Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Kirana mengemudi tanpa henti, matanya terpaku pada jalan gelap di depannya, mencoba mengabaikan suara berdebar di dadanya yang nyaris mengaburkan suara mesin mobil. Setiap bayangan di pinggir jalan membuat jantungnya berdegup lebih kencang, membayangkan sosok Dion muncul begitu saja, mengejarnya, menuntut pertanggungjawaban atas segala yang dia lakukan untuk lari.
Selama beberapa menit yang panjang, ia terjebak dalam hening, hanya ditemani deru mesin dan tarikan napasnya yang belum sepenuhnya stabil. Kilasan wajah Andi terus menghantui pikirannya – keteguhan dan keputusasaan di matanya ketika meminta Kirana untuk pergi dan menyelamatkan diri. Keputusannya untuk meninggalkan Andi terasa seperti pengkhianatan, namun ia tahu, jika ia tetap di sana, hanya akan memberikan Dion kendali atas hidup mereka berdua.
Pikirannya berputar tanpa arah ketika sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Notifikasi kecil di sudut layar memaksa Kirana untuk meminggirkan mobilnya. Tangan gemetar, ia meraih ponsel, menahan napas saat membuka pesan itu. Dari nomor yang tak dikenal.
“Jangan berpikir kau bisa lolos, Kirana. Segalanya baru saja dimulai.”
Kirana terpaku, tubuhnya gemetar tak terkendali. Pesan singkat itu seolah membawa Dion tepat di sampingnya, membuat udara di sekitarnya terasa berat dan pengap. Ia melihat ke sekeliling, seolah-olah Dion bisa muncul di mana saja, bahkan dari balik pohon atau dari kegelapan yang memeluk jalan malam itu.
Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Kali ini, panggilan masuk dari Andi.
“Andi?” Suaranya nyaris berbisik, berharap, meski tahu panggilan ini bisa menjadi apa saja selain kabar baik.
“Andi di sini, Kirana.” Suara yang familiar terdengar, namun ada kelelahan dan kegetiran yang tersirat. “Aku berhasil keluar. Dion… dia takkan berhenti, bahkan ketika aku mencoba menghentikannya.”
Kelegaan dan rasa bersalah bercampur di dalam diri Kirana. “Andi, aku… aku takut. Dia tahu aku pergi. Dia mengirimiku pesan.”
Hening sejenak di ujung sana, sebelum Andi melanjutkan dengan nada yang tegas. “Dengarkan aku baik-baik. Kau harus pergi lebih jauh lagi. Ada tempat di ujung kota ini yang aman, aku punya teman di sana. Kau bisa bersembunyi sementara sampai aku datang.”
“Tempat… aman?” bisik Kirana. “Di mana?”
Andi mengarahkan Kirana ke sebuah alamat di pinggiran kota, tempat yang tampak sunyi dan jauh dari peradaban. Saat mendengar Andi menyebutkan alamat itu, ada ketenangan aneh yang menjalar dalam dirinya, meski ia belum tahu apa yang menunggunya di sana. Ia tahu Andi takkan menjerumuskannya ke tempat yang tidak aman.
Kirana mulai mengemudi kembali, mengikuti rute yang Andi sebutkan. Perjalanan itu dipenuhi oleh ketegangan yang tidak henti-henti. Kirana merasa setiap tikungan, setiap jalan yang ia lalui, seperti membawa bayangan Dion lebih dekat ke arahnya. Namun ia tetap melaju, mengikuti kata-kata Andi yang menjadi satu-satunya arah di tengah keputusasaannya.
Akhirnya, ia tiba di lokasi yang dimaksud. Sebuah rumah tua di ujung kota, terpencil di balik pepohonan rindang, tampak sepi dan gelap. Kirana menelan ludah, menguatkan diri sebelum keluar dari mobil. Ia berjalan menuju pintu, mengetuknya dengan ketakutan yang sulit ia sembunyikan.
Tak butuh waktu lama sebelum seseorang membukakan pintu. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana, wajahnya hangat namun penuh kehati-hatian.
