SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Meregang
Cakra
Tidur Anja jelas tak nyenyak karena beberapa kali terbangun dengan ekspresi terkejut. Apalagi Mama Anja yang bahkan sama sekali tak tidur sejak semalaman. Hanya duduk mencangkung dengan mata menerawang. Atau berbicara di telepon sambil terisak-isak. Sepertinya kondisi kesehatan Papa Anja selama ini selalu fit, hingga ketika tiba-tiba jatuh sakit, semua merasa kaget kemudian bersedih.
Dan semalam setelah Papa Anja dipastikan dirawat di ICU, ia menelepon Kak Pocut, "Maaf Kak, malam ini aku tak pulang."
"Kenapa?!" kejar Kak Pocut. "Jangan macam-macam, Gam! Cepat kau antar Anjani ke rumahnya lalu pulang!"
"Aku sedang mengantar Papanya Anja ke rumah sakit."
"Astaghfirullah, ada apa lagi ini Gam?"
"Papa Anja kena stroke, Kak. Aku baru bisa pulang besok."
Setelah itu ia juga mengirim pesan chat -dengan pertimbangan kalau menelepon khawatir mengganggu istirahat karena sudah terlalu malam- kepada Bang Fahri, meminta maaf karena besok tak bisa masuk kerja. Yang langsung dibalas oleh Bang Fahri dengan,
Bang Fahri. : 'Lain kali jangan mendadak.'
Cakra. : 'Iya Bang, maaf.'
Ia tahu Bang Fahri kesal padanya karena memberi info mendadak. Ia sungguh berharap, semoga Bang Fahri punya orang cadangan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu jika ada salah satu pegawainya yang mendadak berhalangan hadir seperti dirinya saat ini.
Sekarang sudah pukul 06.30 WIB. Dan ia baru saja pulang dari membeli sarapan untuk mereka bertiga. Ketika Anja berkata ketus, "Ngapain repot-repot?! Kan masih ada roti yang semalam?!"
"Orang Indonesia nggak sarapan kalau belum makan nasi," jawabnya mencoba tersenyum meski sebal setengah mati mendapati kelakuan Anja yang kian lama bukannya kian membaik justru semakin menjengkelkan. Berbanding terbalik dengan sikap Mama Anja yang selalu ramah dan menyenangkan.
"Makasih ya Cakra, kamu jadi repot-repot begini ngurusin Tante sama Anja."
"Enggak repot Tante," jawabnya sambil tersenyum. Jujur ia sama sekali tak merasa direpotkan. Namun sikap Anja yang menyebalkan membuat egonya lumayan tersentil.
Dan ketika ia kembali mendudukkan diri di sebelah Anja, cewek -cantik- berisik itu sedang melahap nasi uduk pemberiannya dengan lahap.
"Besok kalau beliin gue nggak usah pakai bihun sama sambal. Gue nggak suka pedes!" sungut Anja sambil meminggirkan bihun dan sambal ke pinggir box.
Membuatnya tertawa kecil karena memikirkan satu hal yang menggelitik, "Jadi, kamu berharap aku masih disini sampai besok...."
"Apa tuh maksudnya?!" Anja menyalak sengit.
"Itu barusan, kalau besok beliin kamu sarapan lagi nggak usah pakai bi...."
Namun kalimatnya menguap di udara karena Anja keburu memelototinya. "Idih, amit-amit! Ge-er banget sih jadi orang!"
Ia hanya tersenyum simpul penuh kemenangan tak menggubris kekesalan Anja, lebih memilih untuk menyantap nasi uduk miliknya. Dan usai sarapan, Anja justru kembali terkantuk-kantuk. Kali ini kepala cewek berisik itu bahkan telah menyandar di bahunya. Sepertinya tak sadar karena sudah terlalu nyenyak. Karena jika dalam keadaan sadar, Anja pasti langsung menjauh sambil bersungut-sungut kesal.
Perlahan namun pasti, suasana sepi dan hening di ruang tunggu ICU membuatnya ikut terkantuk-kantuk. Entah sudah berapa lama ia menahan diri agar tak sampai tertidur karena khawatir Mama Anja memerlukan bantuannya ketika seorang pria berbadan tegap dengan setengah berlari datang menghampiri mereka.
Mama Anja langsung menyambut dan memeluk pria tersebut sambil menangis tersedu-sedu selama beberapa saat sebelum mulai menceritakan kronologi kejadian.
