Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya di Tengah Kegelapan
Selang beberapa waktu ujian kelulusan telah berakhir, meninggalkan kelegaan bercampur rasa harap pada semua siswa. Namun, bagi Ryan dan Elma, momen itu tidak sepenuhnya terasa seperti kemenangan. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hasil ujian yang membayangi pikiran mereka.
Suasana di sekolah terasa berbeda. Hari itu, siswa-siswa berkumpul di aula besar untuk mendengarkan pengumuman kelulusan. Wajah-wajah tegang terlihat di mana-mana, tetapi bagi Ryan, rasa tegang itu bercampur dengan kelelahan yang mendalam. Ujian kelulusan telah berakhir, tetapi pikirannya tetap dipenuhi oleh bayangan tentang apa yang akan datang.
Di antara keramaian, Elma duduk tidak jauh dari Ryan. Ia mencoba terlihat tenang, tetapi matanya terus melirik ke arah Ryan yang tampak diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah kejadian serangan bayangan beberapa malam lalu, Ryan semakin menutup diri. Elma ingin berbicara dengannya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Ketika nama mereka dipanggil satu per satu untuk menerima hasil kelulusan, tepuk tangan memenuhi ruangan. Nama Elma diumumkan sebagai peringkat pertama di seluruh sekolah, membuat tepuk tangan semakin riuh. Banyak teman-temannya mengucapkan selamat dengan antusias, menyalami dan memeluknya. Namun, ketika matanya menangkap Ryan yang berdiri di sudut aula, sesuatu yang aneh membuatnya berhenti sejenak. Elma melihat bayangan gelap samar yang mengelilingi tubuh Ryan, bergerak seperti kabut pekat. Tidak ada seorang pun yang tampaknya menyadarinya selain dia. Ryan lulus dengan nilai yang cukup baik, sementara Elma mendapatkan penghargaan tertinggi sebagai peringkat pertama sekolah. Meski demikian, keduanya merasa keberhasilan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan menantang. Namun, di balik senyum singkat yang mereka tunjukkan saat maju ke panggung, ada banyak hal yang belum terselesaikan.
Setelah acara selesai, Ryan berjalan sendirian keluar dari aula. Elma memperhatikan dari kejauhan, ragu untuk menghampirinya. Namun, ia menguatkan dirinya dan berlari menyusul Ryan.
“Ryan!” panggil Elma, napasnya sedikit terengah-engah.
Ryan berhenti, menoleh perlahan. “Oh, Elma, Selamat ya” jawabnya singkat. “Kau baik-baik saja?” tanya Elma dengan nada penuh perhatian. “Kau terlihat... berbeda akhir-akhir ini.”
Ryan terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah langit. “Aku hanya lelah, itu saja,” katanya akhirnya, mencoba tersenyum. “Ujian ini cukup menguras energi.”
Elma tahu Ryan tidak sepenuhnya jujur, tetapi ia memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh. “Bagaimanapun, selamat atas kelulusanmu. Kita berhasil,” katanya sambil mencoba tersenyum.
Ryan mengangguk pelan. “Ya, kita berhasil.”
Di malam harinya, Ryan kembali ke kamarnya, mencoba menemukan kedamaian setelah hari yang panjang. Namun, seperti biasa, pikirannya tidak pernah benar-benar tenang. Bayangan tentang masa depan yang diperlihatkan oleh pria berjubah hitam terus menghantuinya. Ia tahu bahwa kelulusannya hanyalah awal dari perjalanan yang lebih besar.
Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa udara dingin yang menenangkan. Ryan berdiri di dekat jendela, memandangi langit malam yang penuh bintang. Dalam keheningan itu, suara familiar tiba-tiba terdengar di belakangnya.
“Kau kelihatan sibuk dengan pikiranmu lagi, Ryan.”
Ryan tidak terkejut. Ia tahu siapa yang berbicara. Tanpa menoleh, ia menjawab, “Aku pikir kau akan memberiku waktu sedikit lebih lama untuk merayakan ini.”
Pria berjubah hitam muncul dari bayangan di sudut ruangan. “Aku sudah memberimu waktu luang untuk ujianmu, Ryan,” katanya dengan nada dingin. “Tapi sekarang, waktu santaimu sudah habis. Kegelapan tidak akan menunggu. Saatnya kau fokus untuk menguasai kekuatanmu sepenuhnya.” Kau tahu apa yang menantimu lebih penting daripada selembar kertas.”
Ryan menghela napas. “Apa kau di sini hanya untuk mencelaku, atau kau punya sesuatu yang lebih penting untuk dikatakan?”
Pria itu tersenyum tipis. “Kau harus mulai bersiap. Kegelapan tidak menunggu siapa pun, dan musuhmu tidak akan memberi jeda hanya karena kau lulus sekolah. Kau sudah melihat masa depanmu, Ryan. Jika kau tidak ingin itu menjadi kenyataan, kau harus bertindak sekarang.”
Ryan menatap pria itu dengan tajam. “Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa menyerahkan segalanya pada kegelapan ini. Aku harus menemukan cara untuk tetap menjadi diriku sendiri.”
Pria berjubah hitam terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kita lihat seberapa jauh tekadmu akan membawamu. Tapi ingat, waktu tidak berpihak padamu.”
Sebelum Ryan bisa menjawab, pria itu menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Ryan sendirian dengan pikirannya yang bergejolak.
Sementara itu, Elma berada di kamarnya, duduk di depan meja belajar dengan lentera kecil yang menyala. Ia memandangi buku catatannya, tetapi pikirannya melayang ke Ryan. Rasa khawatir terus menghantui hatinya. Ia tahu bahwa Ryan menyembunyikan sesuatu, dan ia tidak bisa hanya diam dan melihatnya tenggelam lebih jauh.
Elma mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat:
Ryan, aku tahu kau sedang menghadapi sesuatu yang sulit. Jika kau butuh bantuan, aku ada di sini. Jangan ragu untuk bicara denganku.
Namun, sebelum ia mengirim pesan itu, suara lembut wanita berjubah putih kembali terdengar.
“Elma, kau harus fokus pada kekuatanmu. Ryan memiliki jalannya sendiri. Jangan biarkan dirimu teralihkan.”
Elma menoleh, menemukan wanita berjubah putih berdiri di dekat jendela. “Aku tahu, tapi aku tidak bisa hanya diam. Aku merasa Ryan semakin menjauh.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Kau harus percaya padanya, sama seperti dia harus percaya padamu. Fokus pada tujuanmu, Elma. Dunia ini membutuhkan cahayamu lebih dari apa pun.”
Elma mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia menyimpan ponselnya dan kembali menatap lentera kecil yang menerangi mejanya. “Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Ryan,” bisiknya pelan.