Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Informasi baru
"Baiklah, aku akan kesana sebentar lagi" Jawabku, mencoba mengendalikan getaran dalam suaraku.
Setelah menutup telepon, aku merasakan napasku semakin berat. Bagaimana cara agar aku bisa bolos kelas kali ini? Sekarang baru hari kedua sekolah, masa aku sudah absen. Tapi, ini petunjuk penting. Aku akan pergi apapun alasannya.
"Maaf, aku harus pergi," ucapku akhirnya, berusaha terdengar tenang.
"Ke mana?" tanya Leo, nada kekhawatirannya jelas terdengar.
"Gigiku sakit lagi, sepertinya memang harus ke dokter gigi. Alvin, maaf ya. Tolong beritahu guru kalau aku tidak masuk." Ucapku sambil menggendong tas ransel. Untung tadi Alvin bertanya soal pipiku yang bengkak, jadi aku punya alasan untuk pergi.
"Ah, itu benar-benar tidak enak. Semoga cepat sembuh!" Dira menyemangatiku, aku bisa melihat kerisauan di matanya.
Aku melangkah keluar dari kelas, berusaha menjaga ketenangan. Begitu sampai di mobil, aku mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan perjalanan.
Saat mesin mobil menyala, aku melaju menuju apartemen tempat orang itu tinggal, dengan pikiran yang penuh dengan rasa penasaran.
"Sial, perasaanku jadi tidak tenang. Petunjuk apa lagi yang dia dapatkan" Gerutuku sambil menyetir.
Setiap detik terasa semakin berat. Bagaimana jika informasi yang dia bawa bukan hanya tentang kematian orang tuaku, tapi juga sesuatu yang lebih gelap? Aku berusaha mengalihkan pikiran negatif itu, tetapi rasa cemas sudah menggerogoti.
Akhirnya, aku sampai di depan apartemen. Aku langsung berjalan masuk ke gedung itu dan mencari kamar apartemen nomor 54. Saat menemukan pintu dengan nomor yang dimaksud, aku menarik napas dalam-dalam. "Akhirnya sampai" gumamku pada diri sendiri. Aku langsung mengetuk pintu yang ada di hadapanku itu. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dari dalam.
"Kau sudah datang ya. Kenapa tidak langsung masuk saja, Agacia" katanya, mengizinkanku masuk.
"Itu kan tidak sopan, Tante" Ucapku sambil berjalan masuk.
"Hmm...bahkan biasanya kamu masuk seperti orang mendobrak pintu"
"Dasar anak ini, kemarin kamu kemana saja sampai tidak datang latihan?" Ucap seorang pria sambil menyeruput kopi yang ada di hadapannya.
"Kak Arsen melarangku pergi" Jawabku singkat sambil duduk di sofa.
"Arsen? Tumben sekali. Apa hubungan kalian sudah membaik?" Tanya pria itu lagi.
"Mana ada. Bahkan karena tetap memaksa ingin pergi aku sampai di tampar olehnya"
"APA?!"
"Kau tidak serius, kan? Arsen sampai menamparmu?" Jawab wanita paruh baya itu yang sekarang berjalan ke arahku. Dia memegang wajahku dan mengecek kedua pipiku.
"Itu sudah melampaui batas, Agacia!"
Aku merasa canggung di bawah tatapan mereka, terutama saat wanita paruh baya itu memegang wajahku.
"Sebenarnya, itu tidak seburuk yang kalian pikirkan. Dia hanya marah dan—"
"Marah bukan alasan untuk bertindak seperti itu," potongnya, wajahnya terlihat sangat serius. "Kamu harus menjaga dirimu, Agacia".
Aku menghembuskan nafas panjang. "Ya,ya aku mengerti. Lagi pula aku datang kesini bukan untuk mendengar ceramah kalian. Cepat beritahu petunjuk tentang kematian orang tuaku yang kau bilang tadi" Ujarku.
"Duduk lah dulu, kau juga baru sampai kan. Sudah makan?" Tanya wanita itu sambil menyodorkan segelas strawberry smoothies padaku.
"Sudah" Aku duduk di sofa sambil meminum smoothies yang diberikan tadi.
"Baiklah, kita lupakan dulu soal Arsen. Sayang cepat kemari" Panggil pria paruh baya yang duduk di hadapanku pada istrinya yang ada di dapur.
"Jadi setelah kamu membunuh hakim Joan dan mengambil dokumen yang kami minta dari ruangannya waktu itu, aku dan Betty mengecek riwayat aktivitas dinas nya sejak awal tahun. "
Dua orang yang ada di hadapanku ini adalah Betty dan Issac Hubert, yang membantu keluargaku saat insiden di hotel Golden Glade terjadi 2 tahun lalu. Mereka bilang akan membantuku mengungkap siapa pelaku di balik kematian kedua orang tuaku. Mereka curiga kalau dalang dibalik ini semua adalah orang sama dengan yang sudah membuat anaknya meninggal. Setauku anak mereka itu seorang agen mata-mata profesional, malang sekali nasibnya.
Mereka juga memintaku untuk memanggil dengan sebutan "Om dan Tante" agar orang yang mendengar dan melihat kami tidak curiga, dibandingkan dengan sebutan "Tuan dan Nyonya". Meskipun di awal rasanya agak aneh memanggil mereka dengan sebutan itu.
Om Issac melanjutkan, "Kami menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ternyata, ada beberapa transaksi yang tidak biasa antara hakim Joan dan sebuah organisasi yang sudah lama kami selidiki."
Aku menahan napas. "Organisasi? Apa maksudnya?"
Tante Betty mengambil alih pembicaraan. "Organisasi ini terlibat dalam banyak hal ilegal. Mereka memiliki jaringan yang luas dan tidak segan-segan untuk menghilangkan siapa pun yang menghalangi jalan mereka."
Kekhawatiran menyelimuti pikiranku. "Jadi, orang tuaku terlibat dengan organisasi ini?"
Om Issac menggeleng. "Kami belum bisa memastikan sepenuhnya,"
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanyaku, berusaha menahan rasa cemas yang merayap ke seluruh tubuhku.
Tante Betty tersenyum, memberikan dorongan. "Kita harus mengumpulkan bukti. Mungkin ada dokumen atau informasi lain yang bisa kita gali. Kita bisa mulai dengan menghubungi beberapa kenalan yang kami miliki."
"Dan kita harus berhati-hati," Om Issac menambahkan. "Jika mereka mencium langkah kita, bisa jadi kita akan berada dalam bahaya."
"Kalau tahu hal ini lebih awal, aku tidak akan membunuhnya. Akan ku siksa dia seperti di neraka sampai mengungkapkan semuanya" Ujarku penuh emosi.
Om Issac menatapku dengan serius. "Kemarahanmu bisa menjadi bumerang. Kita perlu rencana yang matang."
Tante Betty menambahkan, "Kita harus memastikan langkah kita tidak terlalu mencolok. Mungkin kita bisa menyusup ke dalam jaringan mereka tanpa menarik perhatian."
Aku mengerutkan dahi. "Tapi bagaimana caranya? Kita tidak punya informasi yang cukup."
"Mulailah dengan orang-orang terdekat yang mungkin tahu sesuatu.Pasti saat pergi ke meeting waktu itu hakim Joan tidak sendirian, dia pasti membawa beberapa orang antek-antek nya. Oleh karena itu, sekarang waktunya kita mencari tahu siapa yang pergi dengannya hari itu." saran Tante Betty.
Om Issac mulai mengetik di laptopnya, mencari data yang relevan. "Kita juga bisa mencari rekaman video atau saksi langsung dari pertemuan tersebut jika ada. Itu bisa memberi kita gambaran siapa saja yang terlibat. Hanya ada satu cara..."
"Apa?" Tanyaku.
"Kita harus minta tolong padanya" Om Issac menatap ke istrinya sambil mengangguk penuh keyakinan.
"Kita harus menghubungi Gavi," jawab Om Issac. "Dia memiliki koneksi yang luas di kalangan pejabat dan bisa jadi tahu sesuatu tentang pertemuan itu."
Aku merasa sedikit ragu. "Gavi? Tapi apakah kita bisa mempercayainya? Dia mungkin tidak ingin terlibat dalam masalah ini."
"Justru itu kita harus meyakinkannya" kata Tante Betty. "Gavi tahu cara beroperasi dalam dunia ini. Jika kita menjelaskan situasinya, dia mungkin bersedia membantu."
Aku hanya bisa menyetujui saran dari mereka berdua.
"Tapi, sebelum kita melangkah lebih jauh kau harus meningkatkan kemampuanmu lebih dari ini, Agacia. Karena kedepannya bukan orang biasa lagi yang kita hadapi" Ucap Om Issac dengan raut wajah yang serius.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/