Ia masih menahan bahunya agar tak bergerak sedikitpun supaya tidur nyenyak Anja tak terganggu ketika Mama Anja menunjuk kearahnya sebelum pria muda itu masuk ke dalam ruang ICU.
"Itu tadi kakak kedua Anja," terang Mama Anja yang berjalan menghampiri tempat duduknya. Sementara Anja masih tertidur nyenyak dengan bersandar di bahunya.
"Namanya Sada, lagi tugas di Jogja," lanjut Mama Anja sambil mendudukkan diri dua kursi di sebelahnya.
Ia tersenyum sambil mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Semalam waktu di telepon untung lagi nggak pegang kasus apa-apa. Jadi bisa langsung kesini pakai pesawat pertama."
"Jangan kaget ya," kali ini Mama Anja tersenyum. "Jarak umur mereka memang jauh."
"Dulu Tante pikir cuma punya dua anak. Ya Sada sama Tama, kakaknya."
"Eh, pas Tante umur 40 tahun, lha kok tiba-tiba malah hamil lagi," Mama Anja kembali tersenyum.
"Ya Anja ini," sambil menunjuk Anja yang masih terlelap bersandar di bahunya.
"Jaraknya sama Sada 15 tahun, sama Tama 18 tahun."
"Waktu itu Tama udah kelas 3 SMA, Sada kelas 3 SMP," mata Mama Anja menerawang. "Tapi mereka berdua nggak malu mau punya adik lagi. Malah seneng banget. Apalagi pas tahu adiknya perempuan. Makin makin sayangnya."
Mama Anja terdiam sejenak lalu kembali melanjutkan, "Saking disayang sama semua orang di rumah, Anja tumbuh jadi anak manja yang galak dan maunya menang sendiri."
"Kadang suka bersikap seenaknya sama orang lain," kali ini Mama Anja sambil menggelengkan kepala. "Nggak bisa mikirin perasaan orang lain. Kalau punya mau ya harus dapat saat itu juga."
"Salah Tante juga terlalu menuruti semua keinginannya. Jadi udah segede ini juga susah dikasih tahu."
"Yang bisa ngatur Anja itu cuma Tama."
"Anja lebih takut sama Tama dibanding sama Mama Papanya."
"Kalau Tama udah ngomong, sekali aja pasti langsung ngena."
"Makanya tiap Anja kena masalah, pasti yang handle Tama, bukannya kita berdua."
"Kita berdua cukup tahu beres. Nggak perlu ikut turun tangan," ujar Mama Anja kali ini sambil terkekeh.
Selama Mama Anja bercerita ia hanya bisa mengangguk-angguk sambil sesekali tersenyum membayangkan kira-kira bagaimana reaksi Anja jika mengetahui Mamanya bercerita seterbuka ini.
"Sabar ya ngadepin Anja," kali ini Mama Anja menepuk bahunya pelan. Membuatnya berusaha untuk kembali mengangguk sesopan mungkin.
"Jadi, udah berapa lama kenal sama Anja? Kok Anja nggak pernah cerita sama Mama sama Papa tentang kamu."
Ia baru akan menjawab, namun kalimat lanjutan dari Mama Anja membuatnya terbatuk-batuk, "Udah berapa lama kalian pacaran?"
Ia masih terbatuk-batuk ketika pintu ruang ICU terbuka, disusul dengan keluarnya kakak Anja yang langsung berjalan menghampiri mereka.
"Udah?" Mama Anja bertanya.
Kakak Anja mengangguk, "Kata perawat nanti sekitar jam satu atau dua bisa pindah ke ruang perawatan."
"Alhamdulillah," Mama Anja mengucap syukur dengan penuh kelegaan."Bisa ngobrol tadi?"
Kakak Anja menggeleng, "Papa lagi tidur. Cuma informasi dari perawat, kondisinya udah termasuk stabil. Makanya nanti siang bisa pindah ke ruang perawatan."
"Papa tersumbat pembuluh darahnya, jadi kesempatan untuk sembuh lebih tinggi dibanding yang pecah pembuluh darah."
Mama Anja mengangguk-angguk, "Ya, semoga memang benar begitu."
Kemudian beralih kearahnya, "Ini yang Tante ceritain tadi, Sada, kakaknya Anja yang kedua."
"Da, ini nih kenalin, Cakra, pacarnya Anja....."
