SETELAH DI CERAI

hari berganti Minggu, minggu ke bulan dan bulan sudah berubah menjadi tahun. Tak terasa penemuan video yang mengungkapkan keangkuhan nyonya Adrin sudah berlalu sampai tiga tahun yang lalu.

Selama tiga tahun itu, nyonya Adrin begitu tersiksa. Sebab baik Raihan atau pun suami nya sama-sama mengabaikan dirinya. Bahkan sang suami itu hanya berbicara sepatah kata saja. itu pun jika sedang di tanya, jika tidak maka suaminya itu pun tahan tidak berbicara dengan nya seharian.

Sedangkan Raihan, pria itu tak pernah pulang ke rumah lagi sejak saat itu. Pria itu lebih suka tinggal di apartemen atau kadang menginap di rumah salah satu sahabat nya. Apalagi, setelah kejadian itu esok nya Raihan tak mendapati sosok Zaifa.

Dan ketika masuk ke dalam ruangan nya ia melihat dua buah amplop. Satu berisi surat pengunduran Zaifa dan satunya adalah surat ucapan selamat tinggal dari Zaifa.

Sejak itu Raihan menjelma menjadi pria yang bengis, waktunya hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Para karyawan pun banyak yang mengeluh sebab Raihan menjadi lebih galak dan dingin dari sebelumnya. Salah sedikit saja, maka pecat adalah ancaman nya. Namun meski begitu ucapan protes hanya ada dalam hati mereka sebab untuk langsung mengundurkan diri mereka juga takut. Sebab zaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan.

selama tiga tahun Raihan tak tinggal diam. sejak sosok Zaifa tak lagi muncul di hadapan nya. ia pun mengerahkan semua anak buah nya dan menyebarkan selebaran tentang Zaifa.. namun semua nya nihil. Tak ada titik terang hingga saat ini.

Tak hanya Raihan yang terpukul atas kepergian Zaifa. Bahkan Niel pun menjadi pribadi yang lebih pendiam kecuali kepada sahabat nya dan sang mama. Niel lebih suka berdiam di ruang kerja nya sembari memandang wajah Zaifa yang di rasa sangat mirip dengan adik nya. belum sempat ia membuktikan asumsi nya itu namun Zaifa sudah pergi entah kemana.

Bahkan pria yang usia nya sama dengan Raihan itu juga mengerahkan seluruh anak buah, teman dan bahkan kolega bisnis juga. Namun hasil nya sama seperti Raihan, nihil.

Sosok Zaifa seperti hilang tertelan bumi.

Tak bodoh dalam melakukan hal, Raihan dan Niel bahkan pernah mendatangi kampus dimana Zaifa mendaftar kan dirinya. Awalnya pihak kampus tidak mau membicarakan tentang mahasiswa atau pun mahasiswi yang mendaftar di universitas itu. Meskipun dengan jabatan dan kekuasaan mereka berdua.

Namun, setelah perdebatan yang alot dan Raihan serta Niel bersedia menjadi donatur tetap di universitas itu pihak universitas pun menyanggupi permintaan mereka. pihak kampus pun menyerahkan data diri Zaifa.

Raihan dan Niel saling pandang, dalam berkas itu berisi data diri Zaifa yang mereka sudah ketahui. Dan disaat mereka berdua sedang memikirkan sesuatu tiba-tiba salah satu dosen membawa sebuah amplop yang ternyata berisi surat pengunduran sebagai mahasiswi dari Zaifa.

Pupus sudah harapan mereka, akhirnya sampai kini mereka tak menemukan titik terang di mana keberadaan Zaifa.

****

Sementara di belahan bumi lain, masih di Indonesia namun di tempat yang sangat jauh berbeda.

hamparan sawah, pohon karet dan jalanan yang masih khas dengan suasana desa. Udara pagi yang sejuk, banyak para orang-orang yang berjalan kaki atau pun menaiki sepeda dengan tujuan yang sama, yaitu menuju ke perkebunan sayur yang ada terletak tak jauh dari sana.

"duh, beruntung Yo yu ada mbak Rani yang baik hati. Jadi kita-kita ini bisa bekerja tanpa takut suami dan anak kita klendran (terabaikan)" ucap seorang perempuan memakai pakaian khas pekerja dengan topi lebar terbuat dari anyaman bambu.

"Iyo yu, coba kalo ndak ada Halah kita ini yang Ndak pernah sekolah mau kerja apa? paling-paling merantau, terus anak bojo (suami) kita di rumah Ndak ada yang ngurus" sahut perempuan di sebelahnya.. Mereka berbicara dengan logat Jawa yang sangat kental.

Mereka pun terus berjalan hingga sampai di hamparan perkebunan luas yang konon di miliki oleh seorang wanita muda. Yang bahkan baru saja menyelesaikan kuliah nya enam bulan yang lalu.

"wes (sudah) yu, kita kerja. sing (yang) semangat biar bisa mbantu perekonomian keluarga" ucap salah satu ibu-ibu yang kini sudah bersiap menjalankan aktivitas bekerja.

Ibu-ibu yang berjumlah kurang lebih sepuluh orang itu telah siap dengan membawa sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, wadah itu di pakai di punggung mereka. Mereka biasanya menggunakan wadah itu sebagai tempat sayuran yang akan mereka petik. dan pada hari ini mereka akan memetik sayuran gambas, terong dan tomat.

Terlihat indah pemandangan pagi ini, orang-orang yang sudah memulai aktivitas nya. dan kabut pagi yang masih menyelimuti desa yang asri itu.

menit berganti menjadi jam, tak terasa sudah siang hari. Matahari pun sudah tepat di atas kepala. Para pekerja itu sudah berhasil mengumpulkan berbagai macam sayuran yang sudah siap di antar ke pemilik kebun guna di jual di kota. sebuah mobil pick up pun sudah bersiap membawa sayuran-sayuran itu. Para pekerja yang di tugas kan pun dengan sigap mengangkat sayuran itu dan meletakkan di dalam bak mobil.

Sementara ibu-ibu yang sudah selesai dengan pekerjaan nya pun bersiap ke rumah sang pemilik kebun guna meminta upah. Mereka berjalan bersama-sama menuju rumah yang letak nya tak jauh dari sana. Rumah yang sederhana dan di huni oleh dua orang wanita, satu muda dan satu nya setengah baya.

Rumah yang terlihat sedikit bagus dari rumah lainnya itu adalah rumah sang pemilik kebun. Datang ke desa itu tiga tahun lalu, kedatangan nya di sambut antusias oleh warga sekitar sebab selain memiliki tetangga baru mereka juga memiliki pekerjaan berkat wanita itu.

Mereka sampai di rumah itu, rumah bercat abu-abu dengan banyak tanaman bunga di depan dan samping rumah nya.

"loh Mbah Rani sudah pulang toh ngajar nya?" tanya salah seorang ibu yang sudah sampai.

Wanita yang di panggil itu pun tersenyum kemudian menjawab "enggeh (iya) buk".

Jawaban halus serta senyum hangat itu membuat para ibu-ibu begitu menyukai wanita yang bernama Rani itu.

"Monggo ibu-ibu masuk ke rumah dulu, bi Surti sudah menyiapkan makan siang untuk ibu-ibu semua"

"Halah Ndak usah repot-repot mbak. Kamu juga udah makan di kebun pas tadi istirahat sebentar" jawab mereka.

"ya sudah, ibu-ibu silahkan duduk dulu, Monggo minum terlebih dahulu biar haus nya hilang. saya mau ke dalam dulu"

"iya mbak, Monggo"

Ibu-ibu itu pun duduk teratur di teras keramik rumah itu. Mereka saling pandang dan saling melempar senyum. Sebab mereka tau, mbak Rani sedang mengambil upah untuk mereka.