Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Pertama
Kaivorn hanya berdiri diam di antara kedua pria itu, matanya yang merah menyala seperti batu rubi memancarkan ketenangan.
Pedangnya yang ringan tampak seperti bagian dari dirinya, bergerak halus seolah-olah menyatu dengan setiap tarikan napasnya.
Angin hutan berdesir pelan, membuat daun-daun kering di bawah kakinya berbisik, seakan meramalkan kematian yang akan segera datang.
Kedua pria itu melangkah maju, kaki mereka menghentak tanah lembap.
Tubuh mereka dipenuhi otot, wajah mereka menunjukkan bekas luka pertempuran yang mengisyaratkan pengalaman bertahun-tahun.
"Mereka pasti orang yang berpengalaman." pikir Kaivorn, matanya melihat fisik mereka.
Salah satu dari mereka mengayunkan pedangnya dengan cepat, lebih cepat dari yang diduga kebanyakan orang.
"Ini sedikit menyebalkan." lanjut Kaivorn menggerutu, namun dengan senyuman kecil. "Pertarungan nyata pertamaku malah melawan seorang expert."
Kaivorn mengangkat pedangnya tanpa tekanan, hanya dengan satu tangan.
Denting tajam terdengar saat bilah-bilah pedang mereka bertemu, dan Kaivorn memutar pergelangan tangannya sedikit, menyebabkan pedang lawan terpental mundur.
Sang tentara bayaran terhuyung ke belakang, matanya membelalak, tidak siap menghadapi kekuatan halus namun mematikan itu.
"Gerakanmu terbaca terlalu jelas," ujar Kaivorn santai.
Tanpa menunggu reaksi dari musuhnya, Kaivorn mengayunkan pedangnya ke samping dengan anggun, lalu melangkah maju dengan cepat.
Langkahnya ringan dan tak bersuara, seperti bayangan di antara pepohonan.
Dalam satu gerakan cepat, ia menusukkan pedangnya tepat ke arah bahu pria pertama, tetapi di detik terakhir ia memutar bilahnya sedikit, hanya merobek lengan baju musuhnya tanpa melukai daging.
Pria itu terdiam sejenak, bingung.
"Apa yang—?"
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Kaivorn dengan senyum kecil memutar tubuhnya, berbalik cepat dan melayangkan tendangan ke perut lawannya.
Pria itu terdorong ke belakang, jatuh ke tanah dengan suara gemuruh, napasnya terengah-engah karena tendangan yang keras namun presisi.
"Ini dua lawan satu loh, seharusnya kalian mendapatkan keuntungan" Kaivorn berkomentar sambil memutar pedangnya di tangannya dengan gerakan anggun.
Dia memiringkan kepalanya, seolah mengevaluasi permainan. "Kalian yakin masih ingin melanjutkan pertarungan ini?"
Namun, saat dia melangkah lebih dekat ke pria pertama yang sedang berusaha bangkit dari tanah, pria kedua menyerang dari samping, ayunan pedangnya lebih tajam dan penuh amarah.
Kaivorn bereaksi dengan cepat, memiringkan tubuhnya, menghindari bilah yang melintas di dekatnya dengan gesit.
Pedang lawan mengiris udara kosong, dan Kaivorn segera berbalik dengan gerakan kilat, mengayunkan pedangnya ke arah pinggang pria itu.
Klang!
Suara logam yang berbenturan memenuhi udara.
Kaivorn tersenyum ketika melihat pria kedua dengan susah payah menahan serangannya dengan pedang yang gemetar.
Kali ini, Kaivorn memberikan sedikit tekanan, membuat lawannya berjuang keras untuk mempertahankan posisi.
Tiba-tiba, pria pertama yang telah pulih dari tendangan Kaivorn kembali menyerang, mencoba mengambil keuntungan dari momen tersebut.
Kaivorn melihat gerakannya dari sudut matanya, dan dengan kecepatan yang tidak masuk akal, dia melepaskan satu tangan dari pedangnya dan melayangkan pukulan keras ke rahang pria itu.
Pria itu terhuyung ke belakang, darah menetes dari sudut mulutnya, namun belum menyerah.
"Ah, kalian tidak semudah yang kuduga," Kaivorn tertawa kecil, suaranya penuh ironi.
Namun, saat ia bersiap melanjutkan permainan, pria kedua berhasil menyelinapkan satu serangan yang tidak terduga.
Pedang itu melesat cepat, menggores pipi Kaivorn, meninggalkan bekas luka tipis namun berdarah.
Kaivorn terdiam sejenak, merasakan rasa perih di pipinya.
Sentuhan darah di wajahnya menyalakan sesuatu di dalam dirinya—seperti api yang tiba-tiba menyala terang.
Wajahnya berubah, senyum tipis di bibirnya memudar, digantikan oleh tatapan dingin yang tak terbaca.
Gerakan tangannya yang sebelumnya penuh permainan berubah menjadi lebih kaku dan mematikan.
"Aku pikir kita sudah cukup bermain-main," ucapnya pelan, suara tenang yang berbahaya.
Dalam sekejap, Kaivorn bergerak dengan kecepatan luar biasa.
Langkahnya seakan tidak terlihat, dan sebelum pria kedua bisa bereaksi, pedang Kaivorn sudah menyentuh dadanya.
Kaivorn tidak menahan serangannya kali ini.
Bilah tajam itu menembus kulit dan otot dengan mudah, darah merah mengalir deras dari luka yang dalam.
Pria itu tidak sempat berteriak.
Matanya melebar, napasnya terpotong oleh rasa sakit yang mendalam.
