Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kandidat baru
Safira terdiam memegangi kursi roda Gavin. Kini mereka ada di depan ICU tempat Maura berada. Meski dengan tangan yang di gips dan tubuh yang masih lemah, Gavin tetap memaksa untuk melihat Maura.
"Harusnya dia pakai helm, biar gak kejadian kayak gini," ucap Gavin pelan. Safira diam saja, tapi pegangannya pada kursi roda kian erat. Lelaki itu masih melanjutkan, "ini semua gara-gara aku 'kan?" Entah pada siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Iya, ini semua karna kakak ketemu sama dia. Kakak udah janji 'kan?" Safira yang menjawab. Gavin menoleh, akhirnya, "Safira, Maura bukan orang yang patut kamu benci. Dia gak ada hubungannya dengan kita."
Safira menatap Gavin tajam. "Aku gak benci sama dia. Aku cuma gak mau semua usaha kita tentang hubungan ini hancur." Gavin menggeleng. "Tapi Maura gak ngelakuin apa-apa. Aku juga gak punya perasaan sama dia."
"Kakak jangan lupa sama siapa aja yang mengawasi hubungan kita. Mereka pasti akan memanfaatkan keberadaan dia untuk memecah hubungan kita." Safira berkata dengan napas yang mulai naik-turun.
"Kamu terlalu berlebihan. Aku 'kan udah bilang, dia gak ada dan gak akan pernah mempengaruhi hubungan kita. Aku bisa jamin itu." Safira menghela napas lantas berkata, "lalu gimana janji kakak itu? Kakak bahkan lupa." Safira menuding Gavin dengan tepat.
"Aku gak lupa–" kilah Gavin cepat. "Safira, jangan bilang kamu ada hubungannya dengan kecelakaan ini?"
"A-apa?" Safira tanpa sadar mundur beberapa langkah. Ia tak habis pikir dengan tuduhan itu. Belum lagi dengan tatapan laki-laki itu yang meragukannya. "Kakak percaya aku tega ngelakuin itu?"
Gavin kemudian menunduk. "Maaf, aku gak bermaksud."
Suara langkah kaki yang tergesa membuat Safira menoleh. Seorang wanita paruh baya berlari ke arah mereka. Wajahnya berpeluh, dengan pakaiannya yang sederhana, membuat wanita itu terlihat lebih tua dari seharusnya. "Bagaimana keadaan Maura?" Padahal wanita itu tidak mengenal mereka, tapi ia seakan tahu kalau Maura di dalam sana ada hubungannya dengan mereka.
"Masih sama, Tante." Safira tidak tahu kalimat yang lebih baik dari itu. Ia tidak mendapat laporan perkembangan Maura, juga tak mungkin memberikan kalimat penyemangat.
"Kupikir dia akan sadar secepatnya. Aku pergi sebentar lalu para suster memberitahu keberadaan kalian di sini. Mungkin kalian tahu apa yang terjadi pada Maura." Wanita itu mulai menangis. "Aku tidak tahu kenapa bisa jadi seperti ini."
Tetiba saja Safira iri bukan pada tempatnya. Melihat bagaimana Ibu Maura menangis dan meraung di depan mereka, betapa takutnya wanita itu kehilangan anaknya. Safira kesal karna ia memiliki perasaan itu, padahal kehidupan mereka jelas berbeda.
"Tante tenang saja, aku pasti akan bertanggung jawab." Setelah mendengar Gavin berbicara, Ibunya Maura mengucapkan terima kasih yang tidak akan bisa dihitung jumlahnya.
Safira akhirnya bisa mendapatkan alasan bagus untuk pergi dari situasi yang tidak diharapkan. Tanpa berharap ada yang menahannya. Ia pergi setelah meminta suster Juli membatu Gavin.
.
.
"Safira mana?" Tanya Mama Gavin masuk ke kamar. Tangannya penuh dengan berbagai kantong berisi buah-buahan dan kue dari bakery terkenal. Mama Gavin meletakannya di meja dapur mini rumah sakit.
"Pulang," jawab Gavin melirik ke arah belanjaan Mamanya. Tidak mungkin semua kue itu belanjaan Mamanya. Pasti grup arisan yang memberinya, seperti Safira dulu yang selalu mendapat paket.
"Kapan dia pulang? Kok Mama gak ketemu, tadi Mama di lobby terima kiriman ini."
"Tadi pas di ICU." Sebuah kue meluncur ke bawah tanpa bisa dicegah.
Mamanya menatap Gavin tajam, mendekati tempat tidur. "Gavin, asal kamu tahu. Mama yang sengaja bikin Maura celaka. Mama ngasih sedikit pelajaran buat pelakor gak tahu diri itu."
Gavin menatap Mamanya berang. "Ma! Apa Mama sadar dengan perbuatan itu? Seseorang hampir aja meninggal, gimana kalau Mama kena pasal percobaan pembunuhan?"
Mamanya tersenyum miring. "Memang kenapa? Kamu pikir pasal kecil tanpa bukti bisa bikin Mama di penjara?"
"Mama keterlaluan! Maura gak salah apapun."
"Mama jijik sama kalian. Bisa-bisanya kamu punya selingkuhan rendahan seperti jalang itu."
"Dia bukan jalang, Ma. Jaga mulut Mama!" Gavin memalingkan wajahnya, ia berbalik memunggungi Mamanya. "Aku kecewa sama Mama. Sebaiknya Mama pulang sekarang."
Mamanya tidak membalas lagi, melainkan pergi dari sana sesuai permintaan anaknya.
Sementara Gavin kembali terlentang, menatap langit-langit ruangan itu. Pemikirannya jauh melayang.
.
.
"Gimana keadaan dia?"
