Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Mengantar Pulang
"Apa kamu bilang?" Maudy pun mencekik leher pria itu. Seenaknya saja mengatakan ia berat.
"Nona, apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuhku?" ucap Roni dengan kesal. Diledek begitu saja, ia malah terus dicekik.
"Suruh siapa kamu bilang a-" ucap Maudy terjeda saat tatapan mereka bertemu.
Jarak mereka terlalu dekat, hingga ia bisa melihat mata bulat itu.
"AKu be-rat." sambung Maudy sambil membuang pandangannya. Mendadak gugup
"Di mana mobilmu di parkir?" tanya Roni yang juga membuang pandangannya. Mengalihkan tatapan dari wanita itu.
"Itu!" Maudy pun menunjuk ke arah mobilnya.
Begitu sampai di samping mobil, Roni menurunkan Maudy dari gendongannya. Ia juga memegangi wanita itu untuk naik ke dalam mobil. Lalu ia pun masuk dari pintu pengemudi.
Roni yang akan mengemudikan mobil tersebut dan mengantar wanita itu pulang.
"Nona, apa tidak sebaliknya kita ke rumah sakit saja?" tanya Roni saat melihat kaki atasannya makin membengkak.
"Tidak perlu!" jawab Maudy dengan nada tinggi. Ia tidak mau ke rumah sakit.
Roni mendengus, ia menyarankan dan malah tanggapannya begitu. Seperti berteriak.
"Nona, pasang sabukmu!" pinta Roni. Akan ia antar segera wanita itu pulang. Dan akan kembali ke kantor.
Maudy pun memasangnya dan tidak lama mobil pun melaju.
"Kenapa kamu masih terus mendekatiku?" tanya Maudy menatap tajam ke arah Roni. Ia meminta penjelasan.
Roni melihat ke arah Maudy sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Sudah berapa kali aku katakan, aku sedikit pun tidak berniat mendekatimu!"
"Tidak mungkin!" Maudy tidak percaya. Pria modus itu tidak bisa dipercaya.
"Nona, apa kamu begitu ingin aku mendekatimu?" Roni melirik sekilas, "Tapi, maaf. Kamu itu sama sekali bukan tipeku!"
Wanita itu pun mencibir, pria itu masih tidak mau mengakui.
"Jangan bohong!"
"Kenapa aku harus bohong?" Roni malah balik bertanya.
"Wajar saja kamu berusaha sekali mendekatiku. Aku begitu cantik, kamu terpesona padaku kan?!" tanya Maudy dengan yakin sekali. Pria itu bohong karena sedang berusaha menutupi perasaannya.
Roni jadi terkekeh. Lucu sekali wanita itu dengan kepedeannya.
Maudy melipat tangannya di dada. "Kenapa tertawa? Aku benarkan? Kamu begitu menyukaiku?!"
"Nona, percaya diri itu bagus. Tapi terlalu percaya diri itu tidak baik juga!"
"Apa maksudmu?"
"Berhentilah mengatakan jika aku menyukaimu. Aku tidak menyukaimu, nona. Aku sama sekali tidak menyukaimu!" jelas Roni penuh dengan penekanan.
"Aku itu sangat cantik, kenapa kamu tidak menyukaiku?" tanya Maudy. Sepertinya pria itu punya kelainan. Masa tidak suka wanita cantik.
Roni mendengus sesaat. "Terus kalau kamu katanya cantik dan bahkan sangat sangat sangat cantik, aku harus menyukaimu gitu? Yang benar saja, nona!"
Pria itu menggelengkan kepala. Maudy itu wanita anehlah.
"Oh apa-?" Roni sengaja menjeda ucapannya dan melihat ke arah wanita itu.
"Apa nona yang sebenarnya sangat menyukaiku? Kamu naksir padaku kan?" kini Roni yang membalikkan kata. Ia menuduh Maudy begitu.
"Nona begitu sangat memaksaku untuk menyukaimu, padahal sebenarnya nona lah yang ingin bersamaku!" Roni menaikkan alisnya. Sebenarnya wanita itu yang sedang mencari perhatiannya.
"Tidak! Tutup mulutmu itu! Aku tidak menyukaimu!" sanggah Maudy segera. Apa-apaan tuduhan itu.
"Jika tidak, berhentilah menuduhku mendekatimu!"
"Aku tidak menuduhmu, tapi kamu saja yang berkeliaran di sekitarku! Wajar saja aku jadi berpikiran begitu!" tidak ada yang salah dengan perkataannya.
"Astaga!" Roni memijat pelipisnya. Wanita itu memang tidak mau kalah.
"Aku karyawanmu, nona. Wajar saja ada di sekitarmu!" jelas Roni.