Dengan satu gerakan halus, Kaivorn menarik pedangnya keluar, darah berceceran di tanah.
Pria kedua jatuh ke tanah dengan bunyi berdebam, tubuhnya terkulai tak bernyawa.
Pria pertama, yang menyaksikan kejadian itu dengan ketakutan, terhuyung mundur.
Matanya penuh dengan teror, tetapi Kaivorn tidak memberinya waktu untuk melarikan diri.
Dengan gerakan yang tidak terlihat oleh mata, Kaivorn melesat maju, pedangnya bergerak seperti kilatan petir, cepat dan mematikan.
Pria itu mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi gerakan Kaivorn terlalu cepat.
Dalam waktu sepersekian detik, Kaivorn melayangkan tiga serangan berturut-turut.
Yang pertama menebas pergelangan tangan pria itu, membuat pedangnya terlepas dan jatuh ke tanah.
Yang kedua mengiris pahanya, membuatnya terjatuh ke lutut dengan erangan kesakitan.
Dan yang ketiga menembus jantungnya, menghentikan segala bentuk perlawanan.
Pria pertama jatuh ke tanah, napas terakhirnya keluar sebagai desahan pendek.
Kaivorn menarik napas panjang, membersihkan darah dari pedangnya dengan satu gerakan cepat.
Wajahnya kembali tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Dia menatap mayat-mayat di depannya dengan tatapan yang kosong, tidak ada rasa bersalah atau kebanggaan.
Dia berbalik, berjalan kembali ke arah Calista yang masih bersembunyi di balik pohon, matanya yang hijau besar masih dipenuhi ketakutan.
"Kau tidak perlu melihat ini," Kaivorn berkata lembut, suaranya berubah kembali menjadi menenangkan. "Kita bisa pergi sekarang."
Calista hanya mengangguk, tampak terpaku oleh kemampuan bertarung yang baru saja ditunjukkan Kaivorn.
"Kaivorn.. Apakah kau seorang pahlawan...??." tanya Calista terpukau, merasa takjub dengan kehebatan Kaivorn.
Kaivorn berhenti sejenak, lalu menatap Calista dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Mata merahnya yang biasanya tenang kini memancarkan sedikit kelelahan, seolah pertanyaan Calista lebih rumit daripada pertarungan yang baru saja diselesaikannya.
"Pahlawan?" Kaivorn mengulangi dengan nada datar.
Dia menurunkan pedangnya perlahan, memeriksa bilahnya sebelum memasukkannya kembali ke sarung.
"Itu istilah yang terlalu subjektif." balas Kaivorn pada dirinya sendiri.
Dia berjalan mendekati Calista, gerakannya selalu halus, hampir tanpa suara, membuat suasana seolah tak ada ancaman yang tersisa di hutan itu.
Meski begitu, tatapannya tetap waspada, menghitung setiap kemungkinan, setiap bahaya yang mungkin masih mengintai.
"Seorang pahlawan... biasanya dilihat dari perspektif mereka yang diselamatkan, bukan dari tindakan yang mereka lakukan," lanjut Kaivorn sambil mengulurkan tangannya. "Dan aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Tidak lebih."
Calista menatap tangannya sejenak sebelum dengan ragu meraihnya.
Di matanya, Kaivorn adalah segalanya yang dia anggap sebagai penyelamat.
Namun, ada sesuatu dalam cara Kaivorn berbicara yang membuatnya merasa bahwa pemuda ini memandang dunia dengan cara yang berbeda—seperti ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan orang lain.
"Ayo pergi. Tempat ini tidak aman," kata Kaivorn sambil membimbing Calista keluar dari persembunyiannya. "Dan lagi, orang-orang itu mungkin bukan satu-satunya yang mencarimu."
"Bagaimana kamu tahu itu?" Calista bertanya dengan suara kecil, masih terpesona oleh ketenangan Kaivorn.
Kaivorn hanya tersenyum tipis, tapi tidak menjawab langsung.
"Aku sudah melihat banyak hal di sini," jawabnya akhirnya, seperti telah memahami kondisi mereka sepenuhnya. "Gerakan mereka, cara mereka membawa diri, semuanya sudah cukup memberikan petunjuk."
Calista terdiam, semakin yakin bahwa di depan matanya berdiri seseorang yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Kaivorn memimpin mereka menyusuri jalur hutan yang berkelok, tetap waspada namun santai.
Dia memastikan mereka bergerak dengan cepat, tapi tidak menciptakan jejak yang bisa diikuti.
"Tidak ada yang bisa melacak kita jika kita bergerak seperti ini," katanya tiba-tiba, seolah membaca pikiran Calista yang sedang gelisah.
"Kaivorn... kenapa kamu membantuku?" tanya Calista setelah hening beberapa saat. "Kamu tidak mengenalku, dan jelas ada risiko besar untuk menyelamatkan seorang... budak pelarian."
Kaivorn berhenti, menatap ke arah langit yang kini mulai menunjukkan warna senja.
"Karena itu adalah hal yang benar," jawabnya sederhana, tanpa emosi yang berlebihan.
"Lagipula, kau sudah cukup menderita." tambahnya dengan nada yang lebih lembut. "Tidak perlu lagi menambah rasa sakit untuk sesuatu yang bukan salahmu,"
Calista merasakan dadanya menghangat mendengar kata-kata Kaivorn.
Meskipun dia masih tak mengerti sepenuhnya pemuda ini, dia merasa aman untuk pertama kalinya setelah sekian lama hidup dalam ketakutan.
"Terima kasih, Kaivorn," bisik Calista pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin.
Kaivorn mengangguk pelan, sambil berkata. "Tentu."