NovelToon NovelToon
Cinta Suci Untuk Rheina

Cinta Suci Untuk Rheina

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / Slice of Life
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nofi Hayati

Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Playdate Zahid dan Alya

Belasan tahun telah berlalu sejak Nando dan Rheina terakhir kali bertemu. Kini, mereka duduk santai di sebuah kafe sambil menikmati pizza besar yang menggoda di atas meja. Suasana sore itu begitu nyaman, ditemani minuman favorit masing-masing dan suara tawa riang dari playground kafe yang berada tak jauh dari meja mereka.

"Serius deh, nggak nyangka banget kita bisa ketemu lagi kayak gini," ujar Nando sambil menyunggingkan senyum kecil. Pandangannya sesekali melirik ke arah dua anak yang tengah bermain—Alya, putrinya, dan Zahid, putra tunggal Rheina. Alya yang biasanya pemalu kini terlihat nyaman bermain bersama Zahid yang penuh keceriaan. Sesuatu yang tak pernah Nando bayangkan bisa terjadi, mengingat betapa sulitnya Alya bersosialisasi dengan anak-anak lain.

Rheina tersenyum lembut, sambil menyeruput minumannya. “Iya, aku juga nggak nyangka. Kayak mimpi aja rasanya bisa duduk bareng kamu lagi, Nando,” ucapnya dengan suara yang terdengar seperti nostalgia yang kembali terbangkitkan.

Obrolan mereka mengalir begitu saja, seperti air. Mereka membahas banyak hal—mulai dari masa SMA yang penuh cerita lucu, hingga kehidupan mereka yang kini telah berkeluarga. Ada canggung di awal, tapi perlahan-lahan suasana mulai cair. Percakapan ringan bergulir, diselingi canda tawa tentang guru-guru zaman dulu dan kejadian-kejadian memalukan yang mereka alami bersama.

“Gila, inget nggak sih waktu kita hampir dihukum gara-gara bolos pas jam pelajaran fisika?” Nando tertawa lepas, mengenang satu kenakalan yang pernah mereka lakukan bersama.

“Ya ampun! Kamu masih inget itu?” Rheina tak kuasa menahan tawa. “Aku sampe sekarang masih ngerasa bersalah lho sama Pak Heri! Kayaknya dia tahu kita bolos, tapi nggak tega buat hukum.”

Mereka tertawa lagi, lebih keras kali ini. Tapi, di balik tawa itu, ada perasaan lain yang sempat terpendam belasan tahun. Mereka dulu adalah sahabat yang sangat dekat, tapi masing-masing menyimpan rasa yang lebih dari sekadar sahabat. Tak satu pun dari mereka yang berani mengungkapkannya, takut akan menghancurkan persahabatan yang begitu berharga.

Nando menghela napas, memandang Rheina sejenak. "Dulu, aku sebenarnya pengen banget bilang sesuatu ke kamu, tapi nggak pernah punya keberanian."

Rheina menoleh, kaget tapi juga penasaran. “Bilang apa?”

Nando tersenyum getir, "Ya ... waktu itu aku mikir kalau aku bilang, mungkin persahabatan kita jadi nggak akan sama lagi."

Rheina terdiam, matanya menerawang. Ia tahu apa yang dimaksud Nando. Sebenarnta ia juga merasakan hal yang sama. Namun, tidak jauh berberda dengan Nando, ia juga terlalu takut buat ngomong karena tidak mau merusak persahabatan mereka.

Suasana mendadak hening sejenak. Hanya suara anak-anak yang bermain di playground yang terdengar di sekitar mereka.

“Yah, mungkin memang lebih baik gitu. Kita tetap temenan baik sampai sekarang, kan?” kata Nando sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Dan sekarang kita malah ketemu lagi, anak-anak kita bisa main bareng. Siapa sangka?”

Rheina tersenyum kecil. “Iya. Siapa yang nyangka?” Rheina mencoba menyembunyikan debar di dadanya yang tiba-tiba menyerang.

Mereka kembali mengalihkan pandangan ke playground, di mana Alya dan Zahid masih tertawa riang. Kehidupan mereka kini sudah jauh berbeda, tapi kenangan yang dulu mereka bangun bersama tetap ada—meski tersimpan rapi di sudut hati masing-masing.

Angin sore yang sepoi-sepoi berhembus lembut di kafe yang nyaman itu. Nando dan Rheina masih duduk di sana, menikmati obrolan santai sambil sesekali melirik ke arah playground tempat anak-anak mereka bermain. Namun, setelah pengakuan Nando tadi, suasana di antara mereka terasa sedikit berubah. Ada sesuatu yang terlintas di benak masing-masing, tetapi tak ingin diungkapkan lebih lanjut.

Nando yang menyadari situasinya masih sedikit canggung, kembali berusaha mencairkan suasana. "Eh, ngomong-ngomong, kamu sekarang masih suka masak nggak? Dulu kan kamu jago banget bikin kue cokelat favorit anak-anak di sekolah," candanya sambil tertawa ringan.

Rheina tertawa kecil, meski pikirannya masih terganggu oleh pengakuan Nando barusan. "Masih, sih. Tapi sekarang lebih sering masak buat Zahid sama papa. Kamu sendiri gimana? Alya suka masakan kamu?"

Nando mengangguk sambil tersenyum. "Suka, tapi aku nggak sehebat kamu. Dia suka masakan yang simpel aja, kayak nasi goreng atau mi instan. Ya ... aku nggak setelaten kamu lah." Jawaban itu terdengar ringan, tapi ada sedikit rasa iri yang tertahan di dalam dirinya. Ia tahu betapa Alya butuh sosok ibu, sosok yang bisa memberinya kasih sayang seperti yang ia lihat sekarang.

Tak lama, Zahid dan Alya berlari kecil ke arah mereka. Wajah mereka ceria, tapi ada sedikit rona lelah setelah bermain sepuasnya di playground. “Ma, Zahid lapar,” ucap Zahid sambil menarik tangan ibunya.

Alya, yang biasanya pemalu dan enggan mendekati orang lain selain ayahnya, tiba-tiba meraih tangan Zahid. Mereka bergandengan sambil menatap penuh harap ke arah Nando dan Rheina.

Nando menatap Alya, hatinya tersentuh melihat anaknya yang perlahan mulai lebih terbuka. “Kamu lapar juga, Alya?” tanya Nando lembut. Gadis kecil itu mengangguk pelan, matanya sesekali melirik ke arah Rheina.

Tanpa menunggu lama, Rheina menggeser duduknya dan mulai menyuapkan potongan pizza ke mulut kedua anak itu. Zahid sudah terbiasa, tapi Alya? Gadis kecil itu tampak sangat menikmati setiap suapan dari Rheina, seolah-olah merasakan kehangatan yang selama ini sudah lama tidak ia dapatkan. Ibu Alya sudah lama tiada, dan Nando, meski berusaha sebaik mungkin, tahu bahwa ia tak bisa menggantikan peran seorang ibu dalam hidup anaknya.

Nando menatap adegan itu dengan hati yang sedikit terenyuh. Melihat Alya tersenyum saat disuapi oleh Rheina membuat hatinya hangat, sekaligus menyadarkan betapa besar kekosongan yang dialami Alya selama ini. Rheina, dengan kelembutannya, berhasil mengisi celah yang tak pernah bisa ia tutupi sendiri.

"Alya suka pizza-nya?" tanya Rheina sambil tersenyum lembut.

Alya mengangguk dengan penuh semangat, sesuatu yang jarang dilihat Nando dari putrinya. Biasanya Alya hanya menjawab pelan atau malah diam saja. Namun, sekarang ada cahaya kebahagiaan di matanya. “Suka, Tante. Enak banget.”

Nando tersenyum kecil, merasa terharu melihat pemandangan itu. Baginya, kebahagiaan Alya adalah segalanya, meski ia tak selalu tahu cara terbaik untuk memberikannya. Saat ini, Rheina seolah menjadi bagian dari kebahagiaan itu, walaupun hanya sesaat.

Rheina pun tampak menikmati momen itu. Meski hati kecilnya terusik oleh pengakuan Nando tadi, melihat kedua anak ini—Alya dan Zahid—membuatnya merasa lebih damai. Ada semacam ikatan yang tak perlu dijelaskan, tetapi bisa dirasakan oleh keduanya.

“Kamu luar biasa, Rheina,” ujar Nando tiba-tiba, suaranya pelan tapi tulus.

Rheina tersenyum tipis, “Ah, biasa aja. Aku cuma ngelakuin apa yang ibu mana pun bakal lakuin.”

“Tapi nggak semua ibu bisa kayak kamu,” balas Nando. “Alya … dia jarang lihat sosok seperti kamu. Aku nggak bisa bohong, ini bikin aku terharu.”

Rheina terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Namun, ia bisa merasakan kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan Nando. “Kamu juga luar biasa, Nando. Nggak gampang ngurus anak sendirian, apalagi kamu seorang ayah.”

Mereka terdiam, menikmati suasana yang kini kembali hangat. Tak ada lagi kecanggungan, hanya ada rasa nyaman dan penerimaan terhadap keadaan mereka masing-masing. Dua orang tua tunggal yang berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, meski terkadang harus merelakan perasaan mereka sendiri.

Zahid dan Alya masih sibuk dengan pizza mereka, sementara Nando dan Rheina duduk dalam kebersamaan yang tak perlu banyak kata. Mungkin takdir mempertemukan mereka kembali bukan untuk menyelesaikan apa yang belum selesai di masa lalu, tapi untuk membangun kebahagiaan baru—kebahagiaan yang kini terlihat jelas di mata dua anak kecil yang tengah tersenyum riang di depan mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!