Menjadi berbeda bukanlah menyenangkan bagi Tazkia, gadis kelas sebelas yang baru saja pindah ke sekolah asrama. Sebab dengan berbeda, ia harus berurusan dengan makhluk-makhluk astral yang selalu mengganggunya.
Di tempat baru, Kia berharap bisa hidup normal. Tapi nyatanya, ia malah mendapat teror arwah bayi setiap malam. Apa sebenarnya yang diinginkan ruh bayi itu dari Kia? dan bagaimana cara Kia mengatasi gangguan ini?
***
Sambung silaturahmi yuk. 😁
Ig: @eriyyalma_4
TT : ERiyy Alma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TBB 22
“Mbak Dara, bisa jelaskan lebih detail apa maksud ucapanmu tadi mbak?” tanya Husin yang tiba-tiba sedikit melunak, tapi tak melepas cengkraman tangannya pada pergelangan perempuan itu.
“Jangan pernah melawannya, jangan menggali masa lalu tentangnya. Kamu bisa celaka sepertiku.” Wanita bernama Dara itu melotot pada Kia, membuat Kia takut dan bersembunyi di belakang pundak Husin.
“Apa sih maksudnya? masa lalu siapa? memangnya aku melawan siapa?”
“Arwah bayi itu, aku tahu kamu punya kemampuan, dan kita sama. Kuperingatkan sebelum kamu menyesal dan mungkin imbasnya tak hanya padamu melainkan orang-orang di sekitarmu yang sangat kamu sayangi. “
Kia terdiam, mulutnya rapat seolah terkunci. Rasa merinding di seluruh tubuh. Dugaannya tentang sakit Nia dan apa yang dialaminya pagi tadi benarlah karena mencoba menggali masalah arwah bayi bajang, dan perempuan di depannya ingin ia menyudahi semua keingintahuannya.
Tapi, makhluk itu menggangguku setiap malam.
Ingin rasanya Kia menyuarakan isi hatinya ini, tapi ia benar-benar hanya bisa diam. Apalagi Husin terus menatapnya seolah meminta penjelasan. Dan saat pria itu lengah sebab lebih fokus pada Kia, perempuan bernama Dara itu berhasill melepaskan diri dan lolos dari cengkraman tangannya.
“Hey, dia kabur!” teriak Kia. Namun Husin tak memperdulikan itu, ia lebih fokus menatapnya.
“Kia, kamu bilang kalian cuma belajar mengaji, tapi apa yang kudengar ini? bayi, arwah? apa sebenarnya yang dimaksud perempuan itu?”
“B-bukan apa-apa,” jawab Kia hendak meninggalkan Husin sendiri, tapi pria itu segera menarik tangannya dan mengunci tubuh mungilnya di tempat sama seperti kali terakhir perempuan bernama Dara berada.
“Aw, hati-hati dong Husin! punggungku sakit tahu,” protesnya kala punggung menabrak dinding.
“Jelaskan padaku, apa sakit kak Nia ada hubungannya dengan arwah bayi itu?”
“A-apa maksudmu? i-itu bukan apa-apa Husin,” jawab Kia gelagapan.
“Tazkia!!!”
Kia tersentak, pundaknya naik turun dengan matanya yang tak bisa beralih dari memandang wajah Husin. Ia terpojok dan tak bisa mengelak, pelan-pelan Kia mencoba mengumpulkan kesadaran dan memberikan jawaban yang ditunggu oleh Husin.
“B-baik, akan kuceritakan semua padamu.”
.
Usai menceritakan segalanya tanpa ada yang ditutupi lagi kini keduanya duduk di depan swalayan, menikmati ice cream sambil menatap jalan raya di depan mereka.
“Pokoknya kalau nanti kakak pulang dari RS, aku harus segera menemuinya. Dan wanita bernama Nur itu juga akan aku cari. Kalau memang semuanya benar, kenapa setiap kali ke rumah kakak aku tak melihat Nur itu Kia?”
“Entahlah, aku kan sudah bilang itu cuma pengakuan salah satu teman sekelasku yang bilang ketemu Nur, aku sendiri setiap hari kesana tapi nggak ada lihat siapa-siapa,” jawab Kia masih menikmati ice cream coklatnya yang tinggal separo.
“Kamu kan tak pernah masuk rumah Kia.”
“Iya juga sih,” jawab Kia tersenyum. Ice cream telah habis, keduanya pun memutuskan untuk pulang ke asrama.
Sementara itu di lain tempat seorang perempuan sibuk menormalkan nafasnya yang terengah-engah. Ia berlari sekuat tenaga kala menyadari ada kesempatan baginya untuk kabur. Perempuan berwajah rusak itu kembali membenahi jilbabnya, menutup separuh wajah yang terdapat luka bakar disana.
“Eh, kamu siapa? ada apa berdiri di depan rumahku?” tanya seorang wanita yang berdiri di belakang Dara, wanita itu tersenyum dengan membawa kantong plastik berukuran sedang, entah apa yang ada di dalam kantong itu.
“K-kamu, ini rumahmu?” tanya Dara tampak terkejut, ia semakin mengeratkan jilbabnya untuk menutupi wajah, seraya terus menunduk dalam-dalam.
