Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Airi buru-buru membantu White bangun lalu mendudukannya disofa. Pria itu tampak meringis kesakitan sambil memegangi punggung dan bokongnya. Airi memeriksa lengan White yang tadi terlihat terhantuk meja, dan benar saja, ada luka memar dilengannya. Mungkin bagian lain juga ada yang memar, tapi dia tak mungkin memeriksanya.
"Sepertinya kau sedang tertawa sekarang?" sinis White. "Kau sengajakan, tidak memberitahuku jika ada air biar aku jatuh?"
Airi membuang nafas berat sambil melepaskan lengan White. Padahal baru saja dia merasa kasihan sekaligus bersalah karena tadi mengajak White ribut, tapi sekarang rasa kasihan itu mendadak lenyap karena kalimat pedasnya.
"Kenapa diam saja, jadi benar kau sengaja ingin aku jatuh?" tuduh White.
"Iya, kau puas?" sahut Airi cepat.
"Kau benar-be_"
"Benar-benar apa?" potong Airi.
"Menyebalkan," tekan White.
"Sama, Abang juga." Airi pergi setelah mengatakan itu.
Mendengar suara derap langkah yang makin menjauh, White mendadak panik. "Hei, mau kemana kau?" teriak White. Airi hanya menoleh sebentar lalu lanjut jalan menuju dapur. Tak lagi mempedulikan teriakan White yang memanggil namanya.
Sengaja Airi berlama-lama didapur untuk mendinginkan otak. Duduk dikursi dapur sambil meminum jus jeruk dingin, berharap otak dan hatinya ikutan dingin. Padahal dia kurang enak badan, tapi sudahlah, tetap saja dia meminum jus dingin. Dia mendengar White masih terus memanggilnya, tapi sengaja tidak dia sahuti.
"Astaga, kemana wanita itu?" White makin gelisah setelah memanggil berkali-kali tapi tak ada sahutan. Ingin beranjak dari sofa tak berani karena lantai basah. "Jangan-jangan dia beneran marah dan pergi." White kepikiran mau menelepon mamanya, tapi baru ingat jika hpnya terlepas dari tangan saat dia jatuh tadi. Dan sekarang, dia tak tahu dimana benda itu berada.
Setelah satu gelas jus jeruk dingin habis dan tak lagi mendengar suara White, Airi memutuskan menghampiri pria itu. Terlihat White duduk sambil menaikkan kedua kakinya keatas sofa. Wajahnya sedikit pucat, membuat Airi jadi kasihan. Tak seharusnya dia mengerjainya seperti tadi. Mungkin White takut karena berfikir jika dia sendirian dirumah.
"Ai, apa itu kamu? Ai, itu kamu?" teriak White saat mendengar suara derap langkah yang mendekat kearahnya.
"Hem."
Mendengar suara Airi, membuat White seketika bernafas lega.
Airi duduk disebelah White dengan salep untuk memar ditangannya. Menarik lengan pria itu pelan sambil memperhatikan kulit yang terlihat merah sedikit kebiruan disana.
White diam saja, sampai dia merasakan sesuatu dingin dan sedikit lengket menyentuh kulit lengannya yang terasa sakit.
"Pelan-pelan," ujar White sambil meringis menahan sakit.
"Apa masih ada bagian lain lagi yang sakit?" tanya Airi setelah selesai mengoles salep dilengan White.
Haruskah menjawab jika pantatnya yang sakit? Heis itu sangat memalukan. "Tidak ada," sahutnya.
Airi mengambil ponsel White yang terjatuh dilantai lalu mengecek kondisinya. Untungnya baik-baik saja, tidak ada rusak sama sekali. Dia menaruhnya ponsel tersebut ditelapak tangan pria itu.
Astaga, bahkan dia hanya diam. Sebegitu beratkah untuk bilang terimakasih?
"Tunggu sebentar, aku akan membersihkan lantainya baru Abang kembali ke kamar." Ujar Airi dan hanya menjawab dengan anggukan kepala oleh White.
Airi kebelakang untuk mengambil sapu dan alat pel. Mengabaikan rasa lelahnya dan kembali membersihkan lantai yang kotor meski baru dibersihkan. Selesai membersihkan dan memastikan lantai kering, dia mengajak White menuju kamar untuk istirahat.
White meringis kesakitan saat merebahkan tubuhnya diatas kasur. Punggung dan pantatnya masih sakit.
"Mau aku pijat?" tawar Airi yang tahu kondisi White.
"Emmm.." White sebenarnya tak bagitu suka jika badannya disentuh-sentuh, tapi saat ini punggungnya terasa sangat sakit, sepertinya memang butuh dipijat.
"Tak usah khawatir aku hanya akan memijat punggung, bukan yang lainnya. Tapi kalau tak mau juga tak apa."
"Iya, aku mau."
Airi menyuruh White tengkurap lalu memijit punggung pria itu. Selain punggung, Airi juga memijit lengan dan kaki, sampai White merasa ngantuk saking enaknya pijatan Airi.
Selesai dipijat, White langsung tidur. Sama halnya dengan Airi yang kurang enak badan, dia segera menggelar kasur dilantai sebelah ranjang lalu tidur.
...----------------...
Seperti hari hari biasanya, hampir setiap pagi Airi belanja ditukang sayur keliling yang melewati komplek perumahannya. Tapi pagi ini, karena sabtu, jadi sedikit lebih ramai dari hari biasanya. Airi yang biasanya menunggu didepan rumah, terpaksa berjalan menghampiri tukang sayur yang sejak tadi berhenti didepan rumah warga lain.
"Eh Mbak Airi, mau belanja ya?" sapa Bu Halimah, tetangga depan rumah Airi yang juga kebetulan belanja.
"Iya Bu," sahut Airi sambil tersenyum.
"Mbak Airi mau ikut arisan rt gak, mumpung baru dimulai?" tanya Bu Rt.
"Maaf sekali Bu, tapi saya gak bisa pergi lama ninggalin suami."
"Oh...gitu ya." Warga sekitaran sana sudah pada tahu jika suami Airi buta.
"Mbak Airi sudah seminggu lebih disini kok suaminya gak pernah kelihatan keluar sama sekali?" tanya Bu Halimah.
Sebenarnya beberapa kali Airi mengajak White keluar, tapi pria itu selalu menolak. "Dia tidak mau, Bu."
"Sayang sekali, padahal orang seperti suami Mbak Airi ini juga perlu bersosialisasi untuk menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya. Kalau bisa, diajak keluar sesekali. Gak mungkinkan mau selamanya didalam rumah."
Airi membenarkan ucapan Bu Halimah barusan. Sepertinya dia memang harus sedikit memaksa agar White mau diajak keluar. Dirumah terus juga tak bagus untuk kesehatan mentalnya.
Disaat tengan memilih sayur, tiba-tiba ponsel Airi berdering, White meneleponnya.
"Kenapa lama sekali, cepat pulang." White sering merasa gelisah saat sendirian dirumah. Kadang dia merutuki keputusannya yang tergesa-gesa pindah rumah.
"Iya, Bang. Bentar lagi pulang." Airi menutup telepon setelah mengatakan itu.
"Udah dicariin ya Mbak Airi?" tanya Bu RT.
"Iya, Bu." Airi segera menyerahkan belanjaannya agar segera ditotal.
"Sepertinya suami Mbak Airi takut jika sendirian. Dia belum mendapatkan kembali rasa percaya dirinya, dia masih menganggap dirinya lemah," Bu Halimah kembali bicara. "Ajak dia keluar dan kembali menghadapi dunia dengan kondisinya saat ini."
"Makasih sarannnya Bu, saya usahakan untuk mengajaknya keluar." Selesai belanjaannya ditotal, Airi langsung pamit.
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai