"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: MENGUNJUNGI PANTI ASUHAN
Jumat berikutnya.
Chelsea seperti biasa mengajak Lucian ke panti asuhan—tempat yang selalu membuatnya tersenyum paling tulus.
Mobil berhenti di depan bangunan sederhana dengan cat putih yang sudah mengelupas. Papan nama di depan: "Panti Asuhan Cahaya Harapan".
Anak-anak sudah menunggu di halaman—begitu melihat mobil Chelsea, mereka berteriak:
"TANTE CHELSEA! TANTE CHELSEA!"
Lima, enam, tujuh anak berlarian menghampiri.
Chelsea turun dari mobil, langsung dikerumuni—satu memeluk kakinya, satu menarik tangannya, satu melompat-lompat excited.
"Tante bawa apa hari ini?"
"Tante bawa mainan?"
"Tante bawa coklat?"
Chelsea tertawa—tawa yang berbeda dari saat di kantor. Tawa yang benar-benar bahagia.
"Sabar, sabar. Tante bawa semuanya. Mainan, coklat, buku cerita."
Anak-anak bersorak.
Lucian berdiri di samping mobil—mengamati dari jauh, menjaga jarak seperti biasa.
Tapi matanya tidak bisa lepas dari Chelsea—cara dia tertawa, cara dia berlutut supaya sejajar dengan anak-anak, cara dia mengusap rambut mereka dengan lembut.
Dia diciptakan untuk jadi ibu.
Pikiran itu datang tiba-tiba—membuat dada Lucian sesak.
"Tante! Siapa dia?" Salah satu anak laki-laki—mungkin umur tujuh tahun—menunjuk Lucian dengan mata penasaran.
Chelsea menoleh, tersenyum. "Dia Kak Lucian. Dia... teman Tante."
Teman. Bukan bodyguard. Teman.
Anak-anak menatap Lucian dengan mata polos—tidak curiga, tidak takut, hanya penasaran.
"Kak Lucian mau main sama kita?" tanya anak perempuan kecil dengan pita merah di rambutnya.
"Ah, Kak Lucian sibuk. Dia—" Chelsea mulai menjelaskan.
"Aku mau."
Chelsea menoleh—terkejut.
Lucian melangkah lebih dekat. "Aku mau main. Kalau kalian tidak keberatan."
Wajah Chelsea bersinar—senyum paling lebar yang pernah Lucian lihat.
"Benaran? Kau yakin?"
Lucian mengangguk.
Anak-anak bersorak, menarik tangan Lucian—kecil, hangat, mengingatkannya pada Elena.
Elena juga suka menarik tanganku seperti ini.
Mereka bermain di halaman—anak-anak main kejar-kejaran, petak umpet, lompat tali.
Lucian berdiri di sudut, mengawasi—tapi seorang anak perempuan menghampirinya.
Gadis kecil—umur sepuluh tahun, rambut dikepang dua, mata cokelat besar.
Persis seperti Elena.
Sangat persis.
Jantung Lucian berhenti.
"Kak Lucian kenapa diam saja? Ayo main!" katanya sambil menarik tangan Lucian.
Lucian tidak bergerak—tidak bisa bergerak.
Suara gadis itu—nada bicaranya—cara dia tersenyum—
Elena.
"Kak? Kak Lucian kenapa?" Gadis itu menatapnya dengan mata bingung.
"Aku... aku..." Suara Lucian hilang.
Dadanya sesak. Napasnya pendek-pendek. Matanya mulai panas.
Tidak. Jangan menangis. Jangan—
"Maaf ya, Kak Lucian lagi capek." Chelsea tiba-tiba muncul, memeluk bahu gadis kecil itu. "Dia main sebentar lagi ya, Sari."
"Oke, Tante!" Sari berlari kembali ke anak-anak lain.
Chelsea menatap Lucian—khawatir. "Kau baik-baik saja?"
Lucian berbalik—menghadap tembok, tangannya menyeka mata dengan cepat.
"Ya. Hanya... debu."
Bohong. Tapi apa lagi yang bisa kukatakan?
Chelsea diam sejenak—lalu berdiri di sampingnya, tidak bicara, hanya... ada.
Kehadirannya yang tenang membuat Lucian perlahan bisa bernapas lagi.
"Dia..." Lucian berbisik tanpa menoleh, "dia mirip adikku. Sangat mirip."
"Sari?" Chelsea menatap gadis kecil yang sedang tertawa bermain. "Dia... yatim piatu. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu. Dia berusia sepuluh tahun sekarang."
Sepuluh tahun. Umur yang sama dengan Elena.
"Dia anak yang ceria," lanjut Chelsea pelan. "Meski dia kehilangan orang tuanya, dia tetap tersenyum. Kadang aku berpikir... anak-anak lebih kuat dari kita."
Lucian menatap Sari yang sedang bermain—senyumnya lebar, tawanya nyaring.
Elena juga seperti itu. Ceria. Selalu tertawa.
Sampai malam itu.
Air matanya jatuh lagi—kali ini ia tidak bisa menahan.
Chelsea melihatnya—melihat air mata di pipi Lucian.
Perlahan, ia menggenggam tangan Lucian.
"Adikmu... pasti bangga padamu," bisik Chelsea. "Karena kau masih di sini. Karena kau masih berjuang. Karena kau masih mencoba."
Tidak. Dia tidak bangga. Dia membenciku karena aku tidak menyelamatkannya.
Tapi Lucian tidak bilang itu.
Ia hanya menggenggam tangan Chelsea lebih erat—seperti itu satu-satunya yang menahan dirinya dari runtuh.
Mereka berdiri di sana—tangan bergandengan, menonton anak-anak bermain.
Dan untuk sesaat—hanya sesaat—Lucian merasakan damai.
Damai yang rapuh, yang bisa pecah kapan saja.
Tapi damai.
Sore itu, setelah pulang dari panti asuhan, mereka duduk di mobil dalam diam.
Chelsea menyetir pelan—tidak terburu-buru.
"Lucian," panggilnya pelan. "Terima kasih sudah mau main dengan anak-anak. Mereka senang sekali."
"Aku yang harus terima kasih," jawab Lucian—suaranya serak. "Aku... aku sudah lama tidak merasakan... itu."
"Merasakan apa?"
"Kehangatan. Kebahagiaan sederhana."
Chelsea tersenyum—senyum sedih yang penuh pengertian.
"Aku juga. Setiap kali ke panti asuhan, aku merasa... lengkap. Seperti aku punya tujuan."
Ia melirik Lucian sekilas.
"Kau tahu... aku senang kau ikut hari ini. Biasanya aku kesana sendirian. Tapi hari ini... rasanya berbeda. Rasanya ada yang menemani."
Aku juga senang. Lebih dari yang seharusnya.
Lucian menatap keluar jendela—menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Senyum pertama yang tulus dalam delapan tahun.
Dan itu karena wanita di sampingnya.
Wanita yang perlahan—tanpa sadar—mengisi kekosongan di dadanya.
Wanita yang membuat delapan tahun kegelapan sedikit lebih terang.
Meski Lucian tidak tahu—belum tahu—siapa wanita itu sebenarnya.
Dan mungkin itu lebih baik.
Karena kalau dia tahu...
Semuanya akan hancur.
Tapi untuk sekarang—untuk hari ini—Lucian membiarkan dirinya merasakan kehangatan ini.
Membiarkan dirinya tersenyum.
Membiarkan dirinya... hidup lagi.
Meski hanya sebentar.