"Iya Cakra kan namanya?" lanjut Mama Anja lagi sambil melihat kearahnya berusaha untuk lebih meyakinkan.
Ia mengangguk sambil meringis merasa tak enak hati. Tak bisa membayangkan kira-kira apa reaksi cewek berisik ini jika mengetahui kenyataan bahwa mereka dianggap sebagai pasangan kekasih.
"Pacar?" mata Sada langsung men screening keseluruhan dirinya dari atas sampai bawah dengan tatapan setajam silet.
"Anak manja ini udah boleh pacaran?" Sada mengernyit kearah Mama Anja.
"Namanya juga anak sekolah," seloroh Mama Anja sambil terkekeh. "Cinta monyet udah biasa."
Akhirnya ia pun bersalaman dengan kakak Anja yang bernama Sada itu. Tepat bersamaan dengan menggeliatnya Anja di atas bahunya.
"Heh, putri tidur!" seloroh Sada sambil menyentil hidung Anja.
"Idih, siapa sih ini?" gerutu Anja yang langsung terbelalak demi melihat Sada yang sedang tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangan lebar-lebar.
"Ya ampuuun, Mas Sada?" Anja melonjak kegirangan dan langsung menghambur ke dalam pelukan Sada.
Mereka berdua berpelukan lumayan lama sambil tertawa-tawa.
"Mas Sada kapan datang? Teh Dara ikut kan? Arka, Yasa, sama Lana dimana?"
"Di rumah lah, nggak ikut," Sada menoyor kepala Anja. "Ini kan emergency."
Anja merengut, "Harusnya diajak biar seru."
Namun Sada mencibir, "Biar seru gimana? Bukannya kamu udah punya keseruan sendiri," lanjut Sada sambil terkekeh.
"Keseruan apaan?" Anja merengut.
"Kecil-kecil udah punya pacar ya. Berani-beraninya," jawab Sada sambil mencubit hidung Anja. "Pacarnya harus di ospek dulu nih sama kita-kita."
Ucapan Sada serta merta membuat Anja memberi tatapan membunuh padanya. Namun entah mengapa, ia tak merasa kesal, tapi justru ketakutan. Karena setelah memelototinya, Anja langsung ambruk tak sadarkan diri di pelukan Sada.
Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa ketika tubuh Anja dibopong oleh Sada ke ruang IGD, diikuti langkah tergesa Mama Anja yang berpesan dengan suara panik padanya, "Cakra tolong tunggu disini ya, khawatir dipanggil dokter tentang keadaan Papa. Nanti langsung panggil Tante ya."
"Baik Tante."
Ia duduk menunggu dengan gelisah, sambil sesekali melihat kearah ruang IGD yang hanya dibatasi selasar dari tempat duduknya saat ini. Sambil berharap semoga keadaan Anja -dan kandungannya- baik-baik saja.
Lima belas menit kemudian Mama Anja telah kembali menemuinya dan langsung mendudukkan diri di sebelahnya.
"Gimana Anja Tante?" tanyanya benar-benar ingin tahu, meski campur khawatir. Takut keadaan Anja yang sebenarnya diketahui oleh semua orang sebelum mereka sendiri yang memberi pengakuan.
"Udah sadar," Mama Anja tersenyum. "Cuma masih lemes. Lagi nunggu dokter yang mau meriksa sambil ditungguin sama Sada."
"Tante disuruh nunggu disini aja katanya biar bisa duduk," lanjut Mama Anja sambil menguap.
Selang setengah jam kemudian Sada muncul dari arah ruang IGD dengan langkah tergesa, dan langsung menghampiri Mama Anja. Mereka bercakap-cakap sambil setengah berbisik. Hingga ia tak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan.
"Cakra," Mama Anja memanggilnya bersamaan dengan Sada yang kembali berjalan cepat menuju ruang IGD.
"Ya Tante?"
"Kata dokter Anja kecapekan, harus istirahat di rumah. Tolong kamu antar pulang ya."
"Baik Tante," ia mengangguk. "Nanti Tante jadi sendirian?"
Mama Anja menggeleng, "Nanti habis ngantar Anja ke rumah, Sada kesini lagi. Tama juga lagi on the way."
Ia kembali mengangguk, "Mari Tante."
"Hati-hati di jalan ya."
Namun sepanjang perjalanan pulang ke rumah Anja, yang ia rasakan justru ketegangan. Karena Sada yang duduk di samping kirinya sama sekali tak berbicara sepatah katapun. Sikapnya jauh berbeda dibanding saat pertemuan pertama mereka hampir satu jam yang lalu. Saat ini, aura antah berantah sangat mendominasi. Entah apa yang akan terjadi setelah ini karena sudut matanya sempat menangkap ekspresi wajah Sada yang mengeras.
Sementara Anja yang duduk di kursi tengah juga terus berdiam diri sepanjang perjalanan dengan raut wajah lemas.
Begitu mobil yang dikendarainya memasuki halaman depan rumah Anja, Sada berbisik pelan, "Jangan pulang dulu."
Untuk kemudian keluar dan membantu Anja turun dari mobil. Ia sempat mengernyit heran demi melihat Anja yang berjalan memasuki rumah dengan sangat perlahan sambil dipapah oleh Sada. Namun ia tentu harus memarkirkan mobil persis seperti permintaan Anja dulu, yaitu menghadap keluar, untuk memudahkan orang lain yang akan menggunakannya kemudian. Membuatnya segera melupakan keanehan barusan.
Ia harus menunggu selama hampir lima belas menit di kursi teras, ketika akhirnya Sada muncul dari dalam rumah dengan ekspresi wajah yang jelas-jelas ingin membunuh seseorang dengan menggunakan kedua tangannya sendiri.
"Sejak kapan pacaran sama Anja?" tanya Sada tanpa basa-basi sambil tetap berdiri. Membuatnya merasa seperti pesakitan karena ditanya dalam posisi duduk.
"M-maaf," ia harus menghilangkan keterkejutan terlebih dulu sebelum kembali berkata, "K-kami sebenarnya nggak pacaran."
"Nggak pacaran lo bilang?!?" tiba-tiba Sada membentak. "Terus apa?! ONS?!"
Ia mengernyit tak mengerti maksud dan arah dari pertanyaan Sada.
"Sekarang gua cukup nanya sekali," lanjut Sada dengan mata menyala. "Elo yang hamilin Anja?!"
DUARRRRR!!!!!
Bom yang selama ini dipegang dan dibawa kemanapun ia pergi tiba-tiba meledak dengan sendirinya tanpa ampun. Menghancurkan seluruh bagian dirinya hingga hancur berkeping-keping menjadi debu yang kini beterbangan kian kemari ditiup angin kencang. Habis tak bersisa.
"B-begini B-bang, M-mas.....," dalam waktu yang sangat singkat dan secepat kilat ia tentu harus menyusun kalimat informatif terbaik yang pastinya tak boleh memancing emosi lanjutan. Dan ini amat sangat sulit.
"S-saya akan bertanggungjawab. S-saya....."
Tiba-tiba Sada sudah merangsek ke hadapannya dan dalam sekejap telah menarik kerah bajunya keatas hingga membuat lehernya tercekik.
"Bang sa t lo!!" sambil tetap menarik kerah lehernya tinggi-tinggi, dengan sekali sentakan Sada telah berhasil mendorong tubuhnya ke belakang hingga punggungnya membentur tembok dengan lumayan keras.
"Orangtua gue lagi sakit, lo malah bikin masalah begini!"
"Lo mau bunuh orangtua gue pelan-pelan hah?!?"
"E-enggak M-mas....s-saya bisa jelasin semuanya....."
BUG!
Sebuah hantaman telak memukul rahang atasnya hingga membuat kepalanya terlempar ke samping.
"I-ini salah paham. S-saya pasti tanggung jawab. K-kami su....."
BUG!
Yang kedua kembali mengenai rahang yang sama. Membuat kepalanya mendadak dikelilingi oleh puluhan bintang dan mata yang berkunang-kunang. Diiikuti setetes air yang keluar dari sudut bibir, pedih sekaligus terasa asin di mulut.
Selanjutnya ia merasa seperti sedang terombang-ambing oleh gulungan ombak besar di tengah samudra dengan angin laut yang sangat kencang untuk kemudian menerbangkannya hingga melayang-layang di udara ketika Sada melancarkan pukulan bertubi-tubi ke seluruh bagian tubuhnya dengan tanpa kecuali.
Ia bahkan mulai merasa sedang meregang nyawa karena Sada tak juga berhenti memukulinya meski ia telah terkapar. Namun tiba-tiba sebuah pekikan kaget mampir di telinga berdengingnya dan berhasil menghentikan pukulan Sada saat itu juga.
"Mas Sadaaa! Jangaaan!"
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