Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan Dari Media
Bab 22
Langit di luar hotel tampak cerah, namun hati Elara masih mendung. Ia duduk di sofa kamar, mencoba membaca buku pelajaran homeschooling-nya, tetapi pikirannya terus melayang pada hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan.
Di depannya, buku matematika terbuka lebar, penuh coretan angka-angka yang tak kunjung ia mengerti.
“Kenapa aku harus belajar hal ini, sih?” gumamnya, melempar pensil ke meja. Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya.
Tiba-tiba, suara bel terdengar. Elara menoleh cepat, jantungnya langsung berdegup kencang. “Siapa lagi?” pikirnya panik. Tak ada yang tahu ia tinggal di hotel ini selain Zayden, dan ia yakin bukan suaminya yang kembali karena Zayden sudah bilang akan sibuk di kantor.
Elara mendekati pintu perlahan, menempelkan telinganya ke permukaan kayu itu. “Siapa di sana?” tanyanya hati-hati.
“Elara, ini aku!” Suara di luar membuat Elara langsung terkejut. Itu suara Leni, teman dekatnya semasa dia masih sekolah.
“Leni?” Elara membuka pintu sedikit, menatap gadis itu dengan kebingungan. “Kok kamu bisa ada di sini?”
Leni tersenyum lebar, wajahnya penuh semangat. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin. “Aku nyari kamu ke mana-mana, tahu. Ternyata kamu tinggal di tempat mewah begini sekarang. Kamu benar-benar kaya mendadak.”
Elara menutup pintu dengan cepat, takut ada orang lain yang mendengar. “Dari mana kamu tahu aku di sini?” bisiknya, nadanya penuh kecurigaan.
Leni tertawa kecil, lalu mengangkat ponselnya. “Aku kan jago lacak-lacak, Ela. Kamu tuh nggak peka sama sosial media. Tadi malam aku lihat kamu di foto hotel ini pas lagi di restoran. Itu kamu kan?”
Elara tertegun. Ia ingat tadi malam sempat diajak Zayden makan malam di restoran hotel, dan ia tak menyangka ada yang memotretnya.
Kini mereka duduk di ruangan depan, maksudnya hotel itu ada ruangan selain kamar. Sehingga tidak menggangu privasi.
“Tapi, kamu nggak boleh bilang ke siapa-siapa, Len” ujarnya tegas. “Aku... aku nggak mau ada yang tahu.”
“Kenapa, sih?” Leni menatap Elara dengan rasa penasaran yang makin besar. “Kamu nggak ngerti betapa aku kangen ngobrol sama kamu, Ela. Eh, ngomong-ngomong, beneran ini suami kamu yang bayar? Dia kaya banget, ya?”
Elara hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Leni memang teman baiknya, tapi cerita hidupnya kini terlalu rumit untuk dibagikan begitu saja.
“Ela, jawab dong,” desak Leni. “Kamu tuh kayak berubah banget.”
“Elara!” Suara Zayden mendadak terdengar dari arah pintu, membuat Elara dan Leni menoleh bersamaan.
'Hah? Kenapa dia tiba-tiba ada di dalam? Bagaimana cara dia masuk?' batin Elara.
Leni bingung dengan kedatangan suami sahabatnya itu. Dibilang takut, gak begitu juga. Cuma, kedatangan Zayden cukup membuat Leni membeku.
Zayden berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang masih rapi, dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ditebak. “Kamu nggak bilang akan ada tamu,” ujarnya dingin, pandangannya tajam mengarah ke Leni.
Elara menelan ludah, langsung gugup. “Zayden, ini Leni. Dia temanku waktu di sekolah.”
Leni tersenyum canggung, jelas merasa tidak nyaman dengan tatapan Zayden. “Halo, Kak. Aku Leni, teman sekolah Elara.”
'Hah? Leni manggil Tuan CEO ini dengan sebutan kak?' Elara membatin, dia takut Zayden marah.
Sedangkan Zayden merespons sapaan Leni hanya mengangguk tipis. Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Elara dengan sorot mata penuh pertanyaan. “Kenapa kamu izinkan orang lain masuk? Bukannya aku sudah bilang nggak ada yang boleh tahu alamat kita?”
Elara merasa dirinya mengecil di hadapan Zayden. “Aku nggak sengaja, Zayden. Dia temanku, aku nggak tahu dia bakal datang.”
“Kalau begitu, lebih baik dia pulang sekarang,” ujar Zayden dengan nada tegas, lalu menoleh ke Leni.
"Zayden, aku gak bisa membuat dia pergi. Nanti tersinggung." Elara merengek.
"Kalau begitu, aku saja." Zayden melangkah mendekati Leni, tapi sudah di dahului Elara.
Gadis itu berlari kecil dan menghampiri sahabat.
"Len, Leni. Kamu dengar kan tadi? Maafin ya." Elara mengiba pada sahabatnya. Karena gak enak.
Leni membuka mulut, seolah ingin membantah, tetapi tatapan Zayden membuatnya ragu. Akhirnya, ia berdiri, mengambil tasnya. “Oke, aku pergi. Tapi Ela, kita harus ngobrol lagi. Aku kangen kamu,” katanya pelan sebelum melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, Zayden menatap Elara dengan ekspresi tajam. “Apa aku harus ingatkan kamu lagi tentang situasi kita?”
“Aku tahu, Zayden. Aku nggak sengaja. Aku nggak mengundangnya,” jawab Elara, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kalau begitu, pastikan ini tidak terjadi lagi,” ujar Zayden sambil melangkah ke meja, bar. Dia mencari kopi di lemari es.
Elara menghela napas berat. Pikirannya bercampur aduk—antara rasa bersalah pada Zayden dan rasa bersalah pada Leni. Tapi di balik itu semua, ada satu hal yang membuat hatinya resah.
Bagaimana cara Leni bisa menemukan alamat hotel ini. Katanya karena dia lihat media sosial. Jika dia bisa, apa mungkin orang lain juga bisa?
Elara jadi ingat bagaimana kalau Laura menemukan tempat ini. Secara dia pasti masih marah karena diduakan oleh Zayden. Atau Zayden yang ceroboh, sudah tahu dia adalah orang penting, apalagi di dunia bisnis yang sosoknya terkenal. Media pasti ada di mana-mana, mencari celah bahan berita yang bisa digoreng.
"Hey, ngelamun aja."
Elara dikejutkan kedatangan Zayden di hadapannya yang sudah berganti pakaian.
Bersambung...