"Tapi kamu itu tidak seperti karyawan lainnya. Kamu ketara sekali berusaha mendekatiku!" Maudy mengatakan dengan yakin. Dari awal pria itu memang sudah modus padanya.
Roni membuang nafasnya perlahan. Bicara dengan wanita itu tiada akhirnya. Sambung terus dan terus teruslah itu.
"Rumahmu di mana?" tanya Roni mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak tahu tempat tinggal wanita itu.
Maudy malah tertawa dan membuat Roni jadi bingung.
"Hah, itu. Sekarang kamu malah tanya di mana rumahku. Apa kamu berniat datang saat malam minggu?" tanya wanita itu dengan senyuman mengejek.
Menurut Maudy, Roni itu begitu naksir dirinya. Cuma ya, tidak mau mengakui saja. Sudah ketahuan seperti ini, masih berpura-pura juga.
Roni pun menepikan mobilnya. Ia lalu menatap heran ke arah wanita itu. Ditanya apa, jawabnya apa.
"Nona." ucap Roni lihat wanita itu dengan serius.
"Apa? Kamu mau mengatakan cinta?" tanya Maudy. Ia juga begitu serius melihat pria itu.
Roni mengusap wajahnya dengan kasar. Nona Maudy itu sesuatulah. Entahlah, bingung mau bagaimana mendeskripsikan wanita aneh itu.
"Aku," Roni menunjuk dirinya sendiri. Sepertinya harus menyadarkan wanita aneh dan kepedean ini.
"Bertanya di mana rumahmu." Kini Roni menunjuk ke arah Maudy.
"Untuk mengantarmu! Apa kamu bisa menyetir sendiri dengan kakimu itu? Kenapa kamu kepedean seperti ini, nona!" jawab Roni dengan nada cepat. Ia menahan kekesalannya.
Maudy pun merutuki diri, ia baru ingat kondisinya sekarang. Ia tidak bisa mengemudikan mobil, kakinya sakit. Makanya pria modus ini yang akan mengantarnya.
"Aku tidak kepedean!" namanya Maudy tetap tidak mau kalah.
"Wajar saja aku berpikiran begitu, selama ini kamu kan memang sengaja mendekatiku!" sambung Maudy sambil membuang pandangan.
"Argh!" Roni pun mengeluarkan taringnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Yee... Mama pulang!" sorak Jeri saat melihat mobil mamanya masuk ke halaman. Mama Maudy pulang cepat.
"Papa!" mata Jeri berbinar melihat pria yang turun dari mobil mamanya.
Papa Roni akhirnya pulang juga ke rumah. Mereka akan tinggal bersama. Hatinya senang sekali.
Roni tersenyum saat Jeri menghampirinya. Ia mengelus kepala bocah kecil itu, lalu membukakan pintu mobil.
"Pa, mama kenapa?" wajah senyum itu mendadak pudar. Papanya memapah mama.
"Mama tadi terjatuh dan sepertinya kakinya terkilir!" jelas Roni akan kondisi wanita itu.
"Mama, sudah Jeri bilang jangan pakai sepatu tinggi-tinggi!" bocah kecil itu jadi berwajah mewek. Ia sering mengingatkan mamanya, tapi tetap juga selalu pakai sepatu tinggi itu.
"Mama tidak apa-apa sayang." Maudy jadi mewek melihat wajah sedih anaknya. Ia segera memeluk Jeri setelah di dudukkan di sofa ruang tamu.
Roni melihat Maudy yang begitu menyayangi anaknya. Tidak ada sifat sombong, angkuh dan pemarahnya. Tapi sifat keibuan yang begitu tulus menyayangi anaknya.
"Nona, aku pulang dulu." ucap Roni. Ia telah mengantarkan atasannya ke rumah.
"Papa mau pulang?" tanya Jeri menongolkan kepala. Ia masih di pelukan mamanya.
"Iya. Om pulang dulu ya, Jeri." pamit Roni.
"Kenapa papa pulang? Papa tinggal bersama Jeri saja di sini ya." harap Jeri yang kini berdiri di depan Roni.
"Om mau kembali ke kantor, Jeri." bujuk Roni. Selalu setiap akan pergi, Jeri menunjukkan tatapan sedih. Bocah kecil itu begitu takut kehilangan dirinya.
"Papa nanti akan menemui Jeri lagi kan?" anak kecil itu masih memastikan.
"Nanti om akan menemui Jeri lagi ya." bujuk Roni seraya mengelus kepala Jeri.
Dan Jeri pun memeluk pria itu.
"Jeri sayang sama papa." ucapnya.
Roni tersenyum tipis. "Om juga sayang sama Jeri."
Maudy melihat interaksi keduanya. Seperti seorang ayah dan anak. Tampak saling menyayangi.
'Apa aku menikah saja dengan pria ini?'
.
.
.