🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Mengungkapkan Perasaan
"Coba jelaskan sama Umi Hil, apa yang sudah terjadi sama kalian berdua?"
Gus Sahil menundukkan kepalanya. Kedua lututnya bersimpuh seperti seorang penjahat yang siap dihukum. Dihadapannya, ada Umi Zahra dan Abah Baharuddin yang menunggu jawaban dengan tatapan menuntut.
Gus Sahil menelan ludahnya sebelum mulai membuka mulut. "Aku.. Minta izin pada Hafsa buat poligami Mi," Gus Sahil menjawab takut-takut.
"Astaghfirullah!" Umi Zahra sontak terlonjak dari duduknya. Mengelus dadanya yang seketika sakit. "Kamu sudah gila ya Hil?!"
"Siapa perempuan itu Hil?" Abah Baharuddin mengguncangkan kedua bahu putranya dengan tidak sabar. "Siapa perempuan yang mau kau nikahi itu?!"
"Ro..ha Bah," Gus Sahil menjawab dengan nada tersendat.
Seperti disambar petir, Abah Baharuddin dan Umi Zahra terbelalak kaget.
"Roha.. yang itu Hil?" Umi Zahra bertanya memastikan.
Gus Sahil mengangguk dengan kepala yang masih tertunduk. "Iya Mi. Yang saya maksud itu mbak Roha abdi ndalem kita. Sebenarnya sudah sejak dulu saya mencintai Roha Umi,"
"Laa haula wa laa quwwata illa billah.." Berulang kali Abah Baharuddin mengucap tahlil mendengar penuturan putra sulungnya itu. "Kamu sudah keterlaluan Hil. Kamu tahu nggak, kalau Roha itu sudah mau dilamar sama Alwi?"
Gus Sahil mengangguk. "Sudah Bah, Roha sudah bilang padaku,"
"Dan kamu masih mau menikahi Roha? Kamu itu apa nggak pernah ngaji to Hil? Kamu apa nggak tahu kalau seorang laki-laki itu dilarang melamar wanita yang sudah dilamar orang lain? Sebenarnya otakmu itu dimana?!" Abah Baharuddin berkata dengan kemarahan meluap-luap.
"Tapi, Roha belum dilamar Bah, masih ada kesempatan.."
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipi Gus Sahil.
"Kesempatan ndasmu!" Telunjuk Abah Baharuddin menunjuk-nunjuk. "Poligami itu bukan hanya sekedar menikah dengan dua orang wanita. Ada syaratnya, ada ketentuannya! Kamu baru sebulan menikah sama Hafsa, tiba-tiba minta poligami tanpa alasan yang jelas! Coba sekarang bilang, apa alasanmu itu?!"
Kepala Gus Sahil makin tertunduk. Tamparan keras di pipinya sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding melihat kemarahan sang ayah. Pertama kali dalam hidupnya Gus Sahil melihat Abah Baharuddin semarah itu.
"Aku.. Aku pengen Roha selalu ada di sisi Umi Bah. Aku takut Roha nggak bisa menjaga Umi lagi kalau sudah menikah dengan Kang Alwi,"
"Ya Allah.." Umi Zahra mengucapkan dzikir sembari menangis tersedu-sedu. Penuturan sang anak dan kemarahan sang suami membuat hati Umi Zahra merasa hancur berkeping-keping.
"Hil, mulai sekarang Umi akan keluarkan Roha dari abdi ndalem. Biarkan dia kembali ke asrama belakang. Umi cuma mau dirawat sama Hafsa saja,"
"Tapi Mi.." Gus Sahil mendongakkan kepalanya mendengar keputusan Umi Zahra. "Roha sudah menganggap Umi seperti ibu kandung sendiri.."
"Sekarang Umi sudah punya Hafsa, menantu yang akan menjaga Umi. Roha juga akan punya kewajiban lain, menjaga mertuanya sendiri," Umi Zahra menjawab tegas, sama sekali tidak memandang putranya. "Umi kecewa sama kamu Hil. Umi merasa salah mendidik kamu selama ini,"
Ucapan Umi Zahra barusan jelas membuat Gus Sahil merasa jatuh ke jurang yang tak berdasar. Selama dua puluh lima tahun bernapas di dunia ini, hanya satu hal yang bisa ia banggakan, yakni kepercayaan Umi padanya. Tapi sekarang Umi sudah kecewa, Umi menangis karena dirinya.
"Umi, aku.."
"Sudah Hil. Umi nggak mau bicara sama kamu lagi. Umi menyesal, karena membesarkan kamu menjadi laki-laki pengecut seperti ini,"
Umi Zahra beranjak dari duduknya. Air matanya masih mengalir deras. Beberapa saat kemudian, nafasnya mulai sesak, jantungnya berdegup semakin cepat.
Sepersekian detik, Umi Zahra kembali jatuh tak sadarkan diri.
...----------------...
'Umi masuk rumah sakit Sa.
Umi nggak mau dirawat siapa-siapa.
Umi cuma mau dirawat sama kamu.'
Hafsa membaca rentetan pesan dari Gus Sahil sembari menghembuskan napas berat. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Disatu sisi, ia merasa bersalah pada Umi Zahra karena membuat mertuanya itu kembali masuk rumah sakit. Namun di sisi lain, ia masih sangat sakit hati dengan perlakuan Gus Sahil kepadanya.
"Sa.." Umi Hana mengetuk pintu kamarnya. "Kamu tidur?"
"Nggak Mi. Buka saja pintunya," Hafsa tidak beranjak dari tempatnya sama sekali. Ia masih merebahkan badan di atas kasur sembari memandang ke langit-langit.
