NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masalah Kecil part 1.

Aku mendengar pintu depan terbanting terbuka. “Ma!”panggil Kaoru, putraku satu-satunya.

“Mama di dapur!”teriakku.

Langkah Kaoru berderap menuju dapur lalu wajah penuh amarahnya muncul diambang pintu dapur. “Ma, aku nonton film yang mama peranin waktu muda! Kenapa ada adegan ciumannya segala?”teriaknya marah.

Aku mengerjap lalu mendesah. Mendadak rasanya pipiku jadi panas. Aku memerankan banyak film dewasa di masa lalu. Jadi aku tidak tahu film yang mana yang Kaoru maksud. “Kamu nonton film lama? Bukannya kamu lebih suka nonton Anime?”tanyaku.

“Aku diketawain orang-orang, tau!,”kata Kaoru, mengabaikan pertanyaanku. “Kata mereka Mama Artis porno!”

“Mereka siapa?”

“Teman-temanku!”

“Kalo mereka beneran temanmu, mereka nggak akan ngetawain kamu.”

“Nggak usah ngalihin pembicaraan! Karir Mama bikin aku malu tau!”

Aku tertunduk, merasa malu. “Maaf, Mama butuh uang. Waktu Mama remaja belum ada Papa kamu yang nanggung semua kebutuhan Mama. Makanya Mama kerja kayak gitu.”

“Mama cewek nggak bener!”

Aku tidak menjawab hinaannya. Aku tidak pernah menyesali semuanya, karena itulah aku tidak membalas. Karena karirku lah aku bertemu suamiku, Kaito dan karena itu pulalah Kaoru lahir. Saat Kaoru sedikit lebih dewasa mungkin dia akan mengerti. Amarah tidak harus selalu dibalas dengan amarah, kan?

Aku mendengar suara langkah Kaoru yang sedang menaiki tangga. Langkah Kaoru terdengar lebih keras dari pada biasanya. Mungkin dia benar-benar marah padaku. Mungkin dia terlalu marah untuk memahami perkataanku barusan. Aku merasa kali ini aku tidak bisa mendinginkan panas di hati Kaoru dengan perkataanku sendiri. Kali ini aku harus menghubungi suamiku.

Aku meninggalkan masakanku lalu berjalan menuju kamarku. Aku mengunci pintu lalu menelpon suamiku pakai HP. Dia baru mengangkat panggilan setelah nada tunggu ke-5.

“Halo sayang. Ada apa?”tanyanya dengan suara tenang yang kusuka.

“Kaoru nonton film lama yang aku perankan. Dia diejek teman-temannya dan sekarang marah sama aku. Aku dibilang artis porno,”curhatku.

Suamiku tertawa.

“Kaito!”tegurku.

“Sorry, aku lagi kerja sekarang. Sibuk banget sampai nggak sempat makan siang. Kita ketemu di rumah Mamamu aja jam 5. Sekalian jenguk mertuaku yang pinter masak itu. Kangen masakannya.”

“Nggak. Aku nggak mau Mama tau kalo Kaoru benci sama aku karena karirku di masa lalu. Tau sendiri kan kamu kalo Kaoru benci diomelin Mama.”

“Ya udah nanti kita cari tempat ngobrol yang jauh dari rumah. Aku takut kalo Kaoru jadi tertekan kalo tau kita lagi berdiskusi buat ngadepin dia.”

“Oke,”kataku.

“Bye, Sayang. Aku harus kerja lagi.”

Panggilanku diakhiri Kaito. Aku keluar dari kamar lalu kembali ke dapur untuk meneruskan membuat masakan yang sedang kubuat. Aku memikirkan karir yang kumulai dengan bantuan Mama dan teman-temannya. Karir yang membuatku merasa bangga walau dalam pikiranku aku hanya menginginkan kehidupan sederhana sebagai perempuan, istri, lalu ibu.

Bagiku dulu jadi seorang artis adalah hal yang menyenangkan. Tapi setelah menikah aku memutuskan untuk benar-benar berhenti dari dunia seni peran. Itu semua karena aku mencintai seorang pemuda berdarah Jepang yang ingin privasi lebih dalam hubunganku dengannya. Pemuda itu adalah Kaito, suamiku sekarang.

