Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya Erick yang mencintaiku
Malam setelah operasi darurat Erick terasa tanpa batas. Aluna tidak pernah meninggalkan lantai Intensive Care Unit (ICU). Tuan Hartono dan Karina bergantian datang, tetapi fokus mereka adalah pada pembaruan direksi dan citra perusahaan, bukan pada selang yang mengikat putra dan saudara mereka.
Mereka memandang Aluna dengan campuran penghinaan dan kepuasan, penghinaan karena dia adalah penggugat, dan kepuasan karena status istrinya kini mengikatnya kembali pada tanggung jawab tanpa batas.
Aluna duduk di samping tempat tidur Erick. Ia telah berganti pakaian yang dibawakan oleh Raina, asisten Erick yang histeris, tetapi jiwanya masih mengenakan pakaian perang yang disiapkan untuk sidang cerai.
Ruangan itu dipenuhi suara mesin, monitor detak jantung yang monoton, desisan ventilator yang konstan, dan alarm yang sesekali berbunyi.
Ia menatap wajah Erick yang kini tenang karena obat bius. Wajah itu damai, bebas dari kekakuan dan bayangan frustrasi yang selalu menyelimutinya dalam beberapa tahun terakhir.
‘Siapakah yang akan bangun, Erick?’ Aluna bertanya dalam hati, mengulang-ulang pertanyaan yang menghantuinya sejak dokter Bayu menyebut kata amnesia.
‘Apakah Erick Wijaya yang dingin dan kejam? Atau apakah Erick, pria yang kucintai, yang telah kau kubur begitu dalam?’
Tangan Aluna memegang tangan Erick yang tidak di infus. Tangannya hangat, tetapi kontak itu terasa dingin secara emosional. Tugasnya sekarang adalah menunggu, sebuah tugas yang ironisnya mirip dengan pernikahan mereka, menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah datang.
Aluna menghela nafas panjang, ia ingat bagaimana ketakutan Hartono bukan kepada kondisi Erick, melainkan khawatir pada citra perusahaan, dan juga adik ipar yang memiliki pola pikir sama.
Waktu terus merangkak. Pagi datang, membawa sinar matahari yang sinis ke ruang ICU.
Sekitar pukul 11:00, saat perawat sedang memeriksa infus, Aluna melihatnya.
“Kau begitu terkejut dengan surat perceraian itu. Kondisimu sangat fatal, kenapa melakukan ini padaku?” Aluna tak mengerti, ia terus menatap wajah Erick dengan seksama.
Jari telunjuk Erick, yang biasanya digunakan untuk menunjuk, memberi perintah, atau mengetik di keyboard, bergerak sedikit. Hanya sebuah kedutan kecil, tetapi di tengah keheningan yang seragam, itu terasa seperti gempa bumi.
“Dokter! Perawat!” Aluna segera memanggil, suaranya parau karena kelelahan.
Dokter Bayu dan beberapa perawat segera mengerumuni tempat tidur itu. Mereka memanggil nama Erick, memeriksa pupilnya, dan menyesuaikan monitor. Monitor EEG yang tadinya menampilkan gelombang yang nyaris datar kini mulai menunjukkan lonjakan aktivitas.
“Dia merespons,” kata Dokter Bayu, nadanya berhati-hati. “Fase komanya berakhir. Tapi kita harus tenang.”
Aluna didorong sedikit menjauh, tetapi matanya tidak pernah lepas dari wajah Erick. Ia melihat kelopak mata itu berkedut lagi. Kali ini, bukan kedutan acak, melainkan perjuangan yang disengaja.
Perjuangan itu berlangsung selama lima menit yang terasa seperti keabadian.
Kemudian, dengan perlahan, mata itu terbuka.
Mata Erick terbuka. Warna coklat gelapnya yang intens kini terlihat bingung, tetapi hidup. Matanya tidak langsung menatap lampu atau langit-langit. Seolah-olah mereka hanya mencari satu titik.
Matanya langsung menangkap Aluna.
Dan kemudian, hal yang paling menakutkan terjadi. Kekakuan, kesombongan, dan kebekuan yang selama ini mendiami tatapan Erick lenyap.
Matanya dipenuhi dengan kelembutan yang hilang, kehangatan yang terakhir kali Aluna lihat bertahun-tahun yang lalu. Itu adalah tatapan yang sama seperti saat mereka kencan pertama di bawah hujan.
Bibir Erick bergerak sedikit. Tabung pernapasan darurat sudah dilepas, tetapi suaranya lemah, hampir seperti desahan.
“Lu... na…”
Nama itu diucapkan dengan kehangatan yang asing. Bukan panggilan dingin seorang istri, tetapi panggilan lembut seorang kekasih. Aluna mendekat, hatinya berdebar tak karuan.
“Aku di sini, Erick!” jawab Aluna, air matanya tiba-tiba tumpah. Bukan air mata sedih, melainkan air mata kebingungan yang bercampur dengan kelegaan.
“Kenapa... kau menangis?” tanya Erick, suaranya berbisik, seperti suara seseorang yang baru saja bangun dari tidur siang yang terlalu panjang.
Dia bahkan tidak memperhatikan selang dan perban di sekitarnya. Fokusnya hanya pada Aluna.
Dokter Bayu memberi isyarat kepada Aluna agar tetap tenang. “Tuan Erick, tenang, Anda ada di rumah sakit. Anda mengalami—”
Erick mengabaikan dokter itu, matanya terkunci pada Aluna. Tangan yang dipegang Aluna bergerak. Jari-jarinya menggenggam tangan Aluna dengan sedikit kekuatan, sentuhan yang akrab, sentuhan kekasihnya 10 tahun lalu.
“Jangan menangis, Sayang,” bisiknya, suaranya dipenuhi kelembutan yang menghancurkan semua pertahanan Aluna.
Dia mengangkat sedikit tangan mereka yang saling menggenggam.
Aluna tidak bisa bicara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah dia mengingatkannya tentang surat cerai? Tentang kekalahan mereka? Tentang betapa dinginnya dia?
Sebelum Aluna bisa mengatur nafasnya, Erick berbicara lagi, menatapnya dengan lembut, seolah mereka baru saja melewati badai ringan, bukan bencana yang nyaris merenggut nyawanya.
“Sayang, kenapa kau menangis? Apa yang terjadi pada kita?” Erick sedikit mengerutkan dahi, ekspresi itu adalah kebingungan sejati, bukan kebingungan yang disembunyikan oleh pride.
Aluna terdiam, mencoba mencerna kehangatan yang terlalu besar dan pertanyaan yang terlalu intim itu.
“Apa yang terjadi pada kita, Luna? Kenapa kau tidak datang ke wisuda?”
Kata-kata itu menghantam Aluna seperti sambaran petir. Wisuda. Itu adalah sepuluh tahun yang lalu. Itu adalah acara di mana Erick muda berjanji bahwa ia tidak akan pernah berubah.
Itu adalah momen sebelum ia menjadi Erick Wijaya yang kaku dan dingin.
Aluna merasakan seluruh dunia yang ia kenal runtuh. Tanda tangannya, surat cerainya, pengacara Hendrawan, semua pertempuran yang ia menangkan, semua itu tidak berarti apa-apa.
Dokter Bayu mendekat, wajahnya serius. “Nyonya Aluna, tolong, kita harus tenang. Kita harus tahu sejauh mana amnesianya.”
Aluna tidak mendengar. Ia hanya melihat mata itu, mata yang seharusnya dipenuhi kebencian dan kebekuan, kini dipenuhi cinta muda yang telah ia ratapi selama bertahun-tahun.
“Aku... aku tidak apa-apa, Erick,” jawab Aluna, menelan air mata. Ia tahu, ia harus berbohong. Ia harus melindungi dirinya dan dia dari kenyataan.
Erick tersenyum lemah. “Bagus. Aku takut kau marah lagi padaku.”
Ia memejamkan mata, kelelahan karena perjuangan singkat itu. Mesin detak jantung kembali ke ritme yang stabil. Dia kembali terlelap, tetapi kali ini, dia membawa Aluna bersamanya, kembali ke masa lalu.
Aluna menatapnya. Ia tidak lagi menghadapi mantan suami yang dingin. Ia menghadapi pria yang dicintainya terperangkap dalam tubuh dihadapannya, yang menghilang selama bertahun-tahun dan kini kembali.
‘Erick muda telah kembali. Erick yang mencintaiku dengan masa muda penuh romansa, masa yang sangat menyenangkan,’ batin Aluna yang sesaat menahan momen, kembali mengingat sikap dan cinta dulu telah kembali.
Takdir tidak hanya menggagalkan perceraiannya, tetapi juga memberinya suami yang ia cintai kembali, dengan harga yang mengerikan.
Ia harus hidup di dalam kebohongan yang ia ciptakan.
Ia telah memilih kebebasan, tetapi takdir telah memilih drama yang jauh lebih mematikan.