Dua orang Kakak beradik dari keluarga konglomerat dengan sifat yang berbeda, sama-sama jatuh cinta pada seorang wanita.
Satria yang diam-diam telah menjalin cinta dengan Aurora terpaksa menelan kenyataan pahit saat mengetahui wanita yang dinikahi Kakaknya Saga adalah kekasih hatinya, Aurora.
Satria yang salah paham pada Aurora, jadi sakit hati dan frustasi. Cintanya pada Aurora berubah menjadi dendam dan kebencian.
Satria melakukan banyak hal untuk merusak rumah tangga kakak dan mantan kekasihnya itu.
Hingga akhirnya, Saga meninggal karna penyakit kelainan jantung yang ia derita dari kecil.
Satria malah menuduh, Aurora lah peyebab kematian sang Kakak.
Rasa benci yang mendalam, membuat Satria terus menerus menyiksa batin Aurora.
Apakah Aurora sanggup bertahan dengan ujaran kebencian Satria? Sementara Aurora masih sangat mencintai Satria.
Jangan lupa mampir ke karya author yang lain ya, 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satria pura-pura kembali.
Suasana rumah kediaman Wiratama tampak tegang malam itu.
Wira dan Nilam serta Saga tampak duduk di ruang keluarga berhadapan dengan Satria yang berdiri menundukkan kepalanya menunjukkan penyesalan dan perasan bersalah.
"Maafkan Satria, Ma, Pa, Saga. Aku janji, aku akan melupakan Aura. Aku sudah merelakan semuanya. Aku takkan mengganggu kehidupan Saga dan Aura. Izinkan aku tinggal disini lagi. Aku tak mau kembali ke luar negeri. Aku masih merindukan mama dan papa." Awalnya, Satria hanya ingin berkata bohong tentang ucapannya itu.
Namun sepenggal kalimat rindu pada mama dan papanya membuat ia tak kuasa meneteskan air matanya.
Selama ini, Satria sudah banyak mengalah untuk Saga. Kasih sayang Wira dan Nilam telah direnggut sedari kecil oleh Saga. Itu sebabnya, Satria menjadi anak yang keras kepala dan sulit diatur. Dia suka menghibur dirinya keluar rumah dan tenggelam di dunia luar. Hingga ia memutuskan keluar negri dan merintis usaha di luar negri, semua itu hanya pelarian jiwanya yang kesepian karena kurangnya kasih sayang Wira dan Nilam padanya.
Wira dan Nilam tak pernah mengerti apa yang dirasakan putra bungsunya. Saga dan kondisi penyakitnya selalu mencuri perhatian kedua orang tua itu. Sehingga kedua orang tua itu lalai tak memahami karakter anaknya yang sesungguhnya. Wira dan Nilam selalu memvonis Satria sebagai anak yang nakal dan bandel.
"Mama senang kamu mau kembali Satria. Mama harap kamu benar-benar tidak menyukai Aurora lagi. Kasihani dirimu sendiri Satria, dia bukan jodohmu, dia sudah jadi milik Saga. Sabarlah anakku, secepatnya Mama akan carikan kamu wanita yang lebih baik dan lebih tepat untuk kau jadikan istri mu." ucap Nilam tak kuasa menahan air matanya.
Walau semarah apapun, Nilam sangat menyayangi Satria. Nilam menyadari, terkadang dia lalai akan putranya yang satu itu. Nilam merentangkan tangannya memberi isyarat agar Satria menghampirinya.
Satria bagai anak kecil yang terhipnotis. Kasih ibu memang tak ada lawannya, sebuah magnet besar menuntun langkah kakinya untuk mendekat pada Nilam. Segala kepedihan dan kemarahannya sejenak sirna berganti tangisan memilukan. Satria tenggelam dalam pelukan Nilam menguras air mata dan energinya yang tersisa.
"Rasanya sakit ma! Hatiku sakit...,!" keluh Satria memegang dadanya memeluk Nilam berurai air mata.
"Iya nak, mama tau. Sabar ya nak! lupakan dia ya, Mama mohon." bujuk Nilam ikut menangis mengusap punggung Satria penuh kasih sayang.
Wira dan Saga yang melihat keadaan ibu dan anak yang sedang menumpahkan perasaan bersedih hati, hanya terdiam seakan ikut terbawa suasana yang mengharu biru.
Wira yang selalu tegas dan berwibawa, kali ini tak berkutik melihat perubahan sikap Satria yang melunak tanpa perlawanan seperti biasanya.
"Maafkan Satria pa. Satria akan jadi anak yang baik dan patuh seperti keinginan papa dan mama." ucap Satria mencium tangan papanya.
Wira menelan ludahnya yang terasa kelu. Lidahnya terasa sulit untuk berkata. Apalagi saat mengingat perbuatan kasarnya yang mengusir dan memukuli putra bungsunya di depan banyak orang.
"Papa izinkan kamu tinggal disini lagi. Tapi ingat! Jika sekali lagi kau berbuat yang aneh-aneh, Papa tidak akan pernah kau sebagai anak papa lagi!" Wira masih tetap mempertahankan ketegasannya dihadapan Satria.
Wira masih meragukan sikap Satria. Dia sangat mengenal watak Satria yang sulit ditaklukan. Karena sebagian karakter Satria ada dalam dirinya. Satria dan Saga punya watak yang hampir sama. Namun Wira lebih mencemaskan Satria daripada Saga. Dimata Wira, Satria seperti anak harimau yang jika terluka bisa menyerang siapa saja.
"Iya pa, Satria mengerti." jawab Satria singkat.
Satria menjaga sikapnya agar tetap berhati-hati di depan papanya. Menghadapi harimau tua itu, dia harus waspada tingkat tinggi.
Berbeda dengan Saga, anehnya dia cuma tenang dan hanya tersenyum tipis seolah tak ada masalah di antara mereka. Dia hanya menepuk pundak Satria tanpa bicara sepatah katapun juga.
Satria tercenung, sikap Saga terasa janggal. Satria tak mengerti apa yang ada di benak Saga saat ini, ada kecurigaan menyelimuti hatinya.
"Mbok Tina! Apa yang mbok lakukan disini?" mendadak suara Aurora terdengar menegur mbok Tina tak jauh dari ruangan itu berada.
Nilam bergegas bangkit dari duduknya melongok ke arah ruangan sebelah dari mana suara Aurora berasal. Dia melihat Mbok Tina sedang berhadapan menatap Aurora dengan wajah pucat.
"Ngapain kalian disitu?" tanya Nilam penuh selidik.
Pandangan matanya terarah tepat pada Aurora yang ia curigai sedang menguping pembicaraan keluarganya.
"Kenapa? Kalian sekongkol ya? Menguping pembicaraan orang? Dasar tidak sopan!" hardik Nilam memarahi mbok Tina dan Aurora.
Mbok Tina yang awalnya diajak sekongkol oleh Nilam, saat ini justru dituduh sekongkol oleh nyonyanya sendiri dengan Aurora. Dia memang sangat penasaran, makanya menguping pembicaraan keluarga itu. Namun, kelakuannya justru ketahuan oleh Aurora. Parahnya lagi, dia sekarang dituduh bersekongkol dengan Aurora.
"Aku tidak mengerti apa yang mama maksud, barusan mbok Tina memanggil ku kesini. Ku pikir ada apa, gak tahunya si mbok ngajak aku menguping. Ya, aku marahin si mbok dong ma...," ujar Aurora berkilah menyalahkan mbok Tina sepenuhnya.
Mbok Tina melongo, padahal ia tidak memanggil Aurora. Justru dia ingin menguping sendiri, tapi ketahuan sama Aurora. Sekarang Aurora berbalik menuduhnya mengajak Aurora ikut menguping sehingga kesalahannya jadi bertambah di mata Nilam.
"Kamu itu ya mbok, makin lama makin ngelunjak!" Nilam makin emosi karena tak bisa memarahi Aurora secara terang-terangan. Apalagi alasan Aurora membuatnya sulit untuk memojokkan Aurora.
Selain itu, kehadiran Saga sekaligus Satria yang juga ada di ruangan keluarga membatasi gerakan Nilam untuk mengumbar kemarahannya. Jangan sampai kedua anaknya itu ikut ribut hanya karena membela Aurora.
"Ada apa ma? Kenapa marah-marah?" tanya Saga yang muncul dibelakang Nilam.
"Itu, mbok Tina. Kebiasaan buruk. Suka menguping pembicaraan keluarga kita." tuding Nilam menunjuk mbok Tina dengan memajukan mulutnya.
Saga memandang mbok Tina dan Aurora yang berdiri berdampingan dengan kening berkerut. Raut wajahnya yang jarang tersenyum, mendadak tersenyum manis pada Aurora. Sikapnya yang biasanya kaku, tiba-tiba saja berubah jadi hangat dan romantis.
Saga mendekati Aurora dan meraih tangan istrinya sembari berbicara lembut.
"Sayang, ikut aku ke kamar yuk, aku punya hadiah untukmu." Ajaknya menggenggam tangan Aurora erat dan menggandeng Aurora mesra di depan mata Nilam yang jadi heran melihat sikap putra sulungnya yang tak biasa.
Mbok Tina juga kaget melihat tuan mudanya itu bersikap romantis. Selama berumah tangga, Saga dan Aurora terlihat kaku dan jarang bicara apalagi bersikap mesra.
Apalagi Aurora, dia tak habis pikir. Entah drama apa yang sedang Saga mainkan. Aurora belum tahu, jika dalam ruangan keluarga itu ada Satria yang tengah mencuri dengar namun tetap bersikap cuek, sebab ada papanya yang duduk memperhatikan sikapnya sedari tadi.
Sosok Saga dan Aurora yang bergandengan mesra, melintas melewati ruangan keluarga, terlihat jelas dimata Satria. Terlihat jelas, jika Saga sengaja ingin memanasi Satria.
Wira dan Nilam yang menyadari hal itu, hanya menarik nafas panjang. Mereka berdua berharap, keributan tidak akan terjadi lagi. Harapan mereka kali itu terkabulkan.
Satria yang biasanya berdarah panas, terlihat acuh tak acuh. Dia tampak tenang-tenang saja seolah tak melihat pasangan romantis itu.
"Huh! Aku tahu apa yang kau inginkan Saga! Aku tak kan terpancing!" desis Satria dalam hati seraya melemparkan senyuman tipis pada papanya yang masih memperhatikannya tanpa berkedip.
.
.
.
BERSAMBUNG
suami kasar, si emak kasar juga