Safira dikejutkan dengan kedatangan Ibunya di ruang baca. Teh ditangannya masih utuh, tapi sudah dingin, sepertinya tadi ia sempat melamun. Safira meletakkan cangkir teh nya. Dia yang di maksud Ibunya pasti Gavin. "Baik."
"Masih belum berubah pikiran juga, ya?" Ibunya duduk di dekat Safira. Pakaiannya sudah lebih kasual tanda ia sudah berganti pakaian.
"Maksud Ibu apa?" Safira berpura-pura bodoh.
"Kamu itu! Apa masih belum cukup dengan kecelakaan itu?"
Safira akhirnya menatap sang Ibu, tapi dengan tatapan tajam. "Jadi, Ibu yang sudah merencanakan kejahatan itu?"
Ibunya tersenyum culas. "Kamu mau tahu siapa dalangnya?" Safira mengangguk ragu. "Ibunya sendiri pelaku itu."
"A-apa?"
"Ya, sejauh itu mereka akan bertindak. Harusnya kamu bisa menilai sampai sini."
Ibunya hendak pergi, tapi Safira menghentikannya. "Aku harus gimana supaya Ibu berhenti ragu?"
"Coba berkenalan dengan calon yang Ibu pilih."
Safira tercengang. "Bu, gimana dengan pendapat orang? Aku sudah punya calon." Padahal Ibunya paling tahu cara menjaga citra publik.
"Ibu sudah pikirkan untuk menanganinya. Lagipula pertunangan kalian belum dilakukan."
Safira terdiam, tidak habis pikir dengan ide gila sang Ibu. Sampai Ibunya pergi pun ia masih terdiam mencerna semuanya.
.
.
Safira tidak bisa tidur, ia mengambil ponsel dan hendak menghubungi Gavin. Tapi ternyata lelaki itu mengiriminya pesan duluan.
GavinP : mengenai kecelakaan itu, aku minta maaf
SafHalim : aku tahu
GavinP : makasih, sayang
SafHalim : ya, kamu baik-baik aja?
GavinP : masih sakit
SafHalim : maksudku tentang Mama
GavinP : kita berdua hidup di keluarga yang 'kamu tahu'
SafHalim : aku gak mau anakku nanti mengalami hal yang sama
GavinP : kamu tenang aja, aku akan menjamin kebahagiaan kalian nantinya
SafHalim : makasih Papa baik 🥰
GavinP : sayang Mama cantik 😘
SafHalim : kakak istirahat, besok aku jenguk lagi. Mau dibawain apa?
GavinP : cinta yang banyak
SafHalim : siap
Rasanya Safira akan bermimpi indah malam ini.
.
.
"Kak Gavin belum balik dari rumah sakit, ya?" Lisa bertanya pada Safira diperjalanan ke kantin. Mereka makan siang berdua, sementara Frisca dan Ester sedang mengerjakan tugas tambahan di kelas, bersama lima murid lain yang gagal saat kuis.
"Iya, mungkin lusa baru bisa pulang."
"Pacar aku bolak-balik ke sana, kita jadi jarang punya waktu. Kasihan, ya, aku," keluhnya sambil cemberut.
Safira tersenyum. "Aku apalagi. Pacarku yang jadi pasien, kita lebih gak punya waktu."
"Iya, juga, ya." Lisa nyengir.
Mereka masuk ke antrian yang tidak terlalu penuh. Sejak masuk ke kantin hingga punya tempat duduk, banyak yang berbisik dengan mata yang menelanjangi mereka.
"Mereka kenapa?" Safira akhirnya bertanya.
Lisa tampak ragu tapi akhirnya berucap, "sebenarnya semua orang udah tahu masalah kak Gavin kecelakaan sama Maura. Beritanya rame di forum sekolah."
Safira tidak menanggapi. Tapi Lisa langsung paham. "Kamu baik-baik aja?"
"Ya, aku sama kak Gavin baik."
Lisa menyentuh tangan Safira. "Yang aku maksud itu perasaan kamu."
"Aku baik, Lisa."
Lisa pun mengangguk setelah melihat senyuman Safira. Mereka lantas memilih meja setelah mendapatkan makanan.
"Kamu Safira 'kan?"
Mereka menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki jangkung ada di sana dengan senyuman lebarnya. "Aku Gio, Mamaku temenan sama Tante Stella."
Safira langsung paham. "Ada apa?"
"Aku boleh duduk sama kalian?" Gio menatap Safira dan Lisa bergantian.
Safira mengangguk. "Boleh." Sementara Lisa syok, Safira yang biasanya cuek pada laki-laki kini menerima lelaki yang terbilang asing.
Gio pun duduk mengambil kursi di depan Safira.
"Maaf aku belum kenalan secara resmi. Aku Giorgino Djayara dari 2-A, panggil Gio aja." Gio punya senyuman yang manis.
"Safira Halim, dan ini Lisa Piscelia sahabat aku."
Gio mengangguk. "Pulang sekolah nanti boleh aku antar pulang?" Safira tidak menjawab, maka Gio menjelaskan, "bukan maksud apa-apa, ini cuma bagian dari perkenalan kita. Kurasa kita juga butuh ngobrol berdua."
Safira berpikir sebentar, sepertinya ia juga butuh membicarakan masalah mereka secara pribadi. "Iya."
Gio tersenyum lantas mengulurkan tangannya, Safira yang menganggap mereka akan salaman pun mengulurkan tangannya. Lisa pun sama terkejutnya saat Gio mengecup punggung tangan Safira sebelum berlalu dari sana. Tidak hanya mereka, rupanya banyak pasang mata yang juga terkejut akan kejadian itu.
.
.
TBC