Aku jatuh cinta pada sikapnya dan caranya memperlakukanku. Dia selalu terlihat tulus dan hal itu tidak berubah sampai sekarang. Dia benar-benar jauh dari karakter buruk para lelaki yang diceritakan teman-teman perempuanku saat aku masih single dulu. Aku rasa aku perempuan yang sangat beruntung karena di pertemukan dengan laki-laki seperti Kaito.

Mobil Kaito terparkir di jalanan depan rumah, itu yang kulihat saat menyibakkan tirai jendela ruang tamu. Barusan dia menelponku untuk menyuruhku keluar rumah dengan pakaian rapi. Aku mengecek make-up-ku untuk terakhir kalinya pakai cermin bedak lalu keluar dari rumah. Aku tidak mengunci pintu karena Kaoru ada di lantai atas, tidak mau turun walau sudah kupanggil untuk makan siang.

Saat aku muncul, Kaito bersiul menggodaku. Pandangannya nakal sekali saat melirik rok span selututku. “Waktu kita masih remaja dulu rok kamu lebih pendek dari pada rok ini, tapi nggak tau kenapa kamu kelihatan lebih seksi pakai rok ini.”

Sebelah alisku terangkat. “Masa? Padahal sekarang aku memakai pakaian ini buat kelihatan sopan. Nggak mungkin sama kayak pakaianku dulu yang berguna buat menarik perhatian. Sekarang aku berpakaian untuk memperlihatkan kalo aku orang dewasa yang patut untuk dihormati,”kataku.

“Bagus,”puji Kaito santai. Senyuman dan tatapannya yang lembut membuatku berpikir kalau ia serius dengan perkataannya. Membuat rasa bangga meletup-letup di hatiku.

“Ayo Mrs. Watanabe,”katanya sambil membuka mobil.

Aku tersenyum lalu masuk ke mobil yang pintunya sudah di buka Kaito. “Makasih. Mr. Watanabe,”kataku sopan. “Jadi kita mau kemana?”

“Kamu maunya kita pergi kemana?”tanya Kaito sambil memutari mobil untuk duduk ke bangku sopir.

“Taman kota? Kayaknya asyik jalan-jalan di sana sore-sore kayak sekarang.”

“OK My Lady,”katanya dengan nada bercanda khasnya.

Aku tertawa kecil. Kaito manis seperti biasa.

Kaito mengemudkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kaito memang tidak suka memacu adrenalin dengan kecepatan. Walau menyukai tantangan, Kaito sehari-hari lebih menyukai ketenangan. Dialah yang mengajariku untuk lebih menghargai ketenangan dalam hidup, sehingga lama-lama aku suka hari-hari yang tenang lalu memilih keluar dari hidupku yang ramai dan berisik. Aku menyukai hidupku yang sekarang.

“Rame, ya,”kataku saat mobil Kaito masuk ke parkiran taman kota yang nyaris penuh oleh mobil mau pun motor. Spot Wifi-nya dipenuhi pengguna, begitu juga dengan satu-satunya lapangan futsal di pinggir belakang taman.

“Mau jajan, nggak,”tanya Kaito.

“Nggak, deh. Nanti aja,”tolakku.

“Kita ngobrol di mana?”tanya Kaito.

Aku menebar di sekeliling taman. Aku melihat ada bangku yang kosong di dekat lapangan futsal. “Ke sana, yuk,”kataku sambil menunjuk bangku yang kumaksud.

Kaito menggandeng tanganku dan mulai berjalan menuju bangku itu. “Kita udah lama, ya nggak berjalan berdua kayak gini,”katanya.

“Iya. Kira-kira sejak kamu udah diangkat jadi direktur lima tahun yang lalu, kita udah jarang pergi-pergi berdua.”

“Jangankan pergi-pergi berdua. Ngomong berdua tanpa Kaoru aja cuma bisa sebelum tidur. Kadang bahkan kita nggak bisa ngobrol berdua karena aku lembur dan pas pulang kamu udah tidur.”

“Kamu kerja terlalu keras, sih. Kayak nggak sayang badan banget.”

Kaito tersenyum. “Untung aku punya istri yang pengertian kayak kamu.”

Aku balas tersenyum. “Aku tau kamu sedang berjuang demi keluarga kita. Aku nggak punya alasan buat marah, Kaito.”

“Syukurlah,”kata Kaito, terdengar senang.