“Kirana, kan?” tanyanya lembut.
Kirana mengangguk pelan. “Ya… Andi bilang aku bisa datang ke sini…”
Wanita itu tersenyum tipis, mengangguk mengerti. “Namaku Bu Rina. Masuklah. Kau aman di sini. Andi sudah memberitahuku sedikit tentang situasimu.”
Kirana masuk ke dalam, disambut oleh suasana rumah yang tenang namun sedikit usang. Lampu yang redup dan perabotan kayu memberikan suasana hangat namun penuh misteri.
“Kau bisa beristirahat di kamar sebelah,” ujar Bu Rina, mengarahkan Kirana ke sebuah kamar di ujung lorong. “Andi akan menyusul begitu dia bisa. Untuk saat ini, tenanglah dan beristirahatlah sejenak. Kau membutuhkan itu.”
Kirana mengangguk lemah, mengikuti arahannya ke kamar. Saat ia menutup pintu dan duduk di atas ranjang, kelelahan mulai merasuki tubuhnya. Namun, setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Dion kembali mengganggu pikirannya.
Namun di tengah malam, suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terbangun. Ia membuka mata perlahan, memfokuskan pendengarannya. Apakah itu Bu Rina? Tapi langkah itu terdengar lebih berat, lebih lambat, seolah ada seseorang yang sengaja mendekat dengan perlahan.
Kirana menahan napas, mencoba menangkap suara langkah yang semakin mendekat. Pintu kamarnya yang sedikit terbuka menampilkan bayangan di luar, sosok yang tak ia kenal. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak tahu harus melakukan apa – melarikan diri atau tetap bersembunyi.
Saat bayangan itu bergerak mendekat, ia menggenggam erat telepon genggamnya, siap menelepon Andi. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sosok itu berdiri tepat di depan pintu, menatapnya dengan tatapan tajam yang ia kenali – Dion.
“Lama tak berjumpa, Kirana,” suara Dion nyaris seperti bisikan, dingin dan menyeramkan.
Kirana menatap Dion, tubuhnya seolah membeku di tempat. Seluruh sarafnya menegang, ketakutan bercampur aduk dengan keterkejutan yang luar biasa. Ia berpikir bagaimana mungkin Dion bisa menemukannya di sini. Tidak mungkin Andi yang memberitahunya.
"Kau pikir bisa lari dariku?" suara Dion rendah namun penuh dengan nada ancaman, senyumnya tipis, menyeringai dengan rasa puas.
"Dion... bagaimana kau bisa...?" Kirana akhirnya berhasil membuka mulut, namun suaranya bergetar.
Dion hanya tertawa kecil, terdengar seperti ejekan. "Kau tahu, aku punya banyak cara untuk mengetahui ke mana kau pergi. Sungguh mengejutkan melihat betapa mudahnya mencari tahu tentang seseorang, bahkan yang berusaha menghilang." Ia melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya, membuat suasana semakin mencekam.
Kirana menelan ludah, mencoba menahan gemetar di tangannya. Ia menatap Dion, mencari celah untuk melarikan diri, tetapi posisi Dion menghalangi jalan keluarnya. Seiring ketakutan yang membelenggu, keberaniannya mulai muncul. Ia tidak bisa terus-menerus menjadi korban.
"Dion, cukup. Aku tak mau lagi hidup dalam ketakutan. Aku ingin hidup bebas dari semua ini," ujar Kirana, meski nadanya masih bergetar, namun ada tekad yang mulai tumbuh dalam kata-katanya.
Dion mengangkat alis, tersenyum sinis. "Bebas? Kau pikir dengan meninggalkanku, kau bisa bebas? Kirana, kau milikku. Kau selalu milikku, dan tak ada yang bisa mengubah itu."
Kirana merasakan darahnya mendidih mendengar kata-kata itu. Ia tahu harus bertindak sekarang atau tidak sama sekali. Tiba-tiba ia melangkah maju, mendekati Dion dengan keberanian yang ia kumpulkan. Tanpa ragu, ia menatapnya langsung.
"Milihku? Kau tak memiliki siapa pun, Dion. Dan jika kau berpikir bisa mengontrol hidupku, kau salah besar," katanya, menahan napas dan memperhatikan reaksi Dion.
Dion terkejut sejenak, tak mengira Kirana akan berbicara dengan nada setegas itu. Ia mendekat lebih dekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah Kirana. "Oh, kau punya nyali sekarang, Kirana. Namun sayangnya, keberanian itu takkan bisa menyelamatkanmu."
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari arah pintu depan rumah. Suara itu membuat Dion berhenti, matanya menyipit, menyadari bahwa mereka tidak sendiri di tempat itu. Kirana ikut terkejut, namun dalam hatinya muncul secercah harapan.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba, dan Bu Rina muncul dengan wajah tegang. "Apa yang kau lakukan di sini, Dion? Ini rumahku. Keluar, atau aku akan memanggil polisi."
Dion berbalik menatap Bu Rina dengan tatapan dingin. "Ibu tak usah ikut campur," jawabnya dengan nada rendah namun mengintimidasi. "Ini urusan kami berdua."
Bu Rina tidak bergeming, berdiri tegak dan memasang ekspresi tak gentar. "Tidak, ini bukan hanya urusan kalian berdua. Kirana ada di bawah perlindunganku sekarang. Kau tak bisa seenaknya masuk dan mengancamnya di sini."
Kirana memandang Bu Rina dengan mata penuh syukur, merasakan dukungan yang luar biasa dari wanita itu. Namun, Dion mendekati Bu Rina, menunjukkan ketidaksenangan yang nyata di wajahnya. Situasinya memanas, dan ketegangan semakin meningkat.
Kirana menatap ke arah jendela, menyadari bahwa ini mungkin kesempatan untuk melarikan diri. Perlahan-lahan, ia meraih tasnya, bergerak diam-diam ke arah jendela. Namun, ketika ia hampir berhasil, Dion tiba-tiba memutar kepalanya, menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kau mau ke mana, Kirana?" suaranya berdesis.
Kirana menelan ludah, namun ia tak lagi bisa mundur. Dengan gerakan cepat, ia membuka jendela dan melompat keluar, mendarat di tanah dengan lutut yang sedikit sakit. Ia berlari sekuat tenaga, mendengar langkah Dion yang mengikuti dari belakang.
Suasana malam sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah dan napas berat mereka yang saling berkejaran. Kirana berlari tanpa menoleh, tahu bahwa Dion tidak akan berhenti begitu saja. Ia harus menemukan cara untuk mengakhiri semua ini – atau terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Namun, saat ia mulai mendekati hutan di belakang rumah, suara langkah Dion terdengar semakin dekat. Kirana tersandung sebuah akar pohon, jatuh terjerembab di tanah. Ia merasa panik, mencoba bangkit, namun kakinya terasa sakit. Dion mendekatinya dengan langkah lambat, seperti pemburu yang mengepung buruannya.
"Ini akhirnya, Kirana," katanya dengan nada puas. "Kau takkan lari lagi."
Kirana menatap Dion, terpojok tanpa jalan keluar. Namun, sebelum Dion sempat mendekat lebih jauh, suara langkah lain terdengar di belakang mereka.
“Andi?” suara itu menghentikan langkah Dion yang tampak terkejut.
Siluet Andi muncul dari balik pohon, wajahnya penuh ketegangan namun penuh tekad. "Biarkan dia pergi, Dion. Ini sudah cukup."
Dion menyeringai, berbalik menghadapi Andi. "Kau pikir kau bisa menyelamatkannya dari aku?"
Andi maju selangkah, matanya tajam menatap Dion. "Aku takkan biarkan kau menyentuhnya lagi."
Ketegangan memuncak, dua sosok itu saling berhadapan di bawah bayangan gelap pepohonan, sementara Kirana hanya bisa menyaksikan, napasnya tertahan. Apa yang akan terjadi selanjutnya?