Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Metode Observasi
Vicky ikut maju setengah langkah, ekspresinya horor campur kasihan kayak habis lihat kecelakaan beruntun.
“Dia tuh Gasekil, Bro. Gasekil. Gadis Seratus Kilo. Badannya… yaaa… tiga kali lipet lebih gede dari lo.”
Gayus mengangkat tiga jarinya dramatis.
Tiga.
Asep melanjutkan dengan suara pelan, takut semak belakang sekolah ikut menilai.
“Gue bukan nyinyir, tapi lo bayangin gak? Pangeran kampus ngejar cewek yang kalau lari suaranya kayak kipas angin zaman Belanda.”
Vicky mencibir sambil menimbang-nimbang udara.
“Dan jangan lupa… cueknya dia gak normal. Bukan level manusia, tapi dewa. DEWA. Kayak hidup di dimensi lain. Lo ngejar dia? Pangeran sekolah ngejar cewek yang kalau lo nyapa, gak dilirik. Lo senyum, dia malah ngunyah permen jahe.”
Gayus menghela napas panjang.
“Gue gak kebayang harga diri lo, Bro. Pangeran sekolah ngejar… ya… Gasekil. Cewek yang pinggangnya tuh—”
Ia melirik kiri-kanan, lalu mendekat ke Raska.
“—kayak legenda. Katanya sih ada. Tapi gak ada saksi mata yang pernah lihat.”
Asep ikut menimpali, kali ini sambil menahan tawa.
“Dan kalau dia naik motor sport lo… aduh, Bro. Jok motor lo bisa langsung pamit undur diri.”
Vicky menutup mulutnya, setengah ngeri setengah ngakak.
“Kebayang nggak kalau lo ngerem mendadak? Dia bisa langsung—”
BAM!
Vicky menubrukkan tubuhnya ke udara seolah jadi korban tabrakan.
Gayus ikut terpental imajiner, mata membelalak dramatis.
“Lo kecelakaan bukan karena lawan… tapi karena boncengan lo sendiri!”
Raska mengangkat alis, malas.
“Ngapain juga gue bonceng dia pakai motor sport? Gue anak orang kaya. Kalau dia nggak muat di mobil sport, gue naikin di pick-up. Kalau pick-up masih nggak muat…”
Ia mengangkat bahu santai.
“Gue kirim pakai truk kontainer.”
Gayus membeku. Jari telunjuknya mengarah ke Raska seperti ingin menegur, tapi bibirnya cuma terbuka-tutup tanpa suara.
“Lo… lo itu….”
Ia menyerah, mengibaskan tangan.
“Udahlah. Mulut gue nggak diciptakan buat ngomentarin kebodohan sekaya gitu.”
Vicky memeluk tasnya di dada, seperti pelindung anti-bencana.
“Ras… dengerin gue. Kita sahabatan udah lama. Gue tau lo pintar, cakep, ranking dua… tapi…”
Ia menelan ludah.
“Pacaran sama Gasekil itu… itu bukan tantangan. Itu ujian nasional plus sidang skripsi plus tes CPNS jadi satu.”
Asep ikut menimpali cepat-cepat.
"Lo yakin kuat? Kuat sama cueknya? Kuat ngangkat dia pas pingsan?"
Gayus mendekat dan mengguncang bahu Raska pelan, seperti takut tulangnya rontok.
“Bro… please. Taruhan boleh… tapi jangan sampai hidup lo tamat cuma gara-gara taruhan.”
Raska mendengus keras.
“Udah. Jangan bujuk gue lagi. Keputusan gue gak bakal berubah meski matahari terbit dari barat, salju turun di padang pasir, atau Kutub Utara cipokan sama Kutub Selatan.”
Asep, Gayus, dan Vicky saling pandang. Antara pengin ngejitak kepala Raska, tapi juga kasihan. Mereka bertiga akhirnya heboh sendiri. Panik, lebay, dan tidak membantu sama sekali.
Sementara Raska tetap diam.
Menatap buku yang tadi ia tutup.
Menatap ke arah Roy pergi.
Dan… entah kenapa…
Wajah datar Elvara muncul begitu jelas di kepalanya. Cewek yang bahkan gak pernah ngefans sama siapa pun, apalagi sama dia. Tatapan kosong tanpa emosi itu seperti bilang:
“Lo siapa?”
Raska mengepalkan tangan. Napasnya berat.
Surat taruhan masih ia genggam. Tanda tangan mereka tercetak jelas, tak bisa ditarik kembali.
Gengsi?
Harga diri?
Sudah kayak sampah plastik tertiup angin. Hilang entah ke mana.
“Gue bakal lakuin,” gumamnya berat namun tegas.
“Bikin dia jatuh cinta sama gue.”
Ia memasukkan surat taruhan itu ke saku seragam dengan santai. Santai ala orang bodoh, seolah barusan tanda tangan lomba tarik tambang, bukan taruhan warisan miliaran.
“Gue gak bakal kalah,” ujarnya mantap.
Tiga temannya langsung diam.
Memandang Raska seperti memandangi orang yang baru saja tanda tangan kontrak jual diri ke iblis.
Asep memegangi kepala.
“Ya Allah… serius dia…”
Gayus menatap langit.
“Ini mimpi buruk…”
Vicky menelan ludah.
“Setelah ini… hidup Raska bukan lagi FTV. Ini horror psikologis.”
Mereka bertiga menarik napas panjang.
Dalam. Serempak. Putus asa.
“…tak tertolong,” gumam mereka bersamaan.
Raska mengangkat dagu.
“Gue bakal buktiin. Gue pasti bisa.”
Teman-temannya memandangi Raska seperti memandangi lelaki yang dengan sadar memutuskan melamar badai topan.
Tidak ada yang berani menambahkan komentar.
Karena hanya ada dua kemungkinan akhir dari misi itu:
Raska berhasil.
Atau dunia akan mengenang hari ini sebagai hari pangeran sekolah resmi kehilangan akal sehat.
Dan menurut mereka…
Kemungkinan kedua jauh lebih besar.
***
Pagi itu, sekolah belum ramai. Embun masih betah nempel di rumput, suara burung masih rajin bersiul, dan Raska… sudah berdiri bersandar di balik pohon angsana. Sangat pagi. Terlalu pagi untuk ukuran pangeran kampus yang biasanya datang lima menit sebelum terlambat.
Tatapannya fokus ke satu titik.
Elvara.
Gadis seratus kilo dengan rambut diikat asal-asalan, jalan santai sambil mengunyah permen jahe pedas level neraka, dan wajah datar seperti hidupnya tak punya masalah sama sekali.
Dia datang tepat sepuluh menit sebelum bel masuk. Langsung duduk. Buka buku. Baca materi. Tidak menoleh kanan-kiri.
Cueknya sampai bikin tembok merasa kalah saingan.
Di belakang Raska, tiga bayangan melangkah pelan seperti detektif gagal.
Asep, Gayus, dan Vicky.
Asep mengintip dari balik bahu Raska. “Bro… ini PDKT apa nguntit?”
Raska tidak menjawab. Fokusnya penuh.
Gayus menyambung sambil menyilangkan tangan. “Serius, lo sadar 'kan? Kalau tiba-tiba lo deketin dia, padahal kalian saingan ranking, dia bakal curiga. Banget.”
Vicky menambahkan dengan nada sok ahli, “Iya. Dan khusus kasus cewek kayak Elvara, pendekatan lo tuh bakal keliatan banget bohongnya. Mana ada pangeran kampus tiba-tiba nyamperin gadis seratus kilo yang cueknya level dewa kayak dia.”
Mereka bertiga mengangguk bersamaan.
Raska masih diam.
Lanjut ke jam istirahat.
Istirahat pertama
Elvara tetap di kelas, membuka catatan, membaca materi remedial padahal nilai ujiannya selalu sempurna.
Raska berdiri di balik pilar, tak jauh dari pintu kelas Elvara. Menyamar… atau berusaha menyamar.
Asep memijat pelipis. “Lo ngapain berdiri kaya maling nunggu rumah kosong?”
Gayus menepuk pundak Raska. “Bro, gue makin yakin, Tarzan lebih halus pendekatannya daripada lo.”
Vicky mengangkat tangan seperti guru bijak.
“Sabar. Observasi itu kunci, Bro. Kita harus tahu pola gerak target dulu, biar nanti trik PDKT-nya natural.”
Asep langsung mendelik.
“Natural dari mana? Lo aja diputusin cewek gara-gara chat lo cringe. ‘Hai cantik, udah makan?’ tiap dua jam.”
Vicky membeku sepersekian detik.
“WOI!”
Tatapannya melebar seperti mau lempar meja.
PLETAK!
Telapak tangan Vicky mendarat mulus di kepala Asep.
“ADUH!” Asep memegangi kepala. “Sakit, Nyet!”
Vicky mendesis.
“Makanya jaga mulut. Rahasia pribadi itu gak buat diumbar!”
Gayus menggeleng sambil nyengir. “Rahasia apaan? Satu sekolah udah tahu.”
“GAYUS!!!”
Vicky hampir meninjunya.
Raska hampir meledak. “Berisik! Lo pada mau kita jadi pusat perhatian apa?!”
Asep mendesah panjang, ekspresi: ya Tuhan kapan sahabat gue ini sadar dirinya siapa?
“Bro…” Asep menatapnya seperti menatap pasien hilang ingatan. “Apa lo amnesia? Kepala lo kepentok mangga waktu keluar rumah? Lo tuh pangeran kampus. Lo diem aja, orang tetap ngeliatin.”
Gayus langsung mengangguk cepat. “Iya, Bro. Lo napas aja jadi pusat perhatian.”
Vicky menyusul. “Lo berkedip aja banyak yang nge-slowmo di kepala.”
Raska memutar bola mata, frustrasi.
“Gue cuma mau observasi,” gumamnya.
Asep ngedumel, “Observasi kepala lo. Lo jalan aja kayak bodyguard gagal penyamaran. Dari tadi gue liat dua cewek hampir kepeleset karena mikir lo mau nembak seseorang.”
Gayus menambahkan sambil nunjuk halus ke arah beberapa murid lain, “Tuh, tuh… siswi-siswi itu dari tadi ngeliatin. Mereka pasti mikir lo lagi bikin kejutan ulang tahun buat pacar lo yang gak ada.”
Vicky mengangguk mantap. “Lo tuh harus belajar satu hal penting, bro.”
Raska mendecak. “Apa?”
Vicky menepuk bahu Raska.
“Kalau mau nguntit orang… jangan pakai muka selebriti sekolah.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.
Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.
Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?
Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga