"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Darah di Batu
Kabut perlahan memudar, menyisakan udara dingin yang menusuk kulit. Jalan yang mereka lalui semakin sempit, dengan dinding batu yang menjulang di satu sisi dan jurang yang menganga di sisi lainnya. Langkah mereka terhenti ketika Ki Jayeng berhenti tiba-tiba, mengarahkan tongkat kayunya ke tanah.
“Aya naon, Ki?” tanya Rangga dengan nada penuh kewaspadaan.
Ki Jayeng membungkuk, menunjuk sesuatu di atas batu besar di depannya. “Getih...” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Aya anu luka, sigana nu tadi nu liwat ieu.”
Rangga berjongkok, mengamati jejak darah yang berceceran di atas bebatuan. Warnanya masih segar, mengilap dalam cahaya samar. “Mereka terluka? Atau... ini milik orang lain?”
Larasati, yang berdiri di belakang mereka, menatap jejak itu dengan ekspresi khawatir. “Kalau ini milik musuh, berarti mereka menghadapi sesuatu di depan sana, kan?”
“Bisa jadi,” jawab Ki Jayeng sambil berdiri kembali. “Tapi ulah gampangan. Ieu jalan... teu biasa. Nu datang ka dieu, lain cuma urang jeung musuh.”
“Apa maksud Ki Jayeng?” tanya Larasati dengan nada cemas.
Ki Jayeng menghela napas panjang, pandangannya menelusuri jalan sempit di depan mereka. “Gunung Kendan ieu teu ngan ukur nyimpen ilmu. Aya hal-hal nu ngalindungi eta ilmu. Jebakan kuno, atau... anu leuwih ti eta.”
Rangga bangkit, menatap jalan di depannya dengan tekad yang membara. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat sebelum jebakan itu mengenai kita.”
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Larasati menunjuk ke arah kanan. “Lihat, jejaknya bercabang ke sana.”
Rangga mengerutkan kening. Jalur utama tampak lurus, tetapi jejak darah yang menetes juga mengarah ke celah kecil di sisi jalan. “Mereka berpencar?” gumamnya, mencoba memahami situasi.
“Teu mungkin,” sela Ki Jayeng. “Jejak ieu milik hiji jalma. Tapi kunaon anjeunna milih jalan ka ditu? Ieu lain jalur utama.”
Rangga berpikir sejenak, lalu menoleh ke Larasati. “Tunggu di sini. Aku akan memeriksanya.”
“Apa? Tidak!” Larasati langsung menggenggam lengannya, matanya memandangnya dengan ketegasan yang jarang terlihat. “Kita tidak boleh terpisah.”
“Tapi kalau mereka menyiapkan jebakan di sana, aku tidak bisa membiarkan kalian terjebak,” Rangga membalas, suaranya pelan tapi tegas.
Larasati menggeleng, napasnya terdengar berat. “Aku ikut. Aku tidak akan tinggal diam sementara kamu menghadapi bahaya sendirian.”
Rangga ingin membantah, tetapi sorot mata Larasati membuatnya menyerah. Ia menoleh ke Ki Jayeng, meminta persetujuan gurunya.
“Pelan-pelan. Ulah luput tina pangawasan,” kata Ki Jayeng akhirnya. “Mun aya nu aneh, balik deui langsung.”
Rangga mengangguk. “Baik, Ki.”
---
Mereka memasuki celah sempit di sisi kanan jalan, mengikuti jejak darah yang semakin banyak. Tempat itu seperti lorong gelap yang diapit dinding batu tinggi. Suara langkah kaki mereka terdengar menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
“Rangga,” bisik Larasati. “Kenapa darahnya semakin banyak? Apa mungkin orang ini masih ada di depan kita?”
Rangga tidak menjawab. Matanya tetap fokus pada jejak di depannya, mencoba mengabaikan kegelisahan yang mulai merayapi pikirannya. Setiap tetes darah di batu tampak seperti peringatan, memintanya untuk berhenti, tetapi ia terus melangkah.
“Tunggu,” kata Larasati tiba-tiba, berhenti di tempat. Ia menatap sesuatu di dinding batu di sebelah kirinya. “Apa itu?”
Rangga mendekat, melihat ukiran kuno yang hampir tertutup lumut. Polanya terlihat seperti lingkaran besar, dengan garis-garis bercabang ke segala arah. Di tengah lingkaran, ada simbol yang sama dengan yang mereka temukan di gua awal.
“Ini... simbol prasasti,” gumam Rangga, jemarinya menyentuh ukiran itu. Rasanya dingin, seperti baru saja disentuh oleh embun pagi.
“Rangga, hati-hati,” kata Larasati dengan nada waspada. “Kamu yakin tidak ada jebakan di sini?”
Namun, sebelum Rangga sempat menjawab, suara gemuruh kecil terdengar dari atas mereka. “Grudug-grudug...”
“Laras, minggir!” teriak Rangga, menarik Larasati ke belakang. Sebuah batu kecil jatuh dari atas, diikuti oleh debu yang mengepul.
“Ini jebakan!” seru Larasati. “Kita harus keluar dari sini!”
“Tunggu,” balas Rangga, matanya masih terpaku pada simbol di dinding. Ada sesuatu yang terasa aneh, seperti bisikan halus di telinganya. “Simbol ini... ini petunjuk. Mungkin ini bagian dari kunci prasasti.”
Namun, sebelum Rangga bisa memeriksa lebih lanjut, suara gemuruh kembali terdengar, kali ini lebih keras. “Jelegur!” Sebuah bongkahan batu besar jatuh di belakang mereka, memblokir jalan keluar.
“Rangga! Kita terjebak!” Larasati berteriak, suaranya penuh kepanikan.
Rangga menoleh cepat, memeriksa situasi mereka. Jalur di depan masih terbuka, tetapi suara gemuruh dari kejauhan menunjukkan bahwa waktu mereka tidak banyak.
“Kita harus maju,” katanya, menggenggam tangan Larasati. “Ayo!”
Mereka berlari menembus lorong itu, diikuti oleh suara runtuhan yang semakin mendekat. Napas mereka terengah-engah, tetapi langkah mereka tidak berhenti. Akhirnya, mereka keluar dari lorong, tiba di sebuah ruang terbuka yang dikelilingi oleh dinding batu.
Di tengah ruangan itu, ada sebuah altar batu dengan simbol yang sama seperti di dinding sebelumnya. Tapi kali ini, simbol itu bercahaya lembut, seperti menyambut mereka.
“Ini... tempat apa?” Larasati bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Rangga mendekati altar itu, matanya meneliti setiap detailnya. “Aku tidak tahu. Tapi... ini pasti ada hubungannya dengan prasasti utama.”
Namun, sebelum mereka bisa memeriksa lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Mereka menoleh, melihat sosok-sosok gelap muncul dari bayang-bayang.
“Musuh...” bisik Larasati, tubuhnya gemetar.
Rangga menarik napas dalam, menggenggam tongkat kayunya erat. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka mendekat.”
Larasati berdiri di sampingnya, meskipun ketakutan, tatapan matanya menunjukkan tekad yang sama. “Kita hadapi ini bersama.”
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya