Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di sebuah restoran yang sepi, meja di sudut ruangan dihiasi dengan tiga jenis hidangan yang tampak menggiurkan. Caitlin duduk diam, menatap makanan di hadapannya dengan raut wajah penuh tanda tanya. Pikirannya berputar, merasakan ada yang aneh.
Felix, yang duduk di seberangnya, memperhatikan kebingungan itu. "Kenapa? Apakah kamu tidak menyukainya?" tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh perhatian.
Caitlin menggeleng pelan. "Bukan itu. Tiga jenis hidangan ini... semuanya adalah makanan kesukaanku," jawabnya, dengan sedikit kebingungan.
Felix tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih. "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, makanlah yang banyak," katanya dengan nada ceria, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, di dalam hati Caitlin, ia merasakan keganjilan yang tak bisa ia abaikan. "Bagaimana mungkin dia tahu semua makanan favoritku? Apakah ini hanya kebetulan? Tidak mungkin, kan?"batinnya, semakin curiga.
Baru saja ia hendak menelan suapan pertama, tiba-tiba suara tegas memecah keheningan restoran.
"Caitlin, ternyata kamu ada di sini," suara Reynard, sang CEO yang memancarkan kekuasaan dari setiap kata yang diucapkannya, terdengar jelas. Ia yang duduk di kursi roda didorong oleh Nico mendekat meja mereka, tatapannya dingin mengarah pada Caitlin. "Bukankah aku sudah memintamu untuk tidak keluar dari gedung?" suaranya tegas, namun penuh kontrol.
Caitlin meletakkan sendoknya dengan perlahan, tatapannya tajam menatap suaminya. "Restoran ini hanya beberapa langkah dari gedungmu. Bukan seperti aku pergi dari utara ke barat," balasnya dengan nada sarkastik, sama sekali tidak terintimidasi oleh kemarahan Reynard.
Felix, yang sedari tadi duduk di kursinya dengan wajah tegang, segera berdiri dan menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah. "Direktur, maafkan saya. Saya membawa Nona... maksud saya, Nyonya, keluar tanpa izin dari Anda," katanya terbata-bata.
Reynard mengerutkan kening, tatapannya berubah lebih tajam. "Nona? Sepertinya kamu salah sebut," katanya dengan dingin, menekankan status Caitlin sebagai istrinya.
Felix cepat-cepat meralat ucapannya. "Maaf, maksud saya, Nyonya," ucapnya dengan hormat, merasa tekanan yang diberikan Reynard semakin berat.
Reynard melirik sekilas ke arah Felix, lalu kembali fokus pada Caitlin. "Seorang karyawan makan bersama istri Direktur, kalau dilihat orang, apa kamu tahu konsekuensinya?" lanjut Reynard dengan nada ancaman yang halus namun jelas, menuntut kejelasan dari bawahannya.
Felix menundukkan kepala lebih dalam, tidak berani menatap mata sang direktur yang penuh otoritas.
Caitlin, yang masih duduk dengan tenang, mengangkat garpu dengan anggun, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan di antara kedua pria itu. "Kami tidak melakukan hal yang aneh," katanya tanpa menoleh, pandangannya tetap fokus pada makanannya. "Kenapa harus takut orang lain melihat kami? Aku akan pulang setelah menghabiskan makanan ini," lanjutnya dengan nada tegas, seolah menghentikan perdebatan di tempat itu.
Reynard menatap Caitlin dengan tajam, seolah berusaha menembus ketenangan yang ia perlihatkan. Di sisi lain, Felix, yang masih berdiri dengan gelisah, sesekali melirik Caitlin, menyadari bahwa dia sedang berada di tengah konflik antara suami-istri yang lebih besar dari yang ia kira.
"Gadis ini luar biasa, dia sama sekali tidak bisa kekang oleh suaminya yang angkuh ini," batin Felix.
***
Malam yang dingin, Caitlin tertidur pulas di sofa kamarnya. Sejak mereka menikah, ini bukan kali pertama Reynard memindahkan istrinya dari sofa ke tempat tidur. Dengan gerakan lembut, dia mengangkat tubuh Caitlin yang ringan dan membawanya ke kamar mereka. Wajahnya tampak damai saat tidur, tak menyadari apa yang terjadi.
"Kalau sedang tidur, kamu bahkan tidak sadar dipindahkan. Tapi saat terjaga, kamu sangat sulit dijinakkan,” gumam Reynard pelan sambil meletakkan Caitlin di kasur.
Dia memandang istrinya sejenak sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Pukul 02.00, Caitlin terbangun. Ruangan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela. Dia meraba sisi tempat tidur yang kosong dan merasa aneh. "Kenapa dia tidak ada di sini? Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" gumam Caitlin dengan rasa penasaran.
Dia bangkit perlahan dan melangkah keluar dari kamar.Koridor itu sunyi. Caitlin berjalan sambil memperhatikan setiap ruangan di rumah besar mereka, namun tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Reynard.
“Dia tidak ada di ruang pribadinya. Lalu ke mana dia pergi?” pikir Caitlin sambil terus berjalan.
Tiba-tiba, suara seorang wanita terdengar dari ujung lorong. Suaranya lembut namun penuh kelicikan, memecah keheningan.“Kakak, aku tahu gadis itu hanya istri palsumu. Kenapa tidak ceraikan saja dia dan nikahi aku? Aku merindukan masa-masa kita bersama,” suara itu menggema di antara dinding-dinding rumah.
Caitlin berhenti sejenak, rasa penasaran kini berubah menjadi kegelisahan. Siapa wanita itu? Dan apa maksudnya? Caitlin mendekati ruangan di mana suara itu berasal, pintunya sedikit terbuka. Dia mengintip dan melihat seorang wanita duduk di atas kasur, wajahnya terlihat penuh harap. Di depannya, berdiri Reynard.
“Kamu tidak seharusnya datang ke sini,” suara Reynard terdengar tegas, namun tidak dingin.
“Aku merindukanmu, Kakak. Ceraikan dia, kita bisa mulai dari awal lagi. Aku tahu rencanamu, kita bisa lanjutkan bersama,” jawab wanita itu dengan nada manis namun penuh bujuk rayu.
Caitlin tidak lagi bisa menahan diri. Dia mendorong pintu itu dengan keras, membuatnya terbuka lebar. Kedua orang di dalam ruangan itu menoleh terkejut.
“Ternyata kamu tidak cacat, dasar penipu,” suara Caitlin penuh kemarahan saat dia menatap tajam ke arah Reynard.
Reynard hanya terdiam, tidak menyangka Caitlin akan berada di sana. Wanita di atas kasur itu menatap Caitlin dengan tatapan sinis, seperti merasa dirinya menang.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Reynard dingin, suaranya tenang meskipun situasi tegang.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu,” jawab Caitlin, melangkah lebih dekat. “Apa penjelasanmu tentang kakimu yang tidak cacat? Dan siapa wanita ini?” Matanya beralih ke arah wanita yang masih duduk di atas kasur.
Wanita itu bangkit, berdiri di sebelah Reynard, lalu berkata dengan nada licik, “Kakak, dia sudah tahu semuanya. Kita harus membungkamnya sebelum dia membongkar rencanamu.”
Caitlin tertawa sinis, “Pasangan murahan. Aku dilarang bersama pria lain, tapi kau malah lebih tidak tahu diri. Bersama wanita lain di kamar. Apa lagi yang aku tidak tahu tentangmu. Kau penipu, atau mungkin penjahat seperti pamanmu?”
Wanita itu mendekat dengan senyum mengejek. “Kau tidak bisa keluar dari sini, gadis kecil. Suamimu adalah pacarku. Kau hanyalah istri palsu yang akan dibuang kapan saja.”
Caitlin menatap wanita itu dengan penuh penghinaan. “Bukan aku yang akan dibuang. Justru suamimu ini yang akan aku buang,” ujarnya tajam. “Dia yang merayuku, bukan aku yang merayunya. Hanya pria penipu dan licik yang merendahkan dirinya seperti itu. Aku tidak merasa kasihan.”
Reynard yang sejak tadi diam akhirnya bicara. “Apa kamu bisa merahasiakan apa yang kamu lihat malam ini?” tanyanya dengan nada datar, namun ada ancaman tersirat dalam suaranya.
Caitlin berbalik menatapnya. “Mengenai apa? Kakimu yang tidak cacat? Atau hubungan gelap kalian?” tanyanya dingin.
Reynard menatapnya dengan tajam, lalu berkata dengan nada penuh ancaman, “Apa pun yang kamu lihat, jangan sampai ada yang tahu. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padamu.”
seru nih