“Ya, aku istri dari Baruna Dewa, pemilik yayasan ini. Tapi, kenapa kamu menutupi wajahmu terus?”
“Maaf, saya sedang jerawatan parah. Kalau begitu saya permisi.” Dara berjalan cepat meninggalkan wanita yang masih terus menatapnya, wanita yang amat dikenalnya, dan lumayan dekat dengannya dulu.
***
Beberapa jam berlalu, tepat setelah sholat maghrib Dewa dan Kia bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Perutnya sudah tak sakit lagi. Meski dokter tak menemukan penyakit dalam diri Nia, tapi Nia merasa lebih nyaman jika istirahat di rumah sakit dulu untuk beberapa waktu, dan Dewa mengizinkannya.
“Kamu yakin kita pulang sekarang? kamu yakin sudah tidak sakit lagi Nia?”
Nia mengangguk, tersenyum memandang suaminya yang tampak sangat khawatir. Sebenarnya Nia merasakan keanehan itu, Dewa kembali menjadi suami yang sangat mencintainya, hangat dan perhatian padanya saat mereka hanya berdua. Kalau ada Nur di sisi mereka maka Dewa akan lebih memilih Nur.
“Ya sudah kalau itu maumu, nanti mas akan temani kamu tidur di kamar,” jawab Dewa mengusap pipi istrinya dengan satu tangan. Keduanya pun berjalan keluar ruangan dengan tangan Dewa membawa tas besar berisi perlengkapan mereka, menyelesaikan administrasi dan segera pergi meninggalkan rumah sakit.
Tak butuh waktu lama mobil yang membawa keduanya telah memasuki gerbang, Dewa segera turun dan membuka pintu untuk Nia, istrinya tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Kini Dewa membawanya menuju kamar setelah menyapa mbok Lastri yang kebetulan tengah membawa secangkir kopi susu di kamar Nur.
“Mbok, setelah ini tolong buatkan susu hangat untuk Nia juga ya, dan antar ke kamar,” perintah Dewa.
“Baik Pak.” Mbok Lastri mempercepat langkahnya menuju kamar Nur, memberikan cangkir kopi susu dan segera kembali ke dapur membuat susu hangat untuk Nia.
Mendengar Nia dan Dewa telah datang, Nur segera berlari ke dapur. Ia mendekati mbok Lastri seraya berkata, “mbok, sini biar Nur aja yang bikinin. Nanti sekalian biar Nur bawa ke kamar mbak Nia.”
“Nggak usah mbak Nur, biar mbok saja.”
“Mbok saya pengen lihat keadaan mbak Nia, tapi kalau tiba-tiba datang tanpa ada kepentingan lain kok rasanya aneh, takut ganggu. Soalnya kan mas Dewa juga disana. Tolong ya mbok mengerti, mending mbok kembali ke kamar aja deh,” pinta Nur yang tak bisa ditolak oleh mbok Lastri.
Segelas susu telah siap, dan Nur segera membawanya ke kamar Nia dengan senyum mengembang di bibir.
TOK TOK TOK
“Permisi, mbak. Boleh Nur masuk?”
Pintu terbuka, wajah lelah Dewa muncul dari balik pintu. Nur tersenyum dan segera mendekati sang suami, mengecup sekilas pipi lelaki itu yang kini diam membatu.
“Mas pasti capek ya, ini Nur bawakan kopi buat mas dan susu hangat buat mbak Nia, tadi saat mbok Lastri mau antar sengaja Nur minta karena mau ketemu mbak Nia juga. Oh iya mbak, gimana keadaan mbak? kata dokter mbak sakit apa?” Nur meletakkan nampan di atas nakas, lantas segera duduk di bibir ranjang, tepat di samping kaki Nia berada.
“Alhamdulillah, nggak serius Nur. Makasih ya susunya,” jawab Nia datar. Ia segera meraih susu dari tangan Dewa yang berniat memberikan susu padanya, lantas minum susu hangat itu hingga tinggal separo.
“Syukurlah kalau mbak nggak kenapa-napa.”
“Aku heran Nur, saat sakit kemarin kenapa aku mimpi bertemu kamu ya?” tanya Nia, tatapannya penuh selidik, tiada senyum di wajah cantiknya. Dewa hanya diam melihat pemandangan di depan mata.
“Begitukah? ah mungkin mbak Nia sangat rindu sama Nur sampai kebawa mimpi.”
“Tapi, rasa-rasanya aku tak merindukanmu sama sekali pun.”
Nur tampak salah tingkah, ia menepuk pundak Nia sedikit keras dengan tawanya yang melengking memenuhi setiap sudut kamar Nia.
“Ya sudah mbak Nia, istirahat saja ya. Nur nau kembali ke kamar. Oh iya mas Dewa, nanti bisa ke kamar sebentar nggak? ada yang mau Nur bicarakan. Nggak lama kok, minta waktu ya mbak Nia,” ucap Nur yang mengalihkan pandangannya dari menatap Dewa berganti menatap Nia. Wanita itu lantas mengusap tengkuk sang suami sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan kamar Nia.