hampir terjatuh ke genangan lumpur di dekat sungai.

“Rea!” Kelan bergerak cepat, menangkap lengannya sebelum tubuhnya jatuh. Dia menarik Rea ke pelukannya untuk menahan keseimbangan.

Waktu seolah berhenti. Rea mendapati dirinya dalam pelukan Kelan, wajah mereka begitu dekat. Matanya bertemu dengan tatapan Kelan yang penuh perhatian dan kekhawatiran. Napas Rea terengah, bukan karena takut, tetapi karena sesuatu yang lain—perasaan hangat yang tiba-tiba melingkupi hatinya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Kelan dengan nada lembut.

Rea mengangguk, wajahnya memerah. “Terima kasih. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah kotor penuh lumpur sekarang.”

Kelan tersenyum kecil, tetapi tidak segera melepaskan pelukannya. “Aku tidak akan membiarkanmu jatuh, Rea.”

Rea merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dalam pelukan Kelan, ia merasa aman dan terlindungi, meskipun hatinya bergetar oleh kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Akhirnya, Kelan melepaskan pelukannya, tetapi tetap memastikan Rea berdiri dengan stabil. “Hati-hati. Tanah di sini licin karena hujan semalam,” ujarnya, suaranya terdengar lembut tetapi tegas.

Rea tersenyum malu-malu. “Aku akan lebih berhati-hati. Terima kasih, Kelan.”

Kelan mengangguk, senyum hangatnya masih tersisa. “Ayo kita lanjutkan. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”

Meski mereka kembali berbicara serius tentang irigasi, suasana di antara mereka terasa berbeda. Ada kehangatan baru yang terjalin di bawah langit musim semi, seperti benih yang mulai tumbuh perlahan di hati keduanya.

1
seftiningseh@gmail.com
menurut aku episode satu di novel ini sangat bagus aku tarik baru baca sedikit menurut aku pribadi novel ini memiliki sedikit nuansa fantasi
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih
Wati Atmaja: terima kasih ya komentarnya.Aku makin semangat.
total 1 replies
Subaru Sumeragi
Begitu terobsesi sama cerita ini, sampai lahap ngelusin buku dari layar!
Wati Atmaja: makasih kaka. tambah semangat nulis cerita ya
total 1 replies
naruto🍓
Penulis berhasil menghadirkan dunia yang hidup dan nyata.
Wati Atmaja: terima kasih atas komentarnya /Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!