"Sa.." Umi Hana duduk di tepi ranjang, mengelus lembut kepala putrinya. "Tadi Umi denger kabar kalau semalem Umi Zahra masuk rumah sakit lagi. Kalau boleh tahu, sebenarnya kamu sedang ada masalah apa sih Sa?"
Hafsa memandang Umi Hana dengan tatapan nanar. Bukannya ia tidak mau cerita, tapi Hafsa takut masalah itu akan membuat uminya kepikiran dan ikut sakit seperti mertuanya.
"Kalau masih belum mau cerita, nggak apa-apa. Umi bisa menunggu kapan saja. Cuman kalau sudah nggak kuat, diceritakan saja ya, jangan dipendam sendiri."
Hafsa menganggukkan kepalanya lemah.
"Yasudah, habis ini Umi sama Abah mau menjenguk Umi Zahra di rumah sakit. Kamu mau ikut nggak?"
Hafsa menggeleng. Dia masih tidak mau bertemu Gus Sahil.
"Nggak apa-apa. Nanti Umi salamin aja. Tapi di sini kamu juga jangan lupa makan, jangan sampai ikutan sakit,"
"Iya Umi,"
Hafsa melihat Umi Hana meninggalkan kamarnya dengan hati berat. Dia merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Perasaan bersalah, kesedihan, dan kebingungan bercampur aduk dalam pikirannya. Dia tahu bahwa keputusannya untuk pulang ke rumah orangtuanya membuat semuanya menjadi kacau.
Tapi Hafsa juga tidak ingin perasaannya disakiti lebih dalam lagi oleh Gus Sahil. Sudah cukup ia bertahan di rumah itu dengan kesedihan yang ia tanggung sendiri. Kalaupun Gus Sahil masih bersikeras mau berpoligami, Hafsa bertekad untuk mundur dari pernikahan ini.
"Assalamu'alaikum Ning.." Suara ketukan pintu membuat perhatian Hafsa teralih. "Mohon maaf ada tamu Ning,"
"Maaf mbak, aku sedang nggak enak badan. Tolong bilangin kalau Umi dan Abah lagi nggak ada di rumah," Hafsa menjawab tanpa membuka pintu.
"Tapi, ini tamunya njenengan Ning,"
Dahi Hafsa mengernyit. "Siapa mbak?"
"Gus Ihsan Ning,"
...----------------...
Hafsa menuruni tangga dari lantai dua dengan ragu-ragu. Gus Ihsan sudah menunggu di ruang tamu. Melihat kedatangan Hafsa, Gus Ihsan berdiri dari duduknya, menyambut Hafsa dengan senyum lebar.
"Apa kabar Ning?" ucapan pertama yang dilontarkan Gus Ihsan setelah mereka akhirnya duduk berhadapan di ruang tamu.
"Seperti yang njenengan lihat Gus, saya sehat."
"Oh ya? Tapi menurut penglihatan saya njenengan masih tidak sehat Ning. Wajah njenengan kelihatan pucat, dan sepertinya lebih kurus dari sebelumnya,"
Hafsa menundukkan kepala. Gus Ihsan memang cukup perhatian pada hal-hal kecil. Suaminya sendiri saja belum tentu menyadari itu.
Gus Ihsan mengambil beberapa kotak kue dalam paper bag yang ia bawa. Meletakkan kotak-kotak itu di atas meja.
"Oleh-oleh dari para santri Ning. Mereka bilang, njenengan mengajari mereka membuat kue dengan trik-trik baru. Setelah dicoba, ternyata memang benar rasanya jauh lebih enak dari biasanya,"
Hafsa memandangi kotak-kotak itu sambil tersenyum. Senyum pertamanya hari ini. Ternyata membagikan ilmu kepada orang lain memang membuatnya sebahagia itu.
"Hafsa," panggil Gus Ihsan lembut. Hafsa mau tidak mau segera menatap laki-laki itu. Baru kali ini ia mendengar Gus Ihsan memanggil namanya secara langsung.
"Ada apa Gus?"
"Saya harap, njenengan tahu kalau saya selalu ada untuk njenengan,"
Hafsa menelan ludah gugup. Dia tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
"Maksud..nya?"
"Saya tidak tahu njenengan sadar atau tidak, tapi sejak dulu, saya selalu mencintai njenengan,"
Hafsa tercengang. "Gus, saya.."
"Jangan dijawab Ning. Saya cuma mau mengungkapkan perasaan saya saja. Takut kalau tidak diungkapkan jadi bisul," Gus Ihsan terkekeh.
Hafsa menghembuskan napas sembari tersenyum. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Gus Ihsan. Bisa-bisanya dia bercanda di situasi begini?
"Intinya, kalau njenengan akan melepaskan Gus Sahil, saya selalu siap menerima njenengan kapan saja Ning,"
Hafsa tercekat. Ia tahu jelas apa maksud perkataan itu. Itu berarti, jika nanti Hafsa memilih untuk bercerai, Gus Ihsan yang akan menerima Hafsa sebagai istrinya. Tapi Hafsa memilih tetap diam. Ia tidak bisa mengambil keputusan dengan terburu-buru.
Hafsa masih tidak menjawab perkataan Gus Ihsan bahkan setelah pria itu berpamitan. Ia ikut mengantarkan kepergian Gus Ihsan sampai mobilnya menghilang di balik gerbang dengan perasaan campur aduk.
jd inget ya kita punya budaya.
jangan sampe budaya luhur warisan tergerus oleh budaya luar!
kita Muslim terapkan budaya dan doa!
jangan ikuti baby shower lah inilah itulah.
krna bayi Muslim itu sejak dlm kandungan di doakan terus!
Makasih tor, teruslah berkarya..