Kami berdua akhirnya sampai di bangku taman yang kami tuju dan langsung duduk. Ada sebuah pertandingan di lapangan futsalnya yang terkurung kawat jaring yang tinggi. Tapi penontonnya tidak banyak, makanya kami bisa mendapatkan bangku kosong di pinggir lapangan. Sepertinya mereka cuma remaja non professional yang sedang bermain untuk menghabiskan sore bersama.

“Jadi, Kaoru gimana?”tanya Kaito.

“Masih ngambek,”jawabku.

“Rasanya kita terlalu berlebihan dalam ngemanjain dia, sampai-sampai dia nggak punya rasa hormat sama orang tuanya.”

“Dia anak kita satu-satunya, Kaito. Kamu ingat bagaimana susahnya kia berusaha memiliki dia, kan?”

“Iya, aku tau. Tapi bukan berarti dia bisa memperlakukan kita sesuka dia, kan?”

Aku setuju, tapi cuma bisa diam. Akhir-akhir ini Kaoru berubah dan kami berdua menyadari hal itu. Ia menghindari sentuhan fisik dan sering marah karena banyak hal padaku. Karena itu aku merasa sedikit takut Kaito akan meluapkan amarahnya pada Kaoru. Kaito selalu terlihat tidak sabar menghadapi anak kami yang mulai beranjak remaja itu.

“Aku nggak mau Kaoru benci sama aku,”kataku pada Kaito. “Aku tau Kaoru benci profesiku di masa lalu sejak dulu. Dan aku nggak pernah berani nanyain alasannya.”

“Kita harus ngajak dia ngomong secara dewasa. Kalo dia punya masalah sama profesi kamu di masa lalu, dia harus bilang alasannya. Aku sadar dia udah cukup dewasa untuk punya pendapatnya sendiri.”

Aku mendesah. “Di udah bilang alasannya tadi.”

“Apa?”

“Aku bikin di malu.”

Kaito diam saja. Ia lalu mengacak-acak rambutnya. “Jadi menurut kamu, kita harus gimana?”tanyanya. “Sejujurnya aku nggak tau harus apa.”

Aku menetawainya. “Tadi di telepon kamu bisa tertawa. Sekarang jadi pusing sendiri, kan?”

“Itu semua karena aku terlalu senang karena kamu nelpon aku.”

Aku tersenyum. Aku bisa melihat kejujuran di matanya. Tapi aku tidak ingin menunjukkan kalau aku memahami hal itu. Aku ingin membuatnya menerka-nerka.

“Besok kita piknik, yuk. Mumpung libur akhir pekan,”usul Kaito. “Kita harus bikin Kaoru merasa nyaman untuk ngomong sama kita. Liburan adalah solusi terbaik yang bisa aku temuin saat ini.”

“Ide bagus,”kataku. Aku merasa suamiku memang bijaksana.

Aku tidak bisa memecah kecanggungan yang terjadi saat kami sedang makan malam. Kaoru menatap makanan yang kuhidangkan dan makan dengan wajah ditekuk. Kaito juga tidak berusaha membangun obrolan, membuatku bingung harus bicara atau tidak. Saat ini aku merasa Kaito dan Kaoru sama saja.

“Kaoru, besok kamu Papa jemput, ya, ke klub. Kita piknik makan siang di pinggiran kota,”kata Kaito akhirnya, membuatku lega.

Kaoru berhenti makan. “Buat apa? Kita lagi nggak ngerayain apa-apa, kan?”

“Kenapa kita harus ngerayain sesuatu dulu untuk pergi bareng?”tanya Kaito balik.

“Iya, deh. Terserah Papa.”

Kaito memberi isyarat lewat tatapannya padaku. Sepertinya itu isyarat untuk bicara. Aku memikirkan sebuah topik yang rasanya cukup netral. “Besok Kaoru mau Mama masakin apa?”

Kaoru menatapku cukup lama. “Karage,”katanya pelan.

“Oke. Besok Mama masak karage.”

“Aku mau makan yakiniku,”kata Kaito.

“Oke, sayang. Aku juga akan masak itu,”janjiku.

Suasana meja makan hening lagi. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Kaito menatapku dan memberi isyarat agar aku bersabar. Sepertinya aku benar-benar harus menunggu sampai besok agar bisa menyelesaikan masalahku dan Kaoru

###

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!