Penyelamatan yang dilakukan Luna pada seorang Kakek membawanya menjadi istri dari seorang Danzel, CEO dingin yang tak memepercayai sebuah ikatan cinta. Luna yang hidup dengan penuh cinta, dipertemukan dengan Danzel yang tidak percaya dengan cinta. Banyak penolakan yang Danzel lakukan, membuat Luna sedikit terluka. Namun, apakah Luna akan menyerah? Atau, malah Danzel yang akan menyerah dan mengakui jika dia mencintai Luna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Dari Tour
Suasana di kamar Luna begitu hening. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Danzel maupun Luna. Keduanya juga duduk berjauhan di ranjang Luna.
"Aku ingin istirahat. Kau sebaiknya keluar," ucap Luna, memecah keheningan.
Danzel yang sejak tadi terdiam langsung menoleh ke arah Luna. Dia menarik nafasnya, lalu bergeser mendekati Luna.
"Kau marah padaku?" tanyanya. Suaranya terdengar tenang dan lembut. Sangat berbeda dengan Danzel yang selalu berkata dengan nada ketus dan juga dingin.
Luna tak menjawab. Dia mengabaikan Danzel dan menaiki ranjangnya. Kemudian, ia merebahkan tubuhnya lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Luna, apa kau benar-benar marah padaku?" tanyanya sekali lagi. Namun tak dapat jawaban dari Luna sama sekali.
Danzel kembali menarik nafasnya. Dia akui memang dia salah tadi. Seharusnya dia tidak boleh menghakimi orang lain seenaknya.
"Tentu saja," balas Luna masih menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Aku tidak sengaja melakukan itu."
Luna membuka selimutnya hingga sebatas dada, lalu menatap Danzel. "Seharusnya kau mencari tahu lebih dulu sebelum menyimpulkan sesuatu. Menyakiti sahabatku sama saja dengan menyakitiku," ucap Luna, menatap Danzel.
"Ya, aku minta maaf," balasnya dengan suara pelan.
Luna terdiam. Ini pertama kalinya dia mendengar Danzel mengatakan maaf. Melihat wajah sendu Danzel membuatnya merasa kasian. Tapi, dia tidak mau luluh secepat itu pada Danzel.
"Aku akan memaafkanmu saat kau meminta maaf pada Ivan dan Selly." Luna kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Danzel menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya. Dia menatap Luna lama, kemudian ikut berbaring. Tangannya terulur melingkar di pinggang Luna.
Deg!
Luna terdiam dengan jantung yang berdetak cepat. Ini kali pertama Danzel berinisiatif memeluknya ketika tidur.
"Danzel, apa yang kau lakukan?"
"Aku? Aku sedang memelukmu," ucapnya.
"Lepaskan Danzel. Aku sedang marah padamu."
"Aku tidak akan melepaskannya."
Luna berdecak kesal, lalu kembali menurunkan selimutnya. Dia berbalik hingga wajahnya dan wajah Danzel saling berhadapan.
"Aku akan semakin marah jika kau tidak melepaskan pelukanmu."
"Tidak masalah. Aku akan tetap memelukmu meski kau marah."
"Danzel, lepaskan aku, ya? Bagaimana jika ada teman-temanku datang dan melihat kita?"
"Tidak apa-apa. Kita jujur saja, jika kita sudah menikah."
"Tidak! Aku tidak setuju jika jujur sekarang," ucap Luna cepat. "Baiklah. Aku akan memaafkanmu. Tapi, kau harus berjanji untuk melepaskanku lalu keluar dari kamarku. Dan kau juga harus meminta maaf pada Ivan dan Selly."
"Baik, aku akan melakukan itu. Tapi, biarkan aku memelukmu sebentar." Tanpa menunggu jawaban Luna, Danzel langsung menarik Luna semakin menempel padanya, lalu memeluk istrinya itu dengan erat. Hatinya begitu lega dan penuh dengan kehangatan.
Setelah cukup lama, Danzel melepaskan pelukannya. Tapi sebelum itu, Danzel membubuhkan sebuah kecupan di kening Luna. Membuat Luna merasakan kebahagiaan di hatinya. Kebahagiaan yang ia harapkan untuk pernikahannya bersama Danzel.
***
Setiap kegiatan pada saat tour dilakukan dengan perasaan bahagia. Tiap karyawan begitu menikmati kegiatan mereka. Mereka benar-benar merasakan beban pikiran mereka mengenai pekerjaan hilang. Dan hari ini, mereka harus kembali, karena jadwal tour mereka telah selesai.
"Aku menagih janjimu untuk menjelaskan semuanya. Ingat! Kau berhutang padaku dan Ivan," ucap Selly, mengingatkan Luna untuk menjelaskan hubungannya dengan Danzel.
Selly begitu terkejut saat kembali ke kamarnya bersama Ivan, dan Ivan mengatakan jika pria yang memukulnya dan merupakan suami Luna itu adalah Danzel Stevano Maxon. Dia bahkan ingin kembali saat itu untuk bertemu Danzel. Namun, Ivan dengan cepat menahannya.
Dan sekarang, mereka sedang berada di bus untuk melakukan perjalanan pulang. Dan Selly kembali mengingatkan Luna untuk menepati janjinya nanti. Sementara Luna, dia hanya mengiyakan ucapan sahabatnya. Jujur, meskipun semua kegiatan saat tour begitu menyenangkan, tetap saja ada rasa lelah. Dia ingin segera sampai rumah dan beristirahat.
Sementara itu, di kantor, Danzel dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Hari ini adalah hari kepulangan Luna. Dia sendiri yang akan menjemput istrinya itu.
Sebenarnya dia saat itu tidak ingin kembali. Dia ingin terus memantau Luna saat melakukan tour. Tapi sayang, ada rapat yang begitu penting yang tidak bisa ditunda ataupun dilakukan secara daring. Dan akhirnya dia terpaksa pulang lebih dulu.
"Akhirnya selesai juga," gumam Danzel.
Dia meraih kunci mobilnya lalu berjalan keluar. Dia memang sengaja membawa mobil sendiri pagi tadi dan meminta Sekretaris Beni untuk tidak menjemputnya.
"Beni, bereskan ruanganku sebelum pulang nanti," ucap Danzel.
"Baik, Tuan," ucap Sekretaris Beni. Laki-laki itu tak bertanya lagi, kemana Danzel akan pergi. Sejak pulang dari tempat tour sang nyonya sehari lalu, tuannya menjadi orang yang tidak bersemangat. Hari ini tuannya kembali bersemangat. Dan alasannya pasti karena sang nyonya kembali hari ini.
Danzel mengendarai mobilnya dengan perasaan senang. Akhirnya dia bisa bersama istrinya lagi setelah dua hari sendiri di rumah.
Sejam melakukan perjalanan, Danzel tiba di dekat perusahaan tempat Luna bekerja. Bus yang Luna dan rombongannya gunakan juga belum tiba. Danzel memarkirkan mobilnya sedikit lebih jauh dari perusahaan, lalu dia berdiam diri disana, menunggu kedatangan Luna.
Tak lama kemudian, Bus yang ditumpangi Luna dan karyawan lainnya tiba. Danzel langsung menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar, sambil memperhatikan satu persatu karyawan yang keluar dari bus.
Seulas senyum tipis terukir saat melihat Luna turun. Dibelakang istrinya ada Selly dan Ivan. Ketiga orang itu terlihat berbincang. Dan tak lama, Selly dan Ivan berpamitan menaiki taksi. Karyawan-karyawan yang lain pun mulai dijemput atau mendapatkan taksi mereka. Sementara Luna masih setia berdiri.
"Sepertinya Luna menunggu pak Wang," gumam Danzel sambil tersenyum tipis. Dia meraih kacamatanya dan juga masker. Kemudian memakai kedua benda tersebut. Setelah itu, dia melajukan mobilnya ke arah Luna.
Danzel menghentikan mobilnya di depan Luna, lalu menurunkan setengah kaca mobilnya.
Luna memperhatikan mobil tersebut, juga sang pengemudi. Hanya beberapa detik, Luna langsung bisa mengenali mobil tersebut dan juga pengemudinya. Saat Danzel hendak keluar, Luna melotot padanya, memberi peringatan agar Danzel tidak keluar dari mobil. Dan akhirnya Danzel menurutinya.
Luna memperhatikan sekelilingnya yang memang masih tersisa beberapa karyawan yang belum mendapat taksi atau jemputan mereka. Dan sekarang, Luna menjadi pusat perhatian.
"Luna, apa itu jemputanmu?" tanya seorang karyawan.
.
"I-iya. Ini jemputanku. Kalau begitu, aku duluan," pamitnya, langsung memasuki mobil. Meski begitu, dia masih bisa mendengar beberapa perkataan dari karyawan-karyawan tersebut. Dia tidak bisa menyalahkan teman-teman kerjanya itu. Danzel lah yang terlalu mencolok.
Mobil yang Danzel kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Dia sesekali melirik Luna yang duduk di kursi belakang pengemudi melalui spion dalam mobil.
"Kenapa duduk di belakang? Ayo, pindah!" ucap Danzel. Suaranya terdengar lembut, tidak dingin ataupun ketus seperti biasanya.
"Tugas pak Wang menjemputku. Karena bukan pak Wang yang datang tapi kau, jadi kau ku anggap pak Wang. Dan pak Wang tidak mengizinkanku duduk di depan, di sebelahnya!" jelas Luna.
Danzel meliriknya lagi sambil tersenyum tipis. "Meskipun aku kau anggap pak Wang, tetap saja aku adalah suamimu."
Luna yang mendengarnya pun memanyunkan bibirnya, membuat Danzel terkekeh melihat